Sedang Membaca
Minoritas yang Terpinggirkan
Avatar
Penulis Kolom

Alumni PP Al-Mashduqiah saat ini menjadi Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Minoritas yang Terpinggirkan

110884 F (1)

Islam Rahmatan lil ‘alamin yang menghargai perbedaan, menjunjung tinggi keamanusiaan, cinta perdamaian, tidak gampang menyulut amarah dihadirkan dalam buku “Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis: Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati” dikemas dalam bentuk kisah-kisah apik dan menyejukan. Sarat akan hikmah dan  melalui refleksi seorang Rusdi Mathari (Selanjutnya: Cak Rusdi) yang mengandung pesan-pesan teduh dan tentunya memberikan stimulus pada pembaca agar senantiasa turut merefleksikan diri dari kisah dengan beragam realitas keberagamaan yang kita hadapi saat ini.

Buku ini hadir sebagai payung teduh, di iklim panas sikap keberagamaan yang dipenuhi upaya takfir, pelabelan bid’ah, sesat-menyesatkan, me-neraka-kan yang tak sama pandangan, dan cenderung merasa paling benar. Alhasil yang lain sudah pasti salah. Karena sudah salah, pantas di nerakaNya, tak pantas menginjakkan kaki di surgaNya.

“Banyak manusia yang mengaku benar, padahal salah saja mereka tidak punya. Mereka mengaku pintar, padahal bodoh saja tidak punya.” Pesan singkat nan mendalam yang dialamatkan Sang Guru kepada Cak Rusdi (hal: 20), yang juga menjadi judul bukunya yang lain Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya (2016).

Soal minoritas dan mayoritas pun tak luput menjadi perhatian cak Rusdi dalam tajuk esainya Cathala, (Lihat: 9-13), betapa banyak nasib minoritas menanggung pendiskretaditan atas mereka yang mayoritas. Superioritas kalangan mayoritas tak terhindarkan, cak Rusdi menyuguhkan beberapa fakta yang terjadi di berbagai belahan dunia, kita lihat bagaimana proses pembuatan masjid di daerah mayoritas non-muslim, di Inggris misalnya, pendirian masjid di dekat areal Olimpiade 2012 telah ditentang besar pemerintah segenap warganya bahkan sejak masih dalam bentuk proposal, di Swiss kaum nasionalis pernah berduyun-duyun pembangunan masjid di negaranya.

Baca juga:  Supaya Anak Gemar Membaca Buku: Sebuah Tantangan di Era Digital

Di Italia juga tak kalah sengitnya, penduduk setempat melempari pintu utama menuju masjid dengan sosis yang dalam proses pembangunan, dan Kanselir Jerman, Angela Merkel juga turut menyerukan agar para parlemen berhati-hati dengan pembangunan masjid di Jerman. (Hal: 10-11) Di daerah Creteil, Prancis. Meski sampai selesai proses pembangunan masjidnya pun banyak menuai protes sebelum itu terwujud.

Siapa sangka di Indonesia pun turut memeriahkan problem mayoritas minoritas ini, di Bekasi, Jawa Barat sekelompok massa yang mengatasnamakan umat Islam Bekasi, menolak pembangunan Gereja sembari memekik takbir agar pemerintah mencabut izin pendirian Gereja Santa Clara meski semua proses syarat dan izinnya telah selesai. Alhasil pemerintah daerah mengamini hal tersebut. Padahal gereja ini telah ada sejak 11 Agustus 1998 jauh sebelum protes itu meledak. (Hal: 11)

Hal ini pun mengingatkan saya pada sebuah buku yang ditulis Seno Gumira Ajidarma yang bertajuk Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, “jadi sekarang bukan penguasa yang melarang ya, tapi ‘ma-yo-ri-tas’.” Begitulah ucap Marco, cowok si Sophie melalui video call yang mendengar ceweknya terusir, lantaran menyanyi di kamar mandi, yang suaranya membuat para suami ibu-ibu yang ada di gang tersebut klepek-klepek hingga orgasme dan membuat mereka dingin di depan istrinya, dan dianggap meresahkan, mengganggu stabilitas hubungan keluarga. (selengkapnya, hal 75-87). Tak di manapun, minoritas memang kerap kali mendapatkan tekanan dan dianggap warga kelas dua, dituntut agar senantiasa hormat pada mayoritas. Apapun kehendak mayoritas, sesegera mungkin haruslah terkabul.

Baca juga:  Seni Mendongeng: 19 Cerita Anak Indonesia di Tengah Era Gawai

Di beberapa judul kisah yang berbeda pun kerap menampilkan bagaimana potret kisah minoritas menghadapi mayoritas. (hal: 103-106).  Tidak hanya itu kisah-kisah ciamik nan asyik cukup membantu menemani kita sebagai pelajaran, memetik hikmah-hikmah kehidupan, bagaimana seharusnya menjalani kehidupan, dan bagaimana bertetangga, berhubungan secara baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dengan mereka yang berbeda sekalipun, baik karena perbedaan agama maupun ras, dan lainnya tanpa harus dibatasi sekat SARA lagi, terlebih terhadap mereka yang memiliki kesamaan dalam iman dan berbangsa.

Buku ini bukan untuk menggurui, tapi menghadirkan kisah islami sebagai teman penyejuk hati, peneduh hubungan antar sesama. Spirit humanisme yang disuguhkan untuk kembali mengorek dan mempertanyakan segala tindak-tanduk yang kita lakukan selama menjadi (mungkin) mayoritas ini apa telah memberikan yang terbaik bagi mereka (minoritas)?

Mungkin kita telah lupa bahwa tidak satu pun ayat yang melarang mendirikan tempat sesembahan agama lainnya, tidak pula untuk berkeyakinan seragam atau Islam kesemuanya (lihat, QS. Al-Baqarah: 256). Bukankah keragaman adalah hal niscaya yang tak bisa kita tolak hadirnya, bahkan merupakan kehendakNya, lantas mengapa yang mayoritas seolah punya kuasa nan superior atas minoritas? Mayoritas-minoritas hanya soal jumlah bukan soal penindas dan yang tertindas.

Wallahu A’lam bi al-shawab.

 

Baca juga:  Qiraah Sab'ah 6: Mengupas Kitab Taysir Fii Qira’at as-Sab’ah

Judul Buku        : Laki-Laki Yang Tak Berhenti Menangis (Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati)

Penulis             : Rusdi Mathari

Penerbit            : Buku Mojok

Cetakan            : Kedelapan , Mei 2021

Tebal                : viii + 115 halaman

ISBN                 : 978-602-1318-80-5

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top