Di salah satu episode lomba pentas seni dalam perlombaan pramuka, ada salah satu regu/kontingen menampilkan sebuah tari. Tari ini tergolong baru di mata saya. Tetapi unik untuk ukuran mata yang berhari-hari melihat tari seperti tari topeng, tari tandha’, tari moang Sangkal dan jenis tari lainnya yang berasal dari Madura. Maklum waktu itu masih kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah. Belakangan baru tahu bahwa tari itu bernama tari sintung.
Dahulu, saya tak paham maksud dari tari sintung ini. Mereka yang berjumlah 12, ada yang menabuh 2 gendang, 1 bedug dan 4 kenthongan yang terbuat dari buah siwalan. Sementara yang lain mendendangkan tangan, melenggangkan kepala dan menjinjitkan satu kaki layaknya tari puspo warno, sebuah tari klasik gaya Yogyakarta yang menggambarkan tentang remaja putri yang sedang bersolek.
Berbeda dengan tari puspo warno. Tari sintung ini diiringi pembacaan salawat. Dalam gerakannya, setidaknya terdapat sembilan babak (dalam versi terbaru). Pertama, mereka berjalan lenggang kangkung sebagai pengantar pentas, dengan lengan bergerak ke kanan ke kiri. Kedua, mereka bersimpuh, menggerakkan kepala ke kanan ke kiri sambil mengernyitkan dahi ke atas langit. Ketiga, berdiri dengan beragam tarian khas tari sintung, yakni menggerakkan tangan ke kanan-kiri, menggerakkan kepala kanan kiri, sambil mengernyitkan dahi menatap ke atas langit.
Keempat, mereka saling memegang tangan lalu mengayunkan ke atas-bawah sambil menunduk. Kelima, mereka baris-berbaris dan memegang sebuah benda berwarna merah putih. Babak ini merupakan gabungan dari semua tarian dari sesi pertama. Keenam, hanya menggerakkan tubuhnya ke kanan-kiri. Ketujuh, berdiri, mengangkat satu kaki dan menari saling membelakangi. Kedelapan, membuat formasi; empat orang di depan menari berdiri dan sisanya menari sambil duduk, diiringi lagu Sintung dan salawat. Kesembilan, semua berdiri dan menjinjit sebagai tarian penutup pentas.
Dari babak ke babak, tari sintung menyihir mata penonton. Bukan karena tariannya yang lincah atau rancak. Namun karena diiringi salawat, gertakan tubuh dan mimik muka yang serius nan unik. Dalam hitungan jam, tari sintung semacam mempertebal keyakinan bahwa diri menyatu dengan riwayat kenabian dan Tuhan. Karena itulah, bagi banyak orang merasakan tari sintung ini melahirkan nuansa mistis, magis, religius.
Sebenarnya tarian ini telah dilakukan rekacipta. Latar belakang terjadinya rekacipta sintung salah satunya karena ada banyak pemain dan penonton yang kesurupan pada saat penampilan, kendati adanya syair yang tidak diketahui maknanya. Kemudian dihilangkanlah beberapa bait syair dan dicukupkanlah tari sintung ini sebagai seni untuk berdakwah. Rekacipta lain dalam bentuk tampilan pakaian, karakteristik, pemain, syair, alat, tarian, dan waktu pementasan. Rekacipta ini terjadi pada tahun sekitar 2015-2017, pada masa Nur Rahman, dan diprakarsai oleh Kiai Suhil dengan memerintahkan Pak Zaini untuk merekacipta sintung (Muhammad Ahsanul Fata, 2018).
Tari sintung ini hasil perpaduan dari seni tari, olah vokal dan musik. Kemudian dielaborasi dengan tarian hadrah, samman, ruddat dan gambus. Sedangkan bacaan dalam syair-syair berupa bacaan salawat dan barzanji, ber-bahasa Madura, Melayu dan Arab (Lilik Rosida Irmawati, Lontar Madura, 2012).
Sejarah Tari Sintung di Sumenep
Tari sintung tak tiba-tiba moncer di Sumenep. Ada banyak versi sejarah yang melatarbelakangi mengapa sintung ada dan lestari hingga sekarang.
Versi pertama, tari sintung lahir dalam peradaban sejarah keislaman di Nusantara. Menurut versi Kemendikbud yang ditetapkan pada No SK : 372/M/2021 Tanggal SK : 2021, Sintung ini dibawa oleh Sunan Muria (1450 – 1551 M) sebagai media dakwah.
Namun menurut Agus Sugianto, seorang budayawan asli Sumenep (bisa dilihat di Channel Youtube Songsongan), tari sintung ini lebih dekat dibawa oleh Sunan Kudus, kendati Sunan Kudus sangat menyukai dan senang pada kesenian dibanding Sunan Muria. Dia melihat Sunan Muria sangat ketat dan saklek sehingga kecintaannya terhadap seni sangat kering.
Penyataan Agus Sugianto didasarkan pada bukti-bukti peninggalan Sunan Kudus selama masih hidup. Misalnya dalam pembangunan masjid Menara Kudus yang menggambarkan penggabungan antara kesenian Hindu dan Jawa. Bukti lain karena beberapa kiai, ulama Sumenep keturunan Sunan Kudus. Salah satunya adalah Sayyid Ahmadul Baidhawi, Syekh Baidawi. Orang menyebutnya Pangeran Katandur, seorang ulama yang melahirkan banyak ulama-umara di Madura (makanya terletak di belakang Pasar Bengkal Sumenep), seperti Kiai Moh Ali Brambang, yang dimakamkan di Asta Gumuk, tepatnya di sebelah barat Bandara Trunojoyo Sumenep.
Versi kedua, sejarah tari sintung ini berasal dari desa Tamba’ Agung Barat, kecamatan Ambunten, kabupaten Sumenep. Lambat laun kemudian dilestarikan di sebuah pondok pesantren di desa Prompong, kecamatan Rubaru, lewat jalur kerabat. Menurut salah satu penulis kebudayawan Sumenep, Lilik Rosida Irmawati, tari ini diajarkan kepada santri di Prompong sekitar abad XVIII (Lilik Rosida Irmawati, 2017).
Tambahan lain, menurut Agus Sugianto, tari sintung ini ada di Prompong, karena orang-orang Prompong dalam rangka ekspansi perang sampai ke Aceh. Kemudian masyarakat Prompong melihat dan membawanya ke Nagara Madura Timur, yang kini disebut Sumenep.
Versi ketiga, mengatakan bahwa kesenian sintung berasal dari Asia Tengah tepatnya dari semenanjung Arabia. Kesenian ini sampai ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Gujarat (India) pada abad ke – 13 M, seiring dengan misi menyebarkan agama Islam. Berawal dari Aceh kemudian dibawa ke arah timur sampai di pulau paling ujung Madura, yakni Sumenep. Sebenarnya versi ini beririsan dengan versi kedua.
Susur Galur Tari Sintung
Pada tahun 1965, saat terjadi pemberontakan G 30/S PKI, sintung berhenti berkegiatan. Ini karena terjadi pergolakan politik saat itu. Kemudian pada tahun 1971 ada seorang tokoh di kecamatan Ambunten Tengah bernama Ke Jalaludin menghidupkan kembali tari sintung setelah mati suri. Dia K. Jalaludin adalah cucu dari Ke Musana.
Dari data Kemendikbud, K. Jalaludin bersama santrinya Hesbul Hannan menghidupkan lagi Sintung di tempat asalnya, yaitu di Dusun Batang, Desa Ambunten Tengah, Kecamatan Ambunten. Setelah tari sintung berkembang kemudian berpindah kepemimpinan dari K. Jalaudin kepada menantunya bernama K. Ahmad Sahidu, lalu pindah lagi kepada Pak Rifai.
Pada kepemimpinan Rifai inilah tari sintung ini terjadi pasang surut. Pada gilirannya harus berpindah dan berlanjut pada Abdul Kadir. Nah, saat dipegang Abdul kadir ini sintung benar-benar berhenti berkegiatan kendati ditinggal merantau ke Malaysia.
Lambat laun, tari sintung bangkit lagi berkat diprakarsai oleh Kiai Sepuh asal Ambunten. Kiai Sepuh ini mencoba mengumpulkan para pelaku Sintung atau orang yang berkeinginan dan menyukai tari sintung. Dari jeri payah Kiai Sepuh, kemudian pada 2017 diberi ganjaran untuk tampil di depan presiden Jokowi, saat kunjungan ke pondok pesantren Annuqoyah Guluk-Guluk.
Saat ini tari sintung dilestarikan di bawah kelompok bernama Al-Jamiatus Sholihin yang diampu oleh Nurrahman. Dari berjalannya waktu, tari sintung menjadi tari yang diminati banyak orang. Maka itu, tari ini banyak permintaan untuk digelar di acara-acara pemerintahan, gawean, penyambutan ibadah haji, sunatan, nazar, upacara petik laut dan peringatan hari besar Islam lainnya. Kini, tari yang diiringi solawat Nabi Asrabul Anam selalu bergema tidak hanya di Sumenep, tetapi juga sudah masuk di beberapa kota.
Tari Sintung, Tari untuk Laki-laki?
Jika kita mencoba sedikit mengecek di berbagai media dan platform digital, maka kita tidak mungkin menemukan tari sintung ini diperankan oleh seorang perempuan. Secara keseluruhan para pemain tari sintung hingga saat ini masih semuanya kaum laki-laki. Saya menduga tari sintung ini dikhususkan hanya untuk kaum laki-laki saja.
Benar saja, tari sintung ini berjenis kelamin. Data Kemendikbud menyebutkan, tari sintung ini hanya dikhususkan untuk laki-laki, karena berbagai alasan. Salah satunya sebagai cerminan dan legitimasi dari tatanan sosial masyarakat Sumenep yang religius.
Sumber itu menyebutkan bahwa dalam pandangan Islam seorang laki-laki adalah seorang Imam bagi keluarganya. Seorang laki-laki bisa menjadi teladan yang baik dalam setiap keluarganya baik dalam sikap, tutur kata maupun dalam kehidupan religinya seperti taat dalam beribadah maupun pemahaman ilmu agamanya sehingga hidupnya berjalan di jalan Allah (Kemendikbud, 2021). Padahal perempuan juga memiliki legitimasi baik dalam tatanan sosial di Sumenep, dan juga dapat memberi teladan baik mulai dari segi agama, sosial, budaya dan pendidikan.
Tari sintung mendapat perhatian publik luas. Banyak orang penasaran mengapa dinamai sintung. Menurut data yang beredar, Sintung akronim dari “wang-awang sintung”. “Wang-awang” berarti mengangkat kaki. Sedangkan “sin” berasal dari bahasa Arab, berarti bergembira ria. Sedang kata “tung”, merupakan kepanjangan dari kata settung (dalam Indonesia berarti satu). Sintung berasal dari kata Settong yang berarti Maha Tunggal. Tari sintung artinya menyatukan diri dengan Tuhan.
Ada banyak fungsi yang bisa diambil dari tari sintung. Antara lain sebagai media dakwah, ekspresi keagamaan, pendidikan karakter, dan cinta tanah air. Semua ini digambarkan dari ornamen atau simbol yang digunakan dalam tari sintung. Ini dilakukan sebagai bakti kepada Sang Gusti dan bakti kepada bangsa dan negaranya: Indonesia.
Tari sintung ini barangkali tari lama bernafaskan tari baru. Tari sintung oase dari tradisi lama di Sumenep. Cuma sampai saat ini masih belum ada kajian lebih utuh dengan pendekatan baru atas sejarah muasal secara komprehensif. Lebih jauh lagi, mengapa tari sintung hanya dikhususkan bagi kaum laki-laki saja. Termasuk juga tekait beberapa syair dan bahasa yang terkandung dalam tari sintung. Hanya dengan demikian tari sintung memiliki dasar kuat untuk mengambil tempat dalam evaluasi sejarah, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia.
Berikut syair tari sintung:
Tanaka tapi ashala fi arbani bishudhadi qadazam sufi abra sihata tanakalu
Salatun wataslimun, waasha tahayyadi, alaman alaila hurobbus sama salam (4X)
Lailatul iknii lailatul ikni (2X) ilmu dhawam, waufin lana Allah Allah ya sayyadi (2X) ilmu dhawam
Sadayung kembang malati, sukarang diruang-ruang (2X)
Dari hulu berjanji mati, sukarang diruang-ruang (2X)
Wang wailung bae janji mati, sukarang diruang-ruang (2X)
Ahyat dunya dul dawang aladdawang (2X)
Maulana (4X) dawam, ya nabi Muhammad al-Ibnu Abdillah
Gitenggi mata kenari, kelihatang gunung melasang
Minang-minung, minang-minung kembang betawi
Sang raja di para-para, mokol tambur dari surbaya, mokol gendang di dalam tangsi, saya dingin, sanya dingin, kenang dingin, biar senang alam hati
Robbussalam (2X) dhaiman abada ilahil alila Ya Rasullulah (2X), dhaiman abada alal mukarram
Attauba illallah aliman ayya firduna ya Allah
Attaubis sahri attahiya Allah
Muhammad tasallu ala, alal murfa tarbi (2X)
Tarbi Allahu tarbi. Tarbiwal mursalin ya maulai
Shallu robbuna, ya maulaainu runta jalla (2X), he alaihi hissalam albaddaritn taman ya maulainu runta jalla alaihissalam
Sallalla alan madani (2X) amniya fiarsa
Sairilla (2X) alan ahmad (2X) muhibbat askunnah Allah (2X) ya ho aman ya sultonik insin waljinnih
Allahu, Allahu, Allahu ya maulai, maulai ya salatunnabi alan nabi, alladi tubima fil ardi Allahu tayyibah
Ya Yusuf saiun lillah, sittiya rasulyullah (2X) ya qait nurul qait (2X) summal husen habibullah
Sultas malunten-malluntenna aulilir masjid jid masjid (2X)
Was awas salu inten, luintenna aulilir surban aban surben (2X)
Allahu ya maulai ya ho, yai maulai ahayya ahai
Ahai hoya amaulai hitaala turajalali Allah turajalali
Shalla robbuna ya maulai nurunta jalla hi alaihi salam
Ahmad Muhammad ya ho – ya ho (2X) nurunta jalla yaho –yaho (2X), alaihi salam (2X) yaho –yaho
Aya Allah ir hamnah anta maulanah maulana aheroh
Sintung wang awang Sintung
Terima kasih sudah menuliskan ini. Orang-orang harus tahu. Saya memang baru tahun sejak tahun 2016