Sedih sekaligus geram atas apa yang dilakukan oleh para teroris dalam peristiwa pengeboman di Gereja Katedral Makassar dan penembakan di Mabes Polri Jakarta. Pertanyaan yang muncul dibenak saya pada waktu itu adalah “bagaimana arwah mereka, ya?.” Apa benar mereka mendapatkan kenikmatan surgawi sebagaimana yang diimpikan? Atau malah sebaliknya: siksa yang pedih.
Kita semua tidak tahu bagaimana kondisi para arwah para teroris di alam barzakh saat ini. Namun di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa amal seberat biji atom pun akan mendapatkan balasan. Amal baik akan dibalas kebaikan, amal buruk akan dibalas keburukan (QS. Az-Zalzalah 7-8). Tentu kita semua tidak bisa membenarkan tindakan para teroris ini. Dilihat dari sisi manapun, apalagi kemanusiaan, perilaku terorisme adalah kesalahan dan kejahatan terbesar umat manusia (lihat, QS. Al-Ma’idah ayat 32).
Bagaimana supaya kita tidak menjadi kelompok teroris atau ekstrimis? Mudah, sangat mudah. Pahami dan amalkan 9 nilai utama Gus Dur. Di Jaringan GUSDURian dikenal dengan 9 nilai utama yang diteladankan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nilai-nilai itu antara lain: Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Pembebasan, Kesetaraan, Persaudaraan, Kesederhanaan, Keksatriaan, dan Kearifan tradisi.
Bila sulit mengamalkan 9 nilai tersebut, ambil satu saja: kemanusiaan.
Gus Dur dikenal sebagai tokoh pejuang kemanusiaan. Bahkan beliau rela dilengserkan dari jabatan kepresidenan supaya tidak terjadi pertumpahan darah antar sesama warga bangsa. Kemanusiaan adalah nilai yang tinggi dalam diri Gus Dur. Hal itu karena apa? Karena Gus Dur memahami kalau kita memanusiakan manusia, maka sama saja kita memuliakan penciptanya. Kalau kita menistakan manusia, sama saja kita menistakan penciptanya.
Sesederhana itu bukan?
Orang yang mempunyai pikiran atau tindakan ekstrimis menurut hemat saya karena mereka belum pernah bersinggungan (silatur rahim) atau bertukar pikiran (silatul afkar) dengan para GUSDURian. Cobalah sesekali—syukur-syukur berkali-kali—mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh kawan-kawan dari Jaringan GUSDURian yang tersebar di 100 kota lebih di Indonesia.
Hijrahlah ke sana. Belajar bersama mereka. Menempa diri dan bergerak bersamanya. Kalian akan mendapatkan pandangan jihad yang sesungguhnya. Jihad yang berani hidup dan menghidupi orang lain, bukan berani mati dan mematikan orang lain. Ya, itu quote yang saya kutip dari Kalis Mardiasih, seorang aktivis GUSDURIan yang sangat aktif menyuarakan isu-isu kemanusiaan dan perempuan.
Kita juga akan berlajar banyak dengan pengasuh GUSDURian, Ibu Alissa Wahid. Sosok perempuan tangguh yang siap menerima keluh kesah dan memberi solusi atas masalah pribadi ataupun sosial yang sedang kita hadapi. Ibu yang menerima siapapun dari kelompok manapun, untuk belajar dan tumbuh bersama.
Bahkan, di Jaringan GUSDURian saat ini punya sayap gerakan kemanusiaan di bidang tanggap bencana, pemberdayaan sosial dan ekonomi. Gerakan kemanusiaan yang mempunyai tagline humanity for all ini pada tahun kemarin sudah menyalurkan 25.991 paket sembako bagi warga yang terdampak covid-19.
Dan, pada dua bulan terakhir ini tim di GUSDURian Peduli tengah membuat huntara (hunian sementara) untuk warga wilayah Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, dimana 150 rumah di kecamatan tersebut dilaporkan hilang diterjang banjir, dan mereka juga membangun 20 unit huntara untuk para pengungsi korban Gempa Bumi di sebuah galung (tanah lapang) di Desa Mekkatta, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, dimana ada 120 KK yang tengah mengungsi akibat gempa.
Itulah jihad sebenarnya: hidup yang menghidupi. Memberikan manfaat kepada sesama.
Hijrah yang Memanusiakan
Pernah mendengar kisah seorang Yahudi buta yang kemudian masuk Islam? Bagaimana keteladanan Nabi Saw yang menyuapi orang yang setiap hari memaki-maki beliau, namun malah dibalas dengan kebaikan. Penuh cinta kasih.
Oleh sebab itu, makna hijrah menurut saya tidak hanya sebatas simbol-simbol keagamaan an sich; berjilbab, berjenggot, berjubah, atau apapun itu—hijrah sebagaimana yang diteladankan oleh nabi adalah manifestasi dari akhlak yang mulia dan kasih sayang. Peristiwa yang terjadi pada tahun 622 M menurut hemat saya adalah awal tonggak titik penting sejarah Islam. Bagaimana nabi bisa mempersatukan semua kelompok, suku, yang asalnya terpecah belah, kemudian dipersatukan dalam ikatan persaudaraan atas dasar keimanan kepada Allah Swt.
Dus, andaikata Zakiah Aini bisa keluar dari jerat pemahaman yang sempit soal jihad sebagaimana yang dituliskan dalam surat wasiatnya, yang mana menempatkan jihad sebagai atap paling tinggi dalam struktur bangunan, setelah shalat (yang digambarkan seperti tiang), dan lantai dasarnya adalah tauhid, maka ia tidak akan mati dengan sia-sia.
Ia justru bisa menciptakan surga di dunia: yakni memberikan manfaat kepada sesama, dengan pemahaman jihad yang menghidupi bukan mematikan. Wallahhu a’lam.