Sedang Membaca
Dua Alasan Mengapa Kita Harus Meneladani Gus Dur

Penulis adalah redaktur pelaksana Alif.id. Bisa disapa melalui akun twitter @autad.

Dua Alasan Mengapa Kita Harus Meneladani Gus Dur

Sosok almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak pernah habis diulas. Berjilid-jilid buku, mulai dari humor sampai buku serius sudah banyak di rak-rak perpustakaan. Bahkan, setahu saya, pemikir Indonesia yang paling banyak dijadikan sebagai obyek penelitian tugas akhir; baik skripsi, tesis, hingga disertasi, Gus Dur adalah salah satunya. Termasuk di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, nama Gus Dur dan Nurcholis Madjid paling banyak dijadikan referensi dan bahan penelitian.

Pertanyaanya adalah, mengapa hal itu bisa terjadi?

Pertama,  menurut saya, pemikiran Gus Dur itu shalih likulli zaman wa makan. Selalu relavan di setiap masa dan tempat. Satu contoh ketika Gus Dur mengenalkan Islam. Islam yang dipopulerkan oleh Gus Dur adalah agama yang merahmati semua. Agama yang membawa kedamaian bagi pemeluknya. Agama yang mengasihi umat manusia. Oleh sebab itu, manakala ketika datang sekelompok massa atau segelintir orang yang mengatasnamakan Islam kemudian melukai yang lain, maka keislaman orang tersebut dipertanyakan.

Berkaitan dengan hal itu, nama Gus Dur pun kemudian menjadi rujukan oleh banyak orang—karena Islam yang dipahami oleh Gus Dur berbeda dengan Islam yang dipahami oleh kelompok ekstrim tersebut.

Islam yang Gus Dur ajarkan, sebagaimana yang dipopulerkan oleh Nabi Muhammad Saw, adalah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dan itulah ajaran yang universal. Mengikuti Gus Dur, menurut saya, sama dengan mengikuti Nabi Muhammad Saw. Karena Gus Dur meneruskan ajaran nabi Saw. Saya rasa, tidak hanya Islam saja, tetapi agama-agama yang lain pun mengajarkan hal yang sama: rahmatan lil ‘alamin. Ketika ada segelintir orang yang berteriak mengatasnamakan Islam, lalu melakukan kekerasan, mereka pasti akan ditinggalkan.

Baca juga:  Esais Muda Pesantren (4): Kiai Asa’d di Abad 21: Sebuah Relikwi Sejarah atau Inspirasi Bangsa?

Oleh karenanya, islam menjadi besar sebab akhlak para pendakwahnya. Andaikan Gus Dur mendakwahkan Islam dengan cara marah-marah, sudah pasti pemikiran-pemikirannya tidak akan menjadi perbincangan hingga saat ini.

Yang kedua, mental dari seorang Gus Dur yang tiada tandingnya. Ketika Gus Dur bergerak membela kemanusiaan, membela kelompok yang lemah dan tertindas, beliau melakukannya seakan-akan tanpa rasa takut sama sekali.  Begitu tulus yang diperjuangkan. Bahkan seringkali jadi bahan cemoohan oleh mereka yang tidak sepakat dan tidak sepemahaman dengan beliau.

Gus Dur selalu bilang, “biarkan nanti sejarah yang akan membuktikannya”.

Laku Gus Dur

Selama di Jogja, saya banyak bergumul dengan para sahabat dan muridnya Gus Dur. Sahabat, karena beliau yang saya temui itu pernah bertatap muka secara langsung dengan Gus Dur. Sementara orang-orang seperti saya ini yang pada waktu itu masih kecil, yang hanya bisa melihat sosok Gus Dur dari layar kaca, foto, dan mendapatkan cerita; baik melalui obrolan ringan, diskusi, dan literatur yang membincang pemikirannya.

Suatu ketika, saya menemani seorang kawan untuk melacak jejak Gus Dur di Jogja. Mengingat jejak Gus Dur banyak membekas di kota Gudeg ini. Menelusuri jejak Gus Dur di Jogja tentu sangat mudah. Tinggal menemui salah satu murid Gus Dur, lalu tinggal menanyakan siapa saja yang pernah berdiskusi atau jagongan dengan beliau.

Baca juga:  Pemikiran Sosial Keagamaan Kuntowijoyo

Di sisi lain, beliau juga sering memberikan mauidzah atau pengajian di pelosok-pelosok desa, di kampung-kampung, dan juga menjadi narasumber di berbagai kampus. Bahkan, Gus Dur sendiri pernah mondok di Pesantren Krapyak, sebelum berpindah ke pesantren Tegalrejo Magelang.

Disaat kami benar-benar ingin melacak jejak Gus Dur, salah satunya kepada tokoh Tionghoa, komentarnya hanya singkat: “wes kui wong apik”, jawabnya. Lalu, beliau menutup jawaban itu dengan mengajak kami makan siang, tanpa meneruskan perbincangan yang seharusnya bisa kami jadikan sebagai bahan untuk menulis.

Kata Hairus Salim, tokoh intelektual Jogja, Gus Dur kalau ke Jogja itu beliau tahu mana anak yang suka ziarah dengan anak yang suka membaca buku. Jika ingin berziarah, Gus Dur mengajak Jadul Maula. Kalau sedang ingin berdiskusi serius, ngajaknya ya saya, dan kami biasa saling tukar menukar buku, dan berbagi hasil bacaan.”tutur Hairus Salim, sembari mengenangnya.

Laku Gus Dur, sejauh yang saya tahu dari para sahabatnya adalah beliau tidak pernah jauh-jauh dari buku dan makam. Di mana pun Gus Dur berada, jika di tempat tersebut terdapat situs atau makam sesepuh desa setempat, Gus Dur pasti menyempatkan diri untuk berkunjung, menziarahinya.

Dari sini, yang menjadi cirikhas Gus Dur adalah beliau menyukai silaturrahim. Hal itulah yang kemudian menjadi kekuatan beliau dalam melakukan setiap perubahan. Bertemu dengan orang, berdiskusi, tukar pendapat, lalu memengaruhi pikiran dan cara pandang orang yang diajak diskusi. Inilah prinsip dari demokrasi. Melakukan perubahan dengan dialog atau musyawarah.

Baca juga:  Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan Pendekar Chicago

Perubahan bisa dilakukan dengan cara bertemu, bersilaturrahim, dan akhirnya saling mengenal. Mengapa dewasa ini banyak orang yang suka dengan kopdar? Ya, mereka menginginkan perubahan.

Selain silaturrahim, membaca buku adalah wiridannya Gus Dur. Gus Dur dikenal sebagai sosok yang sangat kuat bahan bacaannya. Kalau ke Jogja, beliau pasti bertanya kepada anak-anak (yang pada waktu itu bertempat di LKiS), “ada buku baru apa?” “Apakah ada buku baru yang belum saya baca?”. Tanya Gus Dur. Cerita ini saya dapatkan dari Hairus Salim.

Ketika orang banyak membaca, maka ia kaya dengan literatur dan cara pandang dalam meraih perubahan. Mengapa wahyu pertama Nabi Muhammad saw itu disuruh untuk membaca? tidak lain atau tidak bukan supaya Nabi menguasai peta dan memahami masyarakat Arab pra Islam. Bahkan perintah itu sampai diulang sebanyak tiga kali. Iqra’ ya Muhammad!

Meniru Gus Dur atau menjadi Gus Dur tentu sangat berat. Penulis yakin, anda tidak akan kuat. Biarkan Gus Dur saja yang menjadi Gus Dur. Namun, meneladani jejaknya untuk meraih perubahan menurut hemat saya harus dilakukan oleh siapapun. Bersilaturrahim dan memperbanyak bacaan, adalah di antaranya. Sebagai Gusdurian, lakukan saja dua hal itu secara istiqomah. Saya yakin, perubahan demi perubahan akan terlihat jelas arahnya. Tentunya, keduanya harus dilakukan dengan kesabaran. Mulai dari diri sendiri saja dulu..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top