Sedang Membaca
Tiga Teks Sejarah Kedekatan Hadratussyekh dengan Para Habib

Hamba yang lemah, anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), bergiat di Lingkar Filologi Ciputat (LFC), khadim di Ma’had Aly Ashiddiqiyah Jakarta, dan Mahasiswa Filologi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Tiga Teks Sejarah Kedekatan Hadratussyekh dengan Para Habib

Berikut ini penulis akan mengulas tiga teks yang jika dikaji ternyata menyimpan sejarah besar. Mungkin selama ini tidak banyak yang menyadari. Ya, bahwa Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari memiliki keakraban luar biasa di kalangan para habib atau ‘Alawiyin.

Pertama, pada 1352 H atau 1934 M, Hadratussyekh menolak tudingan Kiai Abdullah bin Yasin Pasuruan yang menyatakan NU telah menyimpang dari ajaran syariat Islam. Kiai Abdullah menulis syair yang kemudian dikomentari panjang oleh Hadratussyekh menjadi sebuah kitab berjudul Ziyadatut Ta’liqat.

Menariknya, Hadratussyekh mengetahui bahwa syairan Kiai Abdullah Yasin tidak seluruhnya karya beliau. Di halaman 126, Hadratussyekh menyebut bahwa tiga bait terakhir syair Kiai Abdullah adalah hasil curian (masruqah) dari diwan al-Quthb al-Ghauts al-Habib Abdullah al-Haddad berjudul Ad-Durrul Mandzum.

ومنها أن قول الشيخ فيارب عاملنا بلطفك واكفنا إلى آخر الأبيات الثلاثة مسروقة من قصيدة القطب الغوث الحبيب عبد الله الحداد في الدر المنظوم

Bagaimana mungkin Hadratussyekh mengetahui hal itu kalau beliau sendiri bukan pembaca sekaligus pencinta karya-karya Habib Abdullah Al-Haddad. Apalagi untuk ukuran waktu itu mengakses kitab tidak semudah saat ini.

Pun khazanah ‘Alawiyin hanya beberapa yang dijadikan acuan kurikulum pesantren seperti Sullamuttaufiq, Safinatusshalah, dan sebagainya. Tidak menutup kemungkinan pula, Hadratussyekh menghafal syair-syair Habib Abdullah Al-Haddad dengan baik.

Baca juga:  Gus Baha dan Tradisi Kritis Kitab Kuning

Kedua, pada 1355 H atau 1937 M, Hadratussyekh menulis kata pengantar (taqridzah) untuk risalah Al-Bayan wal Idhah karya Kiai Ahmad bin Jufri Pasuruan tentang polemik mihrab Masjid Jami’ Pasuruan.

Kata pengantar itu cukup panjang sebanyak 11 baris. Lalu kata pengantar kedua ditulis oleh Sayid Abdullah bin Abdurrahman Alatas. Singkat namun berkesan dengan satu kalimat:

Segala puji bagi Allah, apa yang telah dijawab oleh saudaraku Muhammad Hasyim itulah yang benar.

Ini menandakan bahwa antara Hadratussyekh dan Habib Abdullah bin Abdurrahman Alatas—yang hingga kini belum ditelusuri biografinya—memiliki keakraban yang erat. Sampai-sampai Sang Habib mempercayakan sepenuhnya atas jawaban Hadratussyekh. Jika di antara pembaca mengetahui siapa Habib Abdullah di atas, penulis berharap berkenan memberikan informasinya.

Ketiga, dalam Al-Qanunil Asasi (prinsip dasar) Jam’iyah Nahdlatul Ulama, satu-satunya tokoh yang masih hidup saat itu yang dikutip Hadratussyekh adalah Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf. Lengkapnya demikian:

قال السيد أحمد بن عبد الله السقاف رحمه الله تعالى: إنها الرابطة قد سطعت بشائرها واجتمعت دوائرها فأين تذهبون عنها أيها المعرضون كونو من السابقين أولا فمن اللاحقين وإياكم إن تكونوا من الخالفين فيناديكم لسان التفريع بقوارع “رَضُوا بِأَن يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ” التوبة ٨٧ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ الأعراف ٩٩

Sayid Ahmad bin Abdillah Assegaf berkata, “Jam’iyyah ini (NU) adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerah menyatu, bangunan-bangunannya telah berdiri tegak, lalu ke mana kamu akan pergi? Wahai orang-orang yang berpaling, jadilah kamu orang-orang pertama, kalau tidak orang-orang yang menyusul (masuk jam’iyyah ini). Jangan sampai ketinggalan, nanti suara penggoncang akan menyerumu dengan goncangan-goncangan:

“Mereka (orang-orang munafiq itu) puas bahwa mereka ada bersama orang-orang yang ketinggalan (tidak masuk ikut serta memperjuangkan agama Allah). Hati mereka telah dikunci mati, maka mereka pun tidak bias mengerti.” (At-Taubah:17) “Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (Al A’raf:99).

Diketahui, Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf lahir pada 1299 H atau 1882 M di Syihr, Hadramaut—sebelas tahun lebih muda daripada Hadratussyekh yang lahir pada 1287 H atau 1871 M. Beliau pertama kali datang ke Nusantara pada 1326 H (1908 M) saat berusia 26 tahun mengunjungi Singapura dan ke Indonesia untuk mengunjungi saudara tertuanya, Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf, di Pulau Bali.

Baca juga:  Anak-Anak Waktu di Zamrud Khatulistiwa

Sejarah mencatat, beliau merupakan ulama ahli fikih, sastrawan, pendidik, tokoh pers, pendiri Madrasah Al-Khairiyah di kota Surabaya, dan merupakan tokoh inisiator majalah Arrabithah. Di dunia sastra, karya beliau yang hingga hari ini masih dibaca dan diteliti banyak kalangan berjudul Fatat Qarut terbit pertama kali di Solo pada 1929 dan diterjemahkan oleh Habib Ali Yahya pada 1997 dengan judul Gadis Garut.

Bisa dipastikan, Hadratussyekh dan Sayid Ahmad ini memiliki hubungan yang sangat dekat. Di samping, Sayid Ahmad tentunya memiliki pengaruh yang cukup besar saat itu di Nusantara sehingga Hadratussyekh mencantumkan nama beliau di dalam Qanun Asasi NU.

Dibutuhkan penelitian lebih mendalam terkait ini. Bisa jadi para tokoh di atas intens bertemu dan pernah membuat gerakan atau karya bersama yang kemudian sejarah luput mendokumentasikannya. Wallahu a’lam. (atk)

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top