Alkisah, pada 1948 ketika PKI Muso melakukan pemberontakan, KH. Bisri Mustofa (ayahanda dari KH. M. Cholil Bisri dan KH. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus) bersama keluarga meninggalkan kampung halaman di Rembang. Beliau berpindah-pindah tidak tentu sampai akhirnya nyantri di Pare Kediri Jawa Timur.
Karena keadaan Kiai Bisri pada waktu itu menderita, maka beliau sering menghadap seorang waliyullah yakni Kiai Ma’ruf Kedunglo Kediri (W. 1375 H /1955 M). Kiai Bisri meminta ijazah dan doa yang dapat menghilangkan susah dan penderitaannya.
Kiai Ma’ruf bernasihat, “Orang itu kalau sedang susah atau menderita jangan sekali-kali me-wadul-kan (mengadu) kesusahannya kepada sesama manusia, sebab manusia itu semua sama tidak dapat menolong. Selain itu, berarti kurang ridha kepada takdir Allah. Maka wadullah kepada Allah. Saat tengah malam, salatlah dua raka’at lalu berdoa lalu wadul kepada Allah.
“Wadul-kanlah segala sesuatu dengan tafsil (rinci), dan jangan malu-malu. Kalau engkau dalam penderitaan, wadul-kanlah penderitaan itu dengan tafsil kepada Allah. Kalau engkau dianiaya oleh orang atau golongan atau sultan jair (pemerintah zalim) sampaikanlah terang-terangan kepada Allah.”
Kiai Bisri pun mengamalkannya apa yang didawuhi kiainya itu. Setelah beberapa malam mengamalkan, pertolongan Allah datang. Beliau dipanggil pulang oleh Cabang Masyumi di Rembang. Beliau juga diserahi modal besar sebagai bagian usaha. Tiap hari, beliau juga mengirim gerbong-gerbongan garam. Usaha beliau pun lancar.
Namun, tak berselang lama, pemberontakan terjadi kembali. Rembang diduduki Belanda. Kiai Bisri hengkang lagi sampai Sarang. Beliau merasa penderitaan semakin hebat. Beliau pun mengamalkan kembali ijazah tersebut. Pertolongan Allah datang kembali. Beliau pulang ke kampung halaman dan diangkat oleh pemerintah militer sebagai penghulu serta ketua pengadilan agama.
Kemudian tak lama Kiai Bisri jatuh lagi. Demikianlah jatuh bangun, jatuh bangun. Maka tak lupa, tiap malam beliau senantiasa menyampaikan munajat dan ibtihal kepada Allah SWT. Kisah ini diceritakan langsung oleh pengarang Tafsir al-Ibriz itu dalam kata pengantar buku Sajak-Sajak Al-Burdah karya Dr. Moh. Tolchah Mansoer, SH yang diitulis pada 1974.
Dalam kalimat pembuka, Kiai Bisri mengatakan, “Tulisan ini tidak saya tujukan kepada orang atau teman tertentu, tetapi sekadar untuk catatan saya sendiri, barangkali pada suatu ketika dapat bermanfaat bagi anak cucu saya”.
Adapun lafadz munajat itu juga pernah ditulis Kiai Bisri sebelumnya dalam salah satu karya beliau, al-Haqibah (Menara Kudus, 1972). Beliau juga mencantumkan terjemah bahasa Jawa, menurut beliau jika dengan bahasa Arab tidak dapat menembus hati, karena memang bukan bahasa asli kita, maka silakan menggunakan bahasa Indonesia atau daerah. Berikut ini di antara munajat tersebut:
يَامَنْ يُجِيْبُ دَعَا الْمُضْطَرِّ فِي الظُّلَمِ * يَا كَاشِفَ الضُّرِّ وَالْبَلْوَى مَعَ السَّقَمِ
Duh Gusti, ingkang nyembadani doaipun tiyang kepepet ing wekdal peteng. Duh Gusti, ingkang kuasa ngicalaken melarat lan bebaya sertane sakit.
(Wahai dzat yang mengabulkan doa orang yang terhimpit saat waktu gelap, wahai dzat yang menyingkap keresahan, bahaya, serta rasa sakit.)
قَدْ نَامَ وَفْدُكَ حَوْلَ الْبَيْتِ وَانْتَبَهُوْا * وَأَنْتَ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ لَمْ يَنَمِ
Saestu sampun sami tilem tamu-tamu Penjenengan wonten ing sakiwa tengene dalem. Lan sampun sami ngelilir. Panjenengan Gusti, dzat kang gesang lan dzat kang jumeneng boten sare.
(Sungguh para pengunjungmu telah tidur dan terbangun di sekitaran rumah. Sedangkan engkau dzat maha hidup dan berdiri tidak tidur.)
أَدْعُوْكَ رَبِّي حَزِيْنًا قَلِيْقًا * فَارْحَمْ بُكَائِيْ بِحَقِّ الْبَيْتِ وَالْحَرَمِ
Kawula doa ing Panjenengan duh Pengeran kawula, kawula susah, bingung, judek, Gusti. Mugi welasana Panjenengan ing tangis kawula demi haq baitullah lan tanah Haram.
(Saya berdoa kepada-Mu wahai Tuhanku dengan sedih dan gelisah. Maka rahmatilah tangisanku dengan haq Ka’bah dan Tanah Haram.)
إِنْ كَانَ جُوْدُكَ لاَ يَرْجُوْهُ ذُوْ سَفَهٍ * فَمَنْ يَجُوْدُ عَلَى الْعَاصِيْنَ بِالْكَرَمِ
Menawi kawentenanipun kaloman Panjenengan boten saget dipun ajeng-ajeng deneng tiyang ingkang kumprung, lajeng sinten ingkang ngelumani tiyang-tiyang ingkang maksiat kanti kaloman.
(Jika kedermawanan-Mu tidak bisa diharapkan oleh orang yang lalai, maka siapa yang mendapatkan kemuliaan bagi orang-orang maksiat.)
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa munajat tersebut berasal dari kisah Al-Ashmui’ bertemu dengan lelaki yang tawaf di Kakbah. Lelaki itu melantunkan munajat tersebut sambil menangis sangat sedih dan tersungkur. Ketika didekati, ternyata lelaki itu adalah Imam Zainal ‘Abidin bin Ali bin Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Alhasil, munajat menjadi salah satu senjata ampuh bagi para ulama dalam menyampaikan hajatnya. Beberapa ulama mendefiniskan munajat sebagai dialog rahasia dan perasaan antara hamba dan Tuhan-Nya.
Perbedaannya dengan doa, jika doa adalah permintaan atau permohonan kepada Allah, sedangkan munajat merupakan percakapan (mukhathabah) dengan Allah penuh kerendahan hati, tenang, meluapkan isi hati, dengan segala simpati dan belas kasih agar diijabah dan terwujud hajatnya.
Selain Kiai Ma’ruf Kedunglo dan Kiai Bisri Musthofa, masih banyak munajat yang dipopulerkan oleh para ulama Nusantara lainnya, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Kiai Abdul Karim Hasyim, dan lain sebagainya.
Demikian satu kisah tentang Kiai Bisri, ulama yang banyak menulis buku, singa podium, dan seperti lazimnya para kiai, juga aktivis sosial. Beliau wafat di Rembang, Jawa Tengah, 17 Februari 1977. seorang Wallahu a’lam.