Beberapa hari lalu, penulis menghadiri acara Yaumul Asyura di Zawiyah Arraudhah Ihsan Foundation, Tebet, Jakarta. Selain diisi dengan zikir, doa, dan berbuka puasa bersama, acara ini juga secara khusus memperingati haul Syaikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani al-Makki (1335-1410 H/1916-1990 M).
Hadir dalam acara tersebut, Ust. M. Danial Nafis, M.Si, khadim Zawiyah Arraudhah; KH. Ahmad Marwazie, murid dan pemegang sanad Syaikh Yasin al-Fadani; dan Dr. Wissam Saad al-Huseini, pengajar di Australia. Adapun para jamaah tak hanya dari Jakarta, berbagai wilayah seperti Banten pun berdatangan.
Yang menarik dalam acara yang cukup langka ini ialah pemberian ijazah sanad (silsilah perawi hadis) Al-Fadani. Kiai Marwazie mengijazahkan dua riwayat dari Al-Fadani. Pertama, hadis Rasulullah SAW tentang fadhilah berpuasa di hari Asyura, 10 Muharram, menghapus dosa satu tahun. Hadis shahih ini juga terdapat di kitab hadis Imam Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, at-Thayalisi, dan Ibnu Abi Syaibah.
Dalam disiplin ilmu musthalah al-hadits, sanad yang diriwayatkan Al-Fadani ini termasuk dalam kategori sanad al-‘ali, yakni sanad yang paling dekat. Al-Fadani hanya berjarak tiga guru dengan Muhammad al-Amir al-Kabir, di mana para perawi lainnya ada yang melalui lima sampai tujuh guru.
Hadis musalsal ini juga memiliki kekhususan tersendiri, ia hanya diriwayatkan kepada para perawi selanjutnya di hari Asyura. Sehingga, Kiai Marwazie pun meriwayatkan hadis dari Al-Fadani ini di hari Asyura. Begitu pula para perawi di atasnya sampai Abu Qatadah al-Anshari, sahabat Rasulullah SAW.
Kedua, riwayat musalsal menggunakan subhah atau tasbih. Sanad ini melewati beberapa wali quthb dan imam sufi seperti di antaranya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Abu Bakr al-Syibli, Junaid al-Baghdadi, al-Sirri al-Suqathi, sampai pada seorang tabi’in masyhur, yakni Imam Hasan al-Bashri.
Para perawi menyebutkan, ketika menerima riwayat ini mereka melihat para gurunya memegang tasbih sebagai alat zikir. Begitu pula Kiai Marwazie, ketika meriwayatkan musalsal ini sambil memegang tasbih di hadapan para jamaah.
Kiai Marwazie menuturkan, sebenarnya sejak zaman Nabi sudah ada tasbih namun dengan alat yang berbeda. Rasulullah pernah menggunakan krikil dan biji-bijian sebagai alat tasbih. Ada pula yang ketika itu menggunakan benang yang diikat-ikat kemudian disebut sebagai ‘iqd. Pada perkembangannya, tersusunlah benang dan biji-bijian yang dilobangi sebagai alat tasbih seperti saat ini.
Hemat penulis, tradisi periwayatan hadits semacam ini sangat memberikan banyak faedah. Seorang sarjana muslim tak cukup hanya mendapat hadits dari kitab cetak, apalagi melalui penelusuran instan yang dipandu Google belaka (Google tentu saja penting, jangan dicemooh). Sebab, ilmu adalah cahaya, dan cahaya harus bersumber dari sang pemilik cahaya itu sendiri.
Kini, banyak kita dapati saudara kita yang berbicara hadits namun tidak menghormati para ulama perawi hadis, bahkan ‘pemilik hadis’ pun, yakni Rasulullah SAW tidak dihormati sebagai utusan Allah yang semestinya. Mereka menganggap Rasulullah seperti manusia biasa pada umumnya yang tak boleh diziarahi dan tak boleh diperingati hari lahirnya. Hal ini tak lain karena mereka tak memiliki sanad keilmuan yang bersambung.
Semoga kajian hadis dengan ijazah sanad seperti ini terus berlanjut di bumi Nusantara, terlebih mata rantai yang diriwayatkan Syaikh Yasin al-Fadani. Beliaulah yang membawa baik nama negeri ini ke seluruh penjuru dunia, bahkan satu-satunya ulama yang bergelar musnid al-dunya wa al-din—ahli sanad dunia dan agama. Rahimahullah wan nafa’ana bihi. Amin