Perdebatan adalah sesuatu yang lumrah yang terjadi di mana pun dan kapan pun. Bahkan terdapat banyak perdebatan yang selalu berulang tiap tahunnya, setiap tanggal-tanggal tertentu atau bulan-bulan tertentu tiba. Salah satunya adalah perdebatan tentang Maulid Nabi Muhammad S.A.W. Maulid ini di dalam dunia Islam diartikan sebagai: Hari Kelahiran. Tanggal 12 Rabiul Awal dinilai oleh mayoritas Muslim sebagai tanggal kelahiran Nabi, dan di Indonesia sendiri tanggal tersebut ‘dirayakan’ dengan berbagai hal, bahkan dengan perdebatan yang semakin sengit dengan adanya media sosial di masa kini.
Di Indonesia sendiri sebenarnya perayaan Maulid dalam bentuk sebuah tradisi tertentu menjadi cukup lumrah, karena masyarakat Indonesia banyak yang berafiliasi pada organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama -baik itu secara kultural dan struktural- yang menjadi Ormas terbesar di Indonesia yang membolehkan bahkan menyunnahkan tradisi perayaan Maulid Nabi. Namun di Indonesia sendiri bukan hanya ada NU, terdapat kelompok ormas lain yang cenderung menolak kebiasaan orang-orang NU tersebut.
Baik kelompok yang mendukung dan menolak tradisi maulid, semuanya memiliki argumentasi untuk menguatkan pendapat mereka. Misalnya Sa’id bin Ali al-Qahthani salah seorang Ulama dari Saudi yang pendapatnya sering kali digunakan untuk menolak tradisi Maulid mengatakan:
“Perayaan Maulid adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama. Di mana Allah tidak pernah menurunkan ajaran tentangnya. Sebab Nabi, tidak pernah mensyariatkannya dalam sabdanya, perbuatannya ataupun taqrirnya”
Isnan Anshory penulis buku Pro Kontra Maulid Nabi, mengatakan bahwa para penolak tradisi perayaan Maulid Nabi juga berpendapat bahwa perayaan ini adalah sebuah ibadah, sedangkan hukum asal suatu Ibadah adalah haram (tawqif), yang membutuhkan dalil khusus tentang Ibadah tersebut jika ingin dilakukan. Sedangkan perayaan Maulid Nabi sama sekali tidak memiliki dalil dari Al-Qur’an maupun dari Nabi akan kebolehannya. Maka perayaan Maulid ini adalah hal baru, sedangkan kata Nabi dalam Hadisnya “… Jauhilah perkara-perkara baru, sebab setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan. (H.R Abu Dawud)”
Lantas kelompok pendukung perayaan Maulid tidak tinggal diam, mereka juga memiliki banyak argumentasi tentang untuk menguatkan pendapatnya. Misalnya seperti yang dikatakan Abu al-Hasanain Al-Hasyimi al-Makki yang mengatakan bahwa:
“Dan kaum muslimin tidak pernah menganggap perayaan Maulid adalah sebuah Ibadah. Di mana bagi mereka yang merayakan hanya menganggap hal tersebut adalah kebiasaan semata yang diniatkan untuk taqarrub kepada Allah, dan tidak ada pelarangan atasnya.”
Sedangkan dalam persoalan bid’ah, menurut kelompok yang mendukung perayaan Maulid sendiri mengakui bahwa perayaan Maulid adalah sebuah bid’ah. Hanya saja bagi mereka pengertian bid’ah sendiri terbagi dua. Misalnya seperti yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang mengatakan bid’ah itu ada yang Hasanah dan Qabihah. Ia mencontohkan bid’ah hasanah seperti menambahkan harakat pada Al-Qur’an. Imam Izuddin bin Abdissalam bahkan mengatakan bid’ah terbagi menjadi 5: bid’ah wajibah, bid’ah muharromah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah, bid’ah mubahah. Dan masih banyak ulama lain yang membagi perihal Bid’ah ini.
Dengan demikian mengenai hadis tentang kesesatan bid’ah menurut kelompok pendukung perayaan Maulid, tidak seharusnya dimaknai secara tekstual begitu saja. Sebab bid’ah yang dimaksudkan di situ adalah bid’ah yang bertentangan dengan Sunnah dan tujuan Syari’ah. Sedangkan mengenai ulama Salaf yang tidak melakukan perayaan Nabi, menurut kelompok pendukung perayaan Maulid- hal itu terjadi karena pada masa itu para ulama belum menemukan kaidah yang baku dalam menghukumi hal baru. Dengan demikian mereka hanya mengukur semua hal dengan kaidah-kaidah syariat.
Setidaknya itulah argumentasi yang populer dari dua kelompok yang menolak perayaan Maulid dan yang mendukungnya. Di sini kami tidak akan berbicara mana yang benar dan salah. Kami percaya bahwa setiap kelompok dengan segala argumennya didasarkan kepada keimanan kepada Allah dan untuk kebaikan. Dan menurut kami perbedaan pendapat, selama didasari dengan argumentasi atau dalil, hal itu menjadi suatu kelumrahan. Karena dalam sejarah Islam pun sudah mencatat bahwa terdapat banyak perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam perkara agama. Hal itu bisa dilihat dari munculnya berbagai mazhab Fikih.
Namun, walaupun ulama terdahulu berbeda pendapat dalam banyak perkara, mereka tetapi ukhuwah mereka tetap terjaga. Sedangkan yang menjadi masalah di masa kini, menurut kami adalah sering kali terjadi permusuhan hanya karena perbedaan pendapat. Mengkafirkan bahkan sampai menghina satu sama lain. Termasuk dalam perbedaan pendapat mengenai perayaan Maulid ini. Padahal semestinya kita bisa seperti para pendahulu kita yang terbuka akan perbedaan pendapat.
Dan yang paling penting bagi kami perihal Maulid Nabi ini, mengutip perkataan Kiai Husein Muhammad dalam bukunya yang mengatakan bahwa yang paling penting adalah:
“… meneladani kepribadian Nabi yang mulia dan melanjutkan cita-citanya yang luhur. Cita-cita kemanusiaan universal; membebaskan manusia dari pemujaan terhadap berhala-berhala kekuasaan, praktik-praktik penindasan dan diskriminasi, pembelaan terhadap kaum lemah dan miskin, menjunjung tinggi martabat dan kehormatan manusia, membangun relasi kemanusiaan dalam jalinan cinta-kasih yang tulus, dan menegakkan keadilan terhadap siapa saja.”
Maka dengan demikian, seharusnya permusuhan yang terjadi hanya perilah kebolehan tradisi perayaan Maulid Nabi dihentikan. Dan digantikan dengan melanjutkan cita-cita dan ajaran Nabi untuk kemaslahatan bersama.
Daftar Pustaka
Anshory, Isnan Pro Kontra Maulid Nabi: Mencari Titik Kesepahaman. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018.
Muhammad, K.H Husein. Merayakan Hari-hari Indah Bersama Nabi, Jakarta: Qaf, 2017.