Sedang Membaca
Asal-usul Munculnya Teologi Islam
Ahmad Reza
Penulis Kolom

Mahasiswa al-Azhar sedang menempuh S1 jurusan Tafsir.

Asal-usul Munculnya Teologi Islam

Abbasiyah

Diskursus ke-Tuhan-an selalu menjadi hal yang menarik untuk diutarakan dalam suatu komunitas kajian-masa kini- bahkan sejak zaman Herodotus, karena memang pada dasarnya manusia adalah homo religius mahluk yang memiliki naluri religius.

Disebutkan dalam A History of God bahwa manusia sejak dahulu kala telah banyak menyembah Dewa-dewa yang mereka yakini, ini menunjukan bahwa manusia selalu mengamini adanya kekuatan absolut di balik alam semesta ini (Karen Amstrong, A History of God, hal 13).

Masih menururt Amstrong, Agama yang tercatat pertama kali di dunia ini adalah apa yang pernah dibawa oleh Baginda Nabi Ibrahim, dimana Ia manusia yang pertama kali membawa ajaran monoteisme, dan yang menjadi cikal-bakal mewujudnya triagama Yahudi, kristen, Islam. Pada giliran para pemeluk politeistik secara bertahap mulai tersingkirkan, sejalan dengan nalar insan dengan keadaan zamanya yang telah dikehendaki Allah SWT (Abu Daqiqoh, al-Qoul al- Sadid, hal 149).

Dengan mangkatnya Ibrahim, menyisakan satu problematik pada penerus agama Abrahamik-Yahudi, Kristen, dan Islam-yaitu untuk saling mengklaim, bahwa agama mereka adalah yang paling benar di antara para pemeluk masing-masing agama. Mereka saling beradu argumen dengan merumuskan satu konsep yang pada nantinya kita kenal dengan “Teologi” (Teologi Negatif Ibn Arobi, M. Fayyadl, hal 3).

Baca juga:  Al-Mu’allaqat; Saksi Bisu Pertemuan Sastra Jahiliyah dan Al-Qur’an

Sebuah tradisi baru pun muncul, semula keimanan yang dihasilkan lewat pencarian mulai dirumuskan dan dibakukan sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi satu pedoman utuh dalam membangun dasar keimanan-secara khusus-dan beragama-secara umum-.

Kita kesampingkan teologi selain islam, bahwa teologi dalam islam-Ilmu Kalam-tidak lahir begitu saja, banyak problematik yang mengiringi lahirnya fan ilmu ini. Karena justru problem seperti adanya qodo’dan qodar, pelaku dosa besar, dan ru’yatulloh (melihat Allah) menjadi poin besar dalam tumbuh-kembang ilmu kalam.

Darinya, muncul beberapa kelompok yang mencoba membahas isu-isu tersebut dan mencoba mengklaim bahwa kelompok merekalah yang berhasil memahami isu-isu tersebut dengan benar, tentunya dengan corak metodologisnya masing-masing.

Pada dasarnya, isu krusial ini sudah pernah ada sejak zaman Nabi SAW dan para sahabatnya, namun memuncak ketika dunia islam kehilangan Nabinya. Barulah islam mulai terpecah-belah dan memulai babak baru dalam perkembangan peradaban islam. (Tarek al-Madzahib al-Islamiyah, Muhamad Abu Zahroh, hal 105).

Sejarah berhasil mencatat kelompok Muktazilah-dengan coraknya yang khas rasional murni-yang pertama berhasil mempertahankan posisi islam pada abad ke-2 dari syubhat-syubhat yang coba dilontarkan oleh islam, setelah runtuhnya Bani Umayah dan bergantinya posisi kekhalian dari Damaskus menuju Baghdad. Mereka mencoba menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani atas perizinan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, untuk kemudian dijadikan senjata dalam berdialektika dengan musuh-musuh islam pada waktu itu. (Abu al-hasan al-Asa’ry, Dr. Hamudah Ghorobah, hal 42).

Baca juga:  Menyudahi Dendam Kesumat: Kisah Muawiyah dengan Az-Zurqa binti Uday

Lantas, ketika kekuasaan Abbasiyah dipegang oleh al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Watsiq, kelompok Muktazilah mendapatkan tempat khusus di dalam istana, dan berhasil mendoktrin ajaran-ajaran Muktazilah, sehingga pada waktu itu—otoritas di tangan mereka—banyak orang-orang yang dipersekusi. Dan ini membuat umat muslim membenci kelompok ini.

Tidak lama setelah itu, muncullah kelompok Hanabilah yang khas dengan tekstualis murninya, hadir sebagai antitesis dari Muktazilah. Orang-orang dari kelompok inilah, para Fuqoha’ dan Muhaditsin, menjadi bulan-bulanannya Muktazilah. Yang termasyhur adalah insiden al-Mihnah. Pada taraf inipun umat muslim masih dirundung rasa galau, karena mereka masih mejadi korban kedua dari kelompok Hanabilah yang terlalu mengedepankan teks—tanpa sedikitpun memberikan ruang kepada akal.

Pada masa tersebut, umat Islam mendambakan sosok yang bisa mengelaborasikan antara rasio dan teks, sehingga menjadi suatu metodologi yang moderat yang tidak ekstrem kanan ataupun kiri, bertepatan dengan berakhirnya era Muktazilah dengan kursi kekuasaan dipegang oleh Khalifah al-Mutawakkil. Maka Allah SWT sudah menakdirkan tiga hambanya yang akan mengemban tugas tersebut. Pada giliranya, abad ke-3 menjadi babak baru bagi dunia peradaban islam, dengan Imam al-Asy’ari membawa Asy’airohnya di Basroh, dan Imam al-Maturidy dengan Maturidiyahnya di Samarqond, serta Imam at-Tohawi dengan Aqidah Tokhawiyahnya di Mesir (Islam dan Akal, SAS Center Mesir, hal 78). Wallahhu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top