Abdurrasyid Ridha
Penulis Kolom

Penghulu di KUA Gabuswetan, peminat sastra dan hukum Islam, pegiat Bahtsul Masail di Nahjul Marom Indramayu, Jawa Barat.

Kisah Perdebatan Seorang Badui dengan al-Hajjaj bin Yusuf 

Al-Hajjaj bin Yusuf adalah sosok unik dalam sejarah Islam. Ia mewakili dua karakter yang sangat paradoks. Kebaikan dan kejahatan menjadii satu dalam dirinya. Siapa tokoh yang hidup antara tahun 40-95 H atau 661-714 M ini?

Al-Hajjaj bin Yusuf ialah penguasa yang sering digambarkan kejam, namun ia juga dikenal seorang yang cerdas, hafal Al-Qur’an sejak kecil, dan ahli bahasa. Ia berjasa dalam melengkapi penulisan Al-Qur’an dengan menambahkan tanda baca.

Dalam kitab ‘Uqalaa al-Majaniin karya Ibnu Habib an-Naisaburi (w. 406 H), terdapat kisah penutup yang menarik tentang al-Hajjaj bin Yusuf dan orang Badui. Kisah ini dituturkan oleh Sha’sha’ah bin Shohan (w. 60 H). 

Suatu hari ia bersama rombongan al-Hajjaj bin Yusuf berangkat haji ke Baitullah. Di tengah perjalanan, mereka mendengar seorang Badui mengucapkan talbiyah dari sebuah sebuah oase yang dikelilingi pepohonan dan semak belukar. Tidak seperti biasa, kalimat talbiyah itu sangat puitis dan indah. Akhirnya, al-Hajjaj pun mencari Si Badui dan menemukannya sedang berada di atas seekor unta di antara pepohonan. 

 

 “Kau dari mana? Dan hendak ke mana?” tanya al-Hajjaj. 

“Aku datang dari ujung negeri nun jauh di sana,” jawab si Badui. 

“Dari ujung negeri mana?” kejar al-Hajjaj. 

“Dari Irak,” jawab si Badui. 

“Oh, iya. Iraknya di mana?” selidik al-Hajjaj.

“Di kotanya al-Hajjaj bin Yusuf!” 

“Anda seperti tidak senang dengan Ibnu Yusuf? Apa kelauan dia buruk pada kalian?” al-Hajjaj semakin penasaran. 

“Perlakuannya persis seperti Firaun terhadap Bani Israel yang membunuh anak-anan laki-laki dari Bani Israel. Membiarkan hidup anak-anak perempuan,” jelas si Badui tanpa ragu. 

Baca juga:  Soekarno, Tan Kiem Liong, dan Makan Siang Kiai-Kiai

“Apakah ia sedang bepergian atau sedang berada di sana?” sergah al-Hajjaj.

“Sedang bepergian,” sahut si Badui. 

“Ke mana?”

“Berangkat haji. Semoga Allah tidak pernah menerima hajinya.”

“Apakah ia memasrahkan kekuasaannya kepada seseorang di sana setelah ia pergi haji?”

“Ya, saudaranya. Namanya Muhammad.”

“Bagaimana perlakuannya terhadap kalian?”

“Ia orang yang zalim dan sembrono! Lubang tenggorokannya luas. Suka berbuat maksiat. Orang yang sial!”

“Apakah kau mengenalku?” tanya al-Hajjaj menahan amarah. 

“Tidak!” cetus si Badui. 

“Aku adalah al-Hajjaj bin Yusuf!” tegas al-Hajjaj. 

“Demi Allah, ia orang yang paling jahat di langit dan di bumi!” jawab si Badui tanpa tedeng aling-aling. 

“Aku akan membunuhmu dengan cara yang tak pernah kulakukan terhadap siapapun sebelumnya!” ancam al-Hajjaj. 

“Aku memiliki Tuhan yang akan membebaskanku dan menyelamatkanku darimu!” balas si Badui tanpa gentar. 

“Hai, Badui! Aku mau bertanya padamu!” bentak sang Gubernur Irak itu. 

“Baik! Demi Allah, aku akan menjawab pertanyaanmu!” 

“Apakah kau bisa membaca ayat dari Al-Quran dengan baik?” 

“Ya, bisa.”

“Perdengarkanlah kepada kami!” 

Bismillahirrahmanirrahim,” ucap si Badui memulai bacaan Al-Qur’an. “ Idza jaa’a nashrullah wal fath. Wa raiyta an-naasa yakhrujuuna min diin Allah afwaaja. (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dau engkau melihat manusia berbondong-bondong keluar dari agama Allah.” (QS. an-Nashr: 1-2)

“Salah! Tidak seperti itu, hai Badui!” protes al-Hajjaj. 

“Yang benar bagaimana?” tukas si Badui. 

Baca juga:  Kunci Sukses Perekonomian Dinasti Abbasiyah

Yadkhuluuna fi diinallah afwaaja! (Berbondong-bondong masuk agama Allah).” 

“Betul,” jelas si Badui dengan tenang. “Hal itu terjadi sebelum al-Hajjaj berkuasa. Namun ketika ia berkuasa, orang-orang keluar dari agama Allah!” 

Al-Hajjaj langsung tertawa terbahak-bahak hingga ia terlentang di tanah. Kemudian ia kembali menanyakan pendapat si Badui tentang tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam. Berturut-turut sejak Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, al-Hasan dan al-Husain, hingga Muawaiyah. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, di masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, propaganda kebencian terhadap orang-orang sekeliling Nabi Muhammad menjadi kebijakan politik pemerintah. 

Si Badui menjawab semua pertanyaan tentang tokoh-tokoh tanpa nuansa kebencian sebagaimana yang diajarkan oleh pemerintah saat itu. Kemudian, al-Hajjaj melanjutkan bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu tentang Yazid bin Muawiyah?”

“Menurutku, barangsiapa yang lebih dariku tentu ia lebih buruk darimu!”

“Siapakah orang yang lebih baik darimu dan lebih jelek dariku?”

“Nabi Musa lebih baik dariku. Firaun lebih jelek darimu.”

“Apa yang dikatakan Firaun kepada Musa?” tanya al-Hajjaj. Ia penasaran seberapa dalam pengetahuan si Badui tentang Al-Qur’an.

Dia (Firaun) berkata, “Jadi bagaimana keadaan umat-umat terdahulu?” Musa menjawab, “Pengetahuan tentang hal itu ada pada Tuhanku, di dalam sebuah Kitab (Lauh Mafhuzh). Tuhanku tidak akan salah, dan tidak akan lupa (QS. Thaha: 51-52).” Si Badui mengutip ayat Al-Qur’an yang dimaksud dengan tepat.

“Apa pendapatmu tentang Abdul Malik bin Marwan?” kejar al-Hajjaj. 

“Demi Allah, dia melakukan kesalahan yang memenuhi langit dan bumi,” sahut si Badui.

Baca juga:  Uban Nabi Ibrahim dan Tawar Menawar dengan Malaikat Maut

“Mengapa bisa begitu?” sergah al-Hajjaj dengan tajam. Emosinya mulai naik.  

“Dia mengangkat dirimu untuk mengurus persoalan orang-orang Islam. Engkau menghakimi harta dan darah mereka dengan penindasan dan kezaliman!”

Sontak al-Hajjaj marah dan bersiap menghunuskan pedang. Ia juga memberi isyarat kepada algojonya untuk memenggal leher si Badui. 

Lantas si Badui menggerakkan kedua bibirnya seperti sedang membaca sesuatu. Tiba-tiba pedang yang dipegang oleh al-Hajjaj terjatuh. Sang algojo yang sudah siap memenggal leher si Badui juga jatuh tersungkur. 

Akhirnya, al-Hajjaj membiarkan si Badui pergi. Sebelum ia pergi, al-Hajjaj kembali bertanya, “Atas nama Tuhan yang kau sembah, sudikah kau memberitahukanku doa yang kau baca tadi?” 

“Itu adalah doa yang jika aku ajarkan padamu Allah akan mengampunimu,” jawab Si Badui seraya menyitir sebuah ayat Al-Qur’an. “Engkau tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka. Dan mereka tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu (Qs al-An’am: 52).” 

Si Badui berkata lagi, “Ya, Hajjaj. Doanya begini: ‘Ya, Allah, Pemilik alam semesta; Pembebas kaum tertindas; yang menghancurkan pasukan-pasukan musuh; menggerakkan awan;  menurunkan wahyu; memberi rezeki tak terduga kepada siapapun yang Ia dikehendaki; Maha Raja Diraja; Maha Penerima taubat;  yang mengembalikan Musa kepada ibunya; dan mengembalikan Yusuf kepada ibunya. Aku memohon pada-Mu untuk menurunkan rezeki untukku. Lindungi diriku dari kejahatan orang ini. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
8
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top