Sayup sayup, malam ini, aku mendengar rampak Terbang ditabuh mengiringi Shalawat Hadrah dari dusun Ngepeh desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Jombang. Dari desa tetangga dari kawan SMA Ngoro, Hari Budiono, sahabat yang justru kukenal hingga akrab (lebih dekat), justru ketika keluar dari SMA.
Memori mengembalikanku pada masa kanak-kanak, ketika Ayah mengajakku menghadiri Acara Shalawat Hadrah Jawa Timur di daerah-daerah di Jawa Timur. Acara ini biasa dihelat ketika Haul Para Wali Songo area Jawa Timur.
Aku yang masih kecil kala itu diajak oleh ayah bersama rombongan dari Pengurus ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) afdeling Pare, menaiki bak truk menuju acara yang mistis ini. Yang aku ingat, aku pernah diajak dalam acara ISHARI menuju; Makam Mbah Ismail Kedung Maling Mojokerto, Mbah Karimah (Mertua Sunan Ampel), Kembang Kuning Surabaya, Makam Mbah Sunan Bungkul, Makam Sunan Giri, Makam Sayyid Sulaiman Mojoagung, dll. Tentu acara ini tidak dihelat tepat di makam (maqbarah) beliau beliau, tapi di masjid-masjid yang dibangun oleh beliau-beliau.
Konon, Shalawat Hadrah ini dianggit oleh seorang Kyai dari Pasuruan untuk menghalau serangan dari pasukan Belanda. Dengan menabuh terbang dan melantunkan Shalawat Hadrah; Rādat, Bi Syahrin, Tanaqalta, dll, konon Serdadu Belanda tidak bisa melihat kanan kiri, depan belakang, atas bawah, terhalang oleh karamah shalawat hadrah. Konon juga, dengan sholawat ini, langit terbuka dan orang alim arif bisa melihat Tentara ghaib dari bangsa malaikat turun membantu Pasukan Santri Pribumi untuk memukul mundur serdadu Belanda.
Mbah Hadi adalah Pembaca Radat dari Mojoagung. Maka jika Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) sebagai Putra Jombang menghelat acara ‘Seribu Terbang’ di Pendopo Trowulan dalam tajuk ‘Banawa Sekar’ dengan seribu penerbang yang membaca shalawat sambil menari Saman ini, tidak diragukan, beliau sedang berusaha nguri-nguri budaya Santri yang hampir hilang ditelan oleh isme-isme yang datang belakangan.
Adikku yang masih bayi di tahun 1993, Muhammad Luqman Al-Hakim, di-aqiqahi dengan mengundang Jama’ah Shalawat Hadrah. Dengan pukulan terbang dan shalawat hadrah ini, dia dikelilingkan untuk dipotong rambutnya, tidak ada tangis kaget saat terbang dipukul. Hari ini, Thole Hakim, aku memanggilnya, menjadi remaja yang tidak kagetan dan nggumunan.
Cak Nun dan Kyai Kanjeng dalam albumnya ‘Zaman Wis Akhir’ mengaransemen lagu-lagu dalam album ini dengan tambahan Pukulan Terbang, bukan tanpa relasi historis. Beliau yang sekarang dipanggil Mbah Nun oleh Jama’ah Maiyah pun, memiliki ingatan masa kecil tentang Shalawat Hadrah di Kampungnya, Menturo Sumobito Jombang.
Aku mendengar sendiri penuturan dari santri Allahyarham, Mbah Muhammad ayah Cak Nun. Setelah Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno, ruang berkesenian Santri harus bersaing dengan Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat).
Mbah Muhammad yang melihat suasana Plural di Desa Menturo, memilih berkesenian untuk menghalang laju kesenian Lekra yang massif dilakukan dengan lakon-lakon Ludruk, Wayang, dengan muatan yang sangat materialistik dan dialektis ini. Beliau, Mbah Muhammad yang berkultur Priyayi Santri, memilih Muhammadiyah sebagai wadah yang tepat berkesenian ini, tidak bergabung dengan Lesbumi, atau bahkan Manikebu.
Shalawat Hadrah, yang sudah menjadi tradisi massa Santri di Menturo, digalakkan eksistensinya oleh Mbah Muhammad sebagai rival Tradisi Ludruk dan Wayang yang sudah ‘keluar pakem’ dalam muatannya. Hal yang membuat Cak Nun dan Kyai Kanjeng, merasa harus memunculkan kembali eksistensi Shalawat Hadrah ini.
Terakhir kali aku melihat ISHARI dan Shalawat Hadrahnya ditampilkan kembali beberapa bulan yang lalu, saat Cak Nun dan Kyai Kanjeng diundang oleh Bu Nyai Munjidah Wahab (Putri ke Sembilan Mbah Abdul Wahab Chasbullah, Bupati Jombang) dalam acara tahunan ‘Hari Berkunjung Jombang’. Besar kemungkinan, Cak Nun meminta Bu Nyai Munjidah, untuk membuka acara ‘Ngaji Bareng CNKK’ dengan acara pembuka Shalawat Hadrah dari ISHARI Kabupaten Jombang.