Iqbal adalah penyair yang sejajar dengan Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, maupun Omar Khayyam. Diantara sekian nama penyair itu, hanya Iqbal yang memiliki kekhasan tersendiri dalam puisinya. Puisi Iqbal boleh dikatakan merupakan suara dari pikiran dan kegelisahannya, lebih jauh merupakan kegelisahan Timur sehingga gemanya lebih besar. Pada puisinya ia lebih filosofis dalam menyatakan pemikirannya. Sehingga akan terasa susah mengkaji pemikiran Iqbal secara utuh tanpa menengok puisinya.
Iqbal hidup dalam keadaan zaman yang lesu, ambruk, dan tak berdaya menghadapi zaman di kala itu. Iqbal dilahirkan di Sailkot Punjab, 22 Februari 1873. Bakat kepenyairannya sudah nampak semenjak kecil. Atas bimbingan Mir Hasan, Iqbal menemukan kepercayaan diri lebih matang untuk menulis puisi. Pernah Iqbal meminta komentar dan masukan dari gurunya itu tentang puiai-puisinya, lalu sang guru menjawab : “Puisimu sudah layak, aku tidak akan mengomentari lagi.” Semenjak mendapati komentar gurunya itu, semakin kukuh Iqbal menulis puisi dan menemukan kepercayaan dirinya sebagai penyair.
Bila kita tilik sejarah seni terutama kepenyairan di India sendiri, kita bisa menengok catatan yang ditulis oleh C.Israr (1978) yang menulis buku berjudul Sejarah Kesenian Islam II. Israr menulis bahwa di India pernah dipimpin oleh Sultan Mahmud Ghazna, ia sangat berjasa dalam mengembangkan kebudayaan Islam di India dan Afghanistan. Banyak mesjid-mesjid dan bangunan indah yang didirikan.
Pada masanya, telah dibangun perguruan tinggi Islam yang dilengkapi dengan perpustakaan. Bahasa Persia dijadikan sebagai bahasa resmi kerajaan, sehingga kesusasteraan Persia berkembang dengan baik. Di masa inilah lahir Firdausi seorang pujangga Persia terbesar. Ia mengarang kitab “Syah-Nameh” atau kitab raja-raja. Pada masa Sultan Mahmud Ghazna, kita juga mengenali Al-Beruni yang telah menyusun “Tahqiqi-Hindi” yang artinya India yang sebenarnya yang dikarangnya di tahun 1030 M.
Bahasa Persia secara historis telah memiliki peranan penting dalam perkembangan kesusasteraan India. Bahasa ini memiliki nilai sastrawi yang khas di dalamnya. Bentuk Ghazal misalnya adalah bentuk puisi paling tua dan paling terkenal dalam bahasa Persia. Asrar-I-Khudi salah satu buku puisinya yang ditulis di masa produktifnya sebagai penyair ditulis dalam bentuk Ghazal.
Yang menarik dari puisi Iqbal sebenarnya bukanlah puisi itu sendiri, tapi apa yang ada di balik puisi itu ditulis. M.M. Syarif (1984) menulis; “puisi-puisi Iqbal dan pandangan keseniannya sangat banyak ditentukan oleh kondisi sosial yang terjadi di negerinya selama hidupnya. Seni sastranya mempunyai makna sebagai hasil seni suatu masyarakat yang baru keluar dari masa kemundurannya.
Ada catatan menarik yang kita dapati dari H.H. Bilgrami dalam bukunya Iqbal Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya (1979).
“Bagi Iqbal, puisi bukanlah tujuan itu sendiri. Itu hanyalah sarana untuk tujuan yang lebih tinggi yang menarik perhatiannya. Makin ia renungkan, dan pelajari makin yakinlah ia bahwa sesuatu yang bisa menyelamatkan umat manusia yang kesasar, yang bergerak maju menuju kehancuran, ialah penerimaan yang sepenuhnya pada prinsip-prinsip Islam yang asasi yang diwahyukan dalam ajaran-ajaran Al-qur’an dan ditafsirkan dalam kehidupan nabi yang mulia sendiri.”
Lebih lanjut Bilgrami mengutip pengakuan Iqbal sendiri “Aku mencoba dan merasakan ketika membaca Al-qur’an bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa berbicara kepadaku, dan kedua berusaha membawa pesan-Nya kepada seluruh umat manusia.” Maulana Sulaiman Nadwi secara tepat menyebutkan bahwa itulah sesungguhnya esensi, “syarah” atau uraian dan “matan” atau isi dari seluruh sajaknya.
Iqbal sendiri menyatakan bahwa puisi adalah cahaya filsafat sejati dan pengetahuan sejati yang lengkap. Iqbal telah menulis sajak yang bersifat lirik, filosofik, epik dan metafisik. Ia menulis elegi, ode, satire dan rubaiyat (Luce, Miss dan Matre, Claude, 1989 :79).
Iqbal termasuk penyair yang cukup produktif, setiap buku puisinya berisi tahapan perkembangan kepenyairan Iqbal. Situasi itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi Iqbal dan latar yang mempengaruhi karyanya. Dalam Asrar-I-Khudi (Rahasia Diri), Iqbal membentangkan konsep filsafatnya, banyak yang menyebut Asrar-I-Khudi sebagai filsafat pribadi atau ego dari Iqbal. Di buku Ramuz-I Bekhudi (Misteri Peniadaan Diri) pada buku ini, ia meletakkan dasar-dasar tentang masyarakat ideal yang di dalamnya manusia sempurna akan mencapai kedewasaannya (Luce, Miss dan Matre, Claude, 1989 :80).
Iqbal telah membangunkan Islam dari tidur panjangnya melalui puisi yang ia tulis. Sebab apa yang ia tulis di puisinya adalah filsafat yang membuat Islam terbangun kembali di Asia maupun dunia di kala itu. Iqbal sebagai penyair tidak bisa dilepaskan dari peranannya sebagai seorang pemikir atau filosof. Meski dengan bahasa dan daya ungkap yang indah, Iqbal secara tidak langsung, ia menulis puisi-puisinya sebagai jalan untuk merespon realitas di sekelilingnya.