Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Obituari: Sapardi Djoko Damono, Penyair (Tak) Sederhana Itu 

Timthumb

Yang fana adalah waktu, kita abadi. Petilan puisi Sapardi itu memang menggoda buat kita. Kita seperti diajak bermain-main bersama Sapardi. Siapakah yang abadi? Kita, ataukah waktu? Yang dimaksud kita adalah pembaca dan penyair, ataukah penyair dengan siapa yang entah tak disebut?

Sapardi menyebut apa yang ia tulis adalah permainan makna. Ini pernah ditulisnya sendiri dalam sebuah buku yang dieditori oleh Pamusuk Eneste (2009) yang berjudul Proses Kreatif; Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. 

Sapardi bukanlah penyair yang hidup dalam satu tempaan dan gempuran pencarian yang menggebu-gebu seperti Chairil Anwar. Ia bukanlah penyair yang hidup sepenuhnya dari puisi. Ia juga seorang penerjemah, ia juga seorang pengajar atau dosen di kampus. Kehidupannya tidak seheroik penyair-penyair sebelumnya. 

Dari kegemarannya membaca, ia mengenal penyair Rendra, Hartojo Andangdjaja, Chairil Anwar dan mengantarkannya kepada perpustakaan, persewaan toko buku, dan puisi Indonesia modern. Sapardi bergelimang wacana, bergelimang bacaan puisi. Ia sangat suka membaca puisi siapa saja. 

Sapardi menyadari betul bahwa seorang penyair adalah seorang kreator. Sapardi diakui sebagai seorang kreator, penemu, yang oleh A Teuw dikatakan sebagai—genre baru yang belum ada namanya—, saat mengomentari puisinya Catatan Masa Kecil. 

Ia menyadari, seorang penyair atau sastrawan sekalipun, tidak boleh plagiat terhadap karyanya sendiri. Ini membuat Sapardi di setiap karyanya menjadi semakin matang dan semakin luas. Karya Sapardi di puisi akan nampak berbeda sekali saat kita menjumpainya dalam bentuk novel. Begitupula akan terasa berbeda saat kita menjumpainya dalam bentuk cerpen. 

Buah dari Membaca

Sebagai sastrawan, Sapardi tidak hanya terpatok untuk berkarya dalam satu genre. Ia membuktikan sendiri dengan menulis novel dan cerpen. Meski moncer sebagai penyair, tapi kerja kreatifitasnya tak mati. 

Baca juga:  Eksklusif dari Iran: Jejak Gus Dur di Tanah Persia

Sapardi memang lebih populer dikenali generasi muda kita karena puisi-puisinya. Namun cerpennya pun tidak kalah bagus dengan puisi-puisinya. Di kumpulan cerita pendeknya bertajuk Menghardik Gerimis terasa betul cerita pendeknya meski amat pendek, namun begitu dalam maknanya. Peristiwa hujan, bisa diceritakan dengan bahasa khas ala Sapardi. Orang akan tercenung, bahkan bisa berpikir berhari-hari saat membaca cerpennya. 

Jangankan saya, Joko Pinurbo saja amat terkesan sehingga membuatnya menulis novel berjudul Srimenanti (2019). Di novel itu, kita seperti mendapat penjelasan yang cukup terang mengenai sajak pendek Sapardi bertajuk Tuan. Bahkan buku novelanya itu ia akui terinspirasi dari puisi Sapardi bertajuk “Pada Suatu Pagi Hari”. 

Sapardi seperti memiliki pengaruh kepada penyair atau sastrawan lain. Satrawan muda kita juga banyak yang terinspirasi dari Sapardi. Aan Mansyur misalnya sangat menyukai dan menggemari Sapardi. Mengenai “Faktor Sapardi” ini pernah diungkapkan oleh Nirwan Dewanto.

Ketekunan dan ketabahan Pak Sapardi dalam berkarya memang membuat para generasi muda iri. Sapardi di usia jelang 80 tahun pun masih mengeluarkan buku. Ia beberapa tahun terakhir berkolaborasi dengan anak muda. 

Tahun 2020, ia menerbitkan buku puisi kolaborasi dengan penulis muda Nadhifa Allya Tsana. Ia juga berkolaborasi dengan ilustrator muda berbakat Naimatur Rafiqoh alias Nai Rinaket yang kebetulan tinggal di Solo. Sebelum-sebelumnya, Sapardi pun dikenal sebagai pengantar buku puisi para penyair muda. Ia mengikuti dan membaca karya para sastrawan sesudahnya. 

Baca juga:  Mbah Moen: Tentang Cinta dan Ilmu yang Tak Bertepi

Penyair “Hujan Bulan Juni” ini pun tidak merasakan jarak antara generasi tua dan generasi muda. Ia ikut membaca dan mengamati gejala kepenyairan sesudahnya. 

Ia sering diundang oleh kalangan generasi muda, sering di beberapa pertemuan yang diadakan oleh anak muda berpesan agar anak muda tidak berhenti membaca. Ia sadar betul bahwa kelemahan generasi muda kita adalah ingin cepat berkarya, tapi jarang membaca. Ini tentu mengingatkannya saat ia berproses di zaman yang serba sulit dan penuh tantangan, tidak seperti sekarang. 

Saya pernah mengikuti acara di Balai Soedjatmoko Solo. Saat itu Sapardi penyair dari Solo itu seperti pulang ke kampung halamannya. Saya menyimak dialog dan meresapi apa yang ia tuturkan. Tubuh tuanya, masih cukup jelas mengatakan sesuatu, meski energi dan daya tubuhnya sudah cukup melemah. Sapardi masih “nyentrik” seperti anak muda. Eyang sering ditanya mengenai mengapa dan bagaimana menulis puisi?. Ia pun membagi resep bagaimana menulis puisi adalah dengan gemar membaca. Ia tetap meladeni para kalangan muda meminta tanda tangan dan berfoto dengannya. 

Bermain-main “Makna”

Puisi-puisi Sapardi adalah puisi-puisi yang (kelihatan) sederhana. Ia kerap membawa diksi hujan, pagi, kolam, ikan, angin, gerimis, anak kecil. Meski sederhana, namun di dalamnya, ia tidak ingin melepaskan puisinya dari makna. Sapardi menyebutnya “ asyik bermain-main kata sampai di dalamnya tersusun dunia yang bermakna.”

Ada semacam “misteri” yang setiap kita membaca puisinya tidak langsung selesai. Kita bisa menilik puisi yang bertajuk BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI. Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi/ matahari mengikutiku di belakang/ aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan/ aku dan matahari tidak bertengkar/ tentang siapa diantara kami yang menciptakan bayang-bayang/aku dan bayang-bayang tidak bertengkar/tentang siapa diantara kami yang harus berjalan di depan. 

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (2): Humor Kiai As’ad dan Syahadat Seorang non Muslim

Diksi yang sederhana, peristiwa yang sederhana itulah yang pada kenyaataannya dikemas Sapardi menjadi puisi yang tidak sederhana saat dituliskan. Sapardi seperti tidak ingin melewatkan peristiwa sesederhana apapun bila itu membuat dirinya merasa memiliki atau mengesankan hatinya. Itulah kesederhanaan yang tidak sederhana dari cara bersyair Sapardi. 

Kini, di bulan Juli, Sapardi telah meninggalkan kita semua, penyair “Hujan Bulan Juni” itu pun harus meninggalkan juni sebagai bulan yang tetap romantis. Kepergiannya begitu ritmis, meninggalkan perih dan pedih yang sunyi. Sapardi kini telah tiba seperti puisi yang ditulis oleh Hasan Ashapani : Ada sebuah hujan/ kusimpan lebatnya dalam ingatan/ Sejak saat itu, aku rindu dimandikan. Berteduh di gerbangmu, Kuburan/ Kita berbagi hujan/ aku dapat dinginnya/ kau dapat basahnya/ adil, kan?. 

Sapardi telah pergi, namun sajak dan puisinya terus mencari-cari, seperti pesan yang ia tulis di puisinya Pada Suatu Hari Nanti : pada suatu hari nanti/ jasadku tak akan ada lagi/tapi dalam bait-bait sajak ini/ kau tak akan kurelakan sendiri. pada suatu hari nanti/ suaraku tak terdengar lagi/ tapi diantara larik-larik sajak ini/ kau akan tetap kusiasati/ pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi/ namun di sela-sela huruf sajak ini/ kau tak akan letih-letihnya kucari.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top