Sedang Membaca
Guru Madrasah Berinovasi Mendidik Generasi (4): Guru Madrasah Harus Linuwih

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Guru Madrasah Berinovasi Mendidik Generasi (4): Guru Madrasah Harus Linuwih

Whatsapp Image 2022 11 15 At 23.08.51

Orang Jawa memandang konsep guru sebagai sosok yang sempurna. Guru dalam khazanah orang Jawa adalah orang yang diteladani, diikuti dan memiliki pengaruh dalam jiwa Si murid. Ki Hajar Dewantara menyebut bahwa sistem pendidikan di Jawa menganut sistem paguron. Orang Jawa sering menyebut proses pencarian ilmu ini sebagai sebuah laku. Mereka akan mencari guru yang sempurna itu untuk memperoleh pengetahuan dan juga kebijaksanaan hidup agar mampu mengarungi samudera hidup yang penuh kelok dan lika-liku. Konsep paguron ini ada dalam pendidikan Islam.

Kehadiran Nabi dan Rasul sebagai guru dan pusat kehidupan menjadi magnet dan juga semangat orang-orang dalam tradisi Islam awal untuk menuntut ilmu. Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang bermula dari langgar ini menjadi inspirasi dan juga diwariskan dari generasi ke generasi dalam didaktik pendidikan Islam.  Langgar atau masjid dianggap sebagai episentrum peradaban bukan sekadar tempat ibadah dalam arti fisik semata. Masjid juga sebagai pusat pergerakan pemikiran, arus hubungan sosial kemasyarakatan dan tempat dialog dan berkembangnya pengajaran dan pendidikan Islam.

Tradisi Pengajaran Situasi, model dan juga pola pendidikan Islam tercermin dalam pendidikan di madrasah dan pesantren. Model dan karakter pendidikan Islam seperti Madrasah itu bisa dilihat dari penggambaran yang ditulis oleh Azyumardi Azra (2002) dalam bukunya Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Azra menulis: “Hampir seluruh madrasah/al-jamiah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf baik dari dermawan kaya/penguasa politik muslim.

Baca juga:  Islam dan Hak Asasi Manusia (4): Kisah Para Sahabat yang Juga Mempraktikkan HAM dalam Kekhalifahannya

Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak ke dalam lapangan ilmu-ilmu agama yang dipandang akan lebih mendatangkan banyak pahala dibanding ilmu umum yang mempunyai aura profan”. Kemunculan pendidikan Islam khususnya madrasah memang dilandasi oleh semangat atau etos beragama dan dakwah. Madrasah dianggap bukan sekadar tempat mengajar dan memperluas pengajaran agama, tetapi juga dijadikan sebagai ladang amal kebajikan.

Guru di madrasah dianggap sebagai sosok yang memiliki otoritas keilmuan, kemampuan lebih (linuwih) dibanding yang lain serta keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran dan sistem pendidikan yang menyeluruh dan tidak terlepas ruang dan sekat belajar menjadi ciri pokok yang membedakan pendidikan lainnya.  Pengajaran dan pendidikan yang holistik ini memungkinkan murid tidak hanya melihat gurunya dalam langgar atau ceramah. Tetapi melihat keseharian gurunya dalam sosial kemasyarakatan yang diikuti, dipatuhi dan diteladani.

Guru di madrasah pada waktu itu identik dengan ulama atau kiai kampung yang tidak hanya menguasai ilmu fiqih, namun juga nahwu, Alquran serta kitab kuning. Mereka juga guru yang memiliki keahlian dalam metodik seperti bercerita dan memasukkan nilai-nilai kepada muridnya. Antara Otoritas dan Kharisma Madrasah dan pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan dan pengajaran tertua di Indonesia. Sebagai sistem pendidikan tertua, madrasah memiliki pengaruh dan kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Perkembangan dan peran madrasah sebagai institusi pendidikan Islam yang bertahan sampai sekarang tidak terlepas dari peranan guru di dalamnya.

Baca juga:  Paradigma Ekonomi Alternatif "Kawruh Beja" di Tengah Pagebluk

Guru dalam pendidikan berbasis madrasah memiliki peran sentral dalam membentuk, mempengaruhi dan mengembangkan pendidikan Islam. Ada tradisi yang berkembang pada lingkup pendidikan Islam kala itu yang menjadi pertimbangan orangtua membawa anaknya kepada pendidikan madrasah.  Orangtua melihat dan memilih guru dengan beberapa kriteria yang dianggap memenuhi dan bisa menjadi harapan dalam mendidik anaknya kelak. Kriteria atau karakteristik itu bisa dilihat dan menjadi pertimbangan sampai saat ini walaupun semakin modern pergeseran itu makin nampak dari personal kepada institusional kelembagaan.

A. Mudjab  Mahadi dan Umi Mujawazah Mahadi (1994) dalam bukunya Kode Etik Kaum Santri menulis : “Di dalam memilih guru hendaknya yang lebih alim (cendikia), dan wara’ (menjauhi yang haram).” Konsep cendikia ini tentu saja yang dianggap memiliki kelebihan dalam ilmu agama, yang dalam sistem pendidikan Islam modern menjadi berkembang dan mengalami pergeseran. Baca Juga  Anarkisme, Gerakan tanpa Pemimpin Kiai Saifuddin Zuhri mengisahkan bagaimana kriteria guru yang baik di madrasahnya kala itu. Ia belajar di Madrasah Al-Huda di kampung Sukareja Wetan. Madrasahnya yang disebutnya cuma langgar itu kelak akan memberi pengaruh pada dirinya dan perkembangan madrasah yang menjadi pusat pendidikan para kiai dan ulama di Jawa.

Pada bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren (1978), Kiai Saifuddin Zuhri menceritakan ihwal gurunya Mbah Haji Abdul Fattah yang setidaknya memiliki karakter atau kepribadian disiplin. Selain itu, sosoknya digambarkan sebagai seorang guru, pemimpin dan bapak. Pengisahan Saifuddin Zuhri itu memberikan kita gambaran kuat bahwa guru di madrasah mesti memiliki karakter yang dapat dicontoh, baik sebagai pemimpin yang memiliki kharisma untuk ditaati dan diikuti dan juga sebagai bapak atau pengayom yang mampu membimbing dan momong muridnya.

Baca juga:  Manusia Pertama di Bumi

Kompetensi Sosial Guru madrasah memang dianggap memiliki karakteristik berbeda dengan guru pada umumnya. Selain memiliki akhlak yang baik juga dituntut memiliki kompetensi sosial yang baik pula. A. Malik Fadjar (1999) menulis dalam bukunya Reorientasi Pendidikan Islam: “Setiap guru gaama dituntut untuk membawa peserta didiknya untuk menjadikan agamanya sebagai landasan moral, etik dan spiritual dalam kesehariannya.” Lebih lanjut Malik Fadjar menekankan bahwa guru madrasah mesti menjadi “komunikator dalam menciptakan suasana keagamaan individu maupun kelompok lingkungannya.”

Seiring dengan berkembangnya madrasah dan tantangannya di era millennium, guru madrasah saat ini juga dituntut untuk memiliki kecakapan teknologis dan kecakapan digital untuk membekali peserta didiknya mengarungi dan menghadapi zaman yang serba modern ini. Selain itu, guru madrasah juga dituntut untuk mengembangkan keilmuan serta cakrawala pengetahuan yang luas yang memungkinkan santri atau muridnya bisa berkembang lebih luas tidak hanya dalam bidang agama semata.

 

 

*Artikel ini pertama kali dimuat IBTimes.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top