Pertama kali saya membaca disertasi itu, sebagaimana jutaan orang yang ikut ribut, hanyalah cover yang saya dapat dari grup whatsapp UIN Sunan Kalijaga, dishare langsung oleh Pak Rektor yang sedang menguji.
Komentar saya di grup saya batasi begini: milk al-yamin itu budak, kalau judul ini diubah, “Perbudakan sebagai keabsahan hubungan seks non-marital” Saya yakin 100% bahwa mereka yang pernah belajar Fikih tahu, tuan boleh menggauli budaknya. Tidak ada yang baru, tidak ada yang kaget.
Komentar saya segera dijawab oleh Wadir Pascasarjana UIN, bahwa “Bukan perbudakan yang dimaksud Syahrur.” Ya, karena saya belum baca, saya tidak lanjut komentar.
Ketika isu ini semakin viral di luar, saya kembali komentar sebatas cover dan judul. Kalau melihat judulnya saja, untuk apa bikin disertasi seperti ini? Syahrur mengatakan bahwa milk al-Yamin dapat menjadi dasar keabsahan pernikahan non-marital dalam bukunya, lalu disertasi ini meriwayatkan saja pernyataan Syahrur itu. Apa bedanya dengan book review atau resensi? Disertasi lho! He should do more!
Saya tidak berani komentar lebih lanjut, wong belum baca.
Nah, setelah saya baca disertasi ini sebagai disertasi, saya tanpa ragu mengatakan ini disertasi yang ‘lumayan bagus’. Mengapa lumayan? isinya tidak sesederhana judulnya, tetapi pada saat yang sama belum mencapai apa yang harusnya dicapai oleh disertasi yang bagus.
‘Lumayannya’ bahkan lumayan lebih bagus daripada disertasi-disertasi lain yang mungkin terpaksa diluluskan karena si promovendus hampir kena DO, penguji kasihan, promotor kasihan, semua orang kasihan karena si promovendus ini sakit kanker stadium 3, atau lain-lain alasan ‘kemanusiaan’ yang biasanya meluluskan seseorang sebagai doktor meskipun disertasinya tidak layak menjadi disertasi. Apakah ada yang seperti itu? Buaaaaaanyak!
Disertasi Pak Abdul Aziz tidak seperti itu. Penulis menguasai literatur primer dan sekunder dalam teks Arab dengan baik. Dia baca kitab tafsir dan Fikih terkait nikah, budak, dan khususnya milk al-yamin. Ayo, kalau Anda tidak bisa baca teks Arab gundul, dari sekarang tutup mulut saja, nggak usah ikut menghujat disertasi ini, karena Anda sama sekali tidak layak untuk komentar!
Jadi ini disertasi yang bagus? Ya, dibanding yang belum pernah nulis disertasi tapi komentarnya galak. Dibandingkan disertasi Islamic Studies tetapi penulisnya nggak bisa baca kitab dan pinjam terjemahan atau nyuruh orang untuk menerjemahkan. Dibanding banyak disertasi yang gitu-gitu saja. Sebagai orang yang pernah nulis disertasi dan disertasinya nggak bagus-bagus amat, saya tahu ini disertasi yang bagus.
Tetapi tentu bukan tanpa kelemahan.
Pertama, novelty. Pak Aziz memang menyebutkan beberapa riset lain terkait Syahrur dan sebenarnya sudah cukup memadai. Tetapi risetnya tidak menawarkan “temuan baru”. Milk al-Yamin bisa menjadi dasar seks non-marital? Itu yang dikatakan Syahrur. Temuan Pak Aziz apa? Nggak ada! Judul disertasinya begitu kan? Disertasi ini tentang pendapat Syahrur, bukan pendapat penulis disertasi!
Atau begini mungkin… Dalam disertasi itu disebutkan tentang “hermeneutika Syahrur dalam menggali hukum Islam”. Dalam disertasi, ada bebeberapa halaman yang bicara ini… Ini bisa disebut “temuan” dalam disertasi Pak Aziz, menurut saya.
Sayangnya, masalah ini bukan yang ia bahas di latar belakang, hanya menjadi salah satu sub pertanyaan di metodologi, dan tidak dibahas mendalam di pembahasan. Ketika berbicara tentang hermeneutika, Pak Aziz tidak cukup meyakinkan, menurut saya, dalam menjelaskan korelasi Hermenutika Syahrur dengan pendapatnya tentang Milk- al-Yamin.
Misalnya, Pak Aziz menemukan “Syaḥrūr melihat bahwa sebuah kata tidak terlahir dari suatu konteks tertentu. Oleh karenanya makna menjadi fleksibel, ia akan selalu mengikuti perkembangan zaman dan kondisi. Oleh karena itu juga, ia melihat makna yang terkandung dalam al-Qur’an bersifat relatif, mengikuti perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang melingkupinya.”
Pak Aziz berhenti di situ. Tidak dilanjut, tidak digunakan menjelaskan Milk al-Yamin yang ia maknai secara bebas, suka-suka, fleksibel.
Plus, Pak Aziz tidak terlalu tertarik soal metode dan hermeneutika. Di wawancara dengan TV pun beliau lebih sibuk ikut arus media berbicara tentang Pendapat Syahrur. Sekali lagi, Pendapat Syahrur, bukan pendapat Aziz.
Kedua, Pak Aziz belum memperoleh secara lengkap buku-buku Syahrur. Ia hanya menggunakan tiga buku saja. al-Kitab wa al-Quran, al-Islam wa al-Iman, dan Nahwa Usul al-Jadidah. Ada satu kitab yang tidak ia sebutkan, “al-Islam: al-Aslu wa al-Surah” (2014) dan tidak ia teliti.
Ada sekian biji lagi, yang juga tidak ia jadikan data penelitian dan hanya ia ceritakan berdasarkan sumber sekunder. Meneliti hanya tiga buku dan mengabaikan lebih banyak judul yang ditulis Syahrur adalah kelemahan yang tak dimaafkan untuk sebuah disertasi.
Ketiga, seperti kebanyakan ‘tradisi’ kita menulis. Kita sering mencampuradukkan data primer dan sekunder. Saat bicara tentang bentuk-bentuk ‘seks non-marital’, misalnya saja, Pak Aziz lompat-lompat cari referensi non-Syahrur. Akan lebih baik kalau ia fokus ke Syahrur dan penjelasan di buku-bukunya. Kelemahan yang seperti ini umum terjadi ya. Bukan hanya Pak Azis. Dengan begitu, boleh lah dimaafkan.
Jadi, dengan mengambil tiga aspek itu, saya bisa mengatakan bahwa disertasi Pak Azis sebagai disertasi tentang pemikiran seseorang adalah disertasi yang ‘lumayan bagus’, tetapi dengan kelemahan yang lumayan dari segi data primer.
mantap sebagai akaademisi memang harus bijak menyikapi karya ilmiyah, hanya ketika menulis karya ilmiyah mesti dipikirkan juga efek yang akan timbul dimasyarakat. apalagi masyarakat kita saat ini dalam tanda kutif masih terkotak-kotak akibat politik.
saya berterima kasih atas peluruysan ini