Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah meluncurkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK), pada pertengahan Oktober 2019. IPK merupakan indikator Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020 – 2024, yang mengadopsi konsep Culture Development Indicators (CDIs) milik United Nations Educational Scientific and Cultural Organizations UNESCO.
IPK diluncurkan tidak untuk membandingkan satu budaya di daerah tertentu dengan budaya di daerah lain, tetapi menjadi instrumen untuk menumbuhkan kebudayaan dan petunjuk dimensi kebudayaan yang masih perlu dibenahi, didukung, serta dikembangkan. Budaya yang kaya merupakan salah satu modal dasar dan penggerak signifikan roda pembangunan Indonesia.
Nilai budaya dan mentalitas merupakan faktor utama dalam menggapai kemajuan pembangunan suatu bangsa (Indeks Pembangunan Kebudayaan, 2018). Sebagai produk turunan dari Undang-Undang No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, IPK merupakan salah satu pemandu arah dan kebijakan pendidikan nasional.
Dalam wawancara dengan Kompas, 7 November 2019, tentang Redefinisi Pendidikan, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mengungkapkan, ada dua aspek utama yang mendesak dilaksanakan. Pertama, memberikan otonomi pada warga sekolah agar mampu bereksperimen dan berinovasi menemukan, sekaligus membangun sendiri model pendidikan terbaiknya. Kedua, fasilitasi layanan warga sekolah yang didesain selaras dengan kebutuhan warga sekolah, yang beragam (berbeda budaya, letak geografis, latar belakang wali siswa).
Ia memberikan asesmen sementaranya bahwa, semakin banyak regulasi pendidikan yang digulirkan pemerintah, justru kontraproduktif bagi warga sekolah, yang memunculkan siklus ketidakpercayaan antar pemegang saham pendidikan (pemerintah, guru, siswa, walisiswa, dan masyarakat).
Dari paparan yang disampaikan oleh mendikbud, saya menggaris bawahi bahwa penghormatan terhadap keberagaman subjek (baca: warga sekolah) dalam pendidikan merupakan keutamaan. Penghormatan keberagaman manusia adalah poin sentral dari kebudayaan.
Bahkan dalam pernyataan untuk menjawab pertanyaan bagaimana arah pembangunan kebudayaan ke depan, Nadiem mempertegas untuk memberdayakan masyarakat sipil dalam mengambil inisiatif dan terlibat lebih intens dalam aktivitas dan geliat budaya.
Pernyataan itu mengafirmasi sekaligus mengonfirmasi UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, bahwa pemerintah hadir sebagai fasilitator dalam upaya dan kerja budaya. Maka saya berpikir, pendidikan responsif budaya adalah keniscayaan bagi Indonesia yang majemuk.
Membaca IPK dengan Kacamata Pendidikan
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) disusun untuk memberikan gambaran pembangunan secara holistik, yang meliputi tujuh dimensi, yakni ekonomi budaya, pendidikan, ketahanan sosial budaya, warisan budaya, ekspresi budaya, budaya literasi, dan kesetaraan gender (Indeks Pembangunan Kebudayaan, 2018). Tujuh dimensi itu merupakan akomodasi terhadap unsur kebudayaan yang nampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Hasil IPK sesuai dengan urutan indeks dimensi tertinggi hingga terendah adalah sebagai berikut: ketahanan sosial budaya (72.84), pendidikan (69.67), budaya literasi (55.03), gender (54.97), warisan budaya (41.11), ekspresi budaya (36.57), dan ekonomi budaya (30.55).
Dari hasil tersebut dapat dibaca bahwa ketahanan sosial budaya, yang memuncaki hasil penilaian IPK, merupakan dimensi yang sudah dapat dikembangkan masyarakat dalam kaitannya dengan pemertahanan identitas, pengetahuan, serta laku budaya yang disokong oleh kondisi sosial masyarakat. Dimensi ini meliputi praktik gotong royong, toleransi beragama, hidup harmonis dengan suku yang berbeda, dan keamanan lingkungan.
Sementara di posisi terakhir adalah dimensi ekonomi budaya yang memiliki indeks terendah. Ekonomi budaya merupakan dimensi yang mengukur persentase masyarakat yang terlibat aktif dalam kesenian sebagai sumber penghasilan. Rendahnya indeks pencapaian dimensi budaya memberi petunjuk bahwa aktivitas ekonomi berbasis seni budaya yang diupayakan masyarakat Indonesia masih relatif kecil.
Dari kacamata pendidikan, IPK dapat dimaknai bahwa modal ketahanan sosial budaya sebaiknya menjadi fokus sentral dalam mengarusutamakan pendidikan yang responsif budaya, untuk melemahkan praktik intoleransi dan paham radikalisme.
Dimensi pendidikan, yang menempati posisi indeks tertinggi kedua dalam IPK, bisa dirancang sebagai dapur utama yang memiliki akses bahan dan resep untuk meracik bahan simak-bincang-baca-tulis untuk kegiatan budaya literasi dengan mengolah referensi kearifan, nilai lokal, dan praktik baik terkait dimensi gender,warisan-ekspresi-ekonomi budaya.
Pengolahan bahan simak-bincang-baca-tulis itu dengan mempertimbangkan analisis kebutuhan warga sekolah yang dapat dikembangkan menjadi buku teks-nonteks pelajaran dengan pendekatan preferensi dan kebutuhan budaya warga sekolah, baik dalam lingkup sekolah formal maupun informal, pelatihan mengembangkan media pembelajaran yang berbasis budaya setempat, fasilitasi layanan dan konsultasi asesmen pembelajaran yang dirancang sesuai kebutuhan, kapabilitas, kreativitas, dan inovasi warga sekolah.
Pelatihan dan pendampingan guru untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa masing-masing, yang customized, dengan tidak menegasikan keragaman lingkungan sosial dan budaya, dapat berjalan seiring dengan peningkatan kompetensi guru profesional.
Aktivasi Pendidikan Responsif Budaya di Sekolah
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana guna menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran, yang memungkinkan siswa mengembangkan potensi dirinya secara aktif agar mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan diri dan lingkungannya (UU No 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Pengembangan potensi diri aktif siswa untuk dapat menguasai sikap dan karakter unggul manusia Indonesia, pengetahuan, keterampilan, plus kecakapan abad 21, hanya dapat dilakukan dengan memfasilitasi siswa dan guru hadir dalam ruang perjumpaan, yang menyokong praktik baik ketahanan sosial budaya, termasuk perilaku toleran dan inklusif.
Praktik baik toleransi di sekolah bukan hanya berhenti menjadi bahan bacaan dalam matapelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), dan bacaan teks buku pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, tetapi diaktivasi dalam kegiatan sehari-hari warga sekolah, baik dalam interaksi di dalam, maupun di luar sekolah.
Ada rancangan aktivasi praktik baik tersebut dari pihak sekolah, yang memungkinkan warga sekolah manjalani laku toleran dan inklusif sesuai nilai-nilai Pancasila, di luar praktik-praktik seremonial, dengan penekanan pada dimensi ketahanan sosial budaya.
Dimensi ketahanan sosial budaya meliputi delapan indikator, yang enam diantaranya dapat diadopsi sebagai sikap toleran dan inklusif, toleran terhadap mereka yang berbeda agama untuk melakukan kegiatan di lingkungan sekitarnya; toleran pada suku lain untuk melaksanakan kegiatan di lingkungan sekitar; bersahabat dengan orang yang berbeda agama; bersahabat dengan orang yang berbeda suku; aktif mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan; aktif mengikuti gotong royong.
Praktik baik tersebut sekaligus memiliki muatan pendidikan karakter unggul seperti religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Pendidikan karakter merupakan upaya untuk menumbuhkan kebiasaan dan perilaku baik siswa melalui tahapan yang dimulai dari diajarkan, dibiasakan, dilatih secara konsisten, menjadi kebiasaan, terbentuk karakter, dan menjadi budaya bangsa (www.cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id).
Melatih guru dan Kepala sekolah menjadi teladan dalam mengupayakan pendidikan yang responsif budaya sama pentingnya dengan membekali mereka dengan pengetahuan keguruan dan kecakapan bidang studi saat menjalani pendidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), baik saat menempuh studi S1 kependidikan maupun Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Penguatan pendidikan responsif budaya juga bisa dilaksanakan seiring dengan kegiatan rutin Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) maupun pendidikan dan latihan (diklat) Penguatan Calon Kepala Sekolah maupun Kepala Sekolah.
Melibatkan siswa seintensif mungkin melalui pengalaman belajar bermakna, yang menghargai keragaman setiap individu, mengembangkan perilaku toleran, kritis, sekaligus adaptif terhadap perkembangan dunia, adalah kebutuhan pendidikan terkini. Bukankah laku itu cerminan praktik pendidikan karakter sekaligus perayaan terhadap identitas manusia Indonesia yang sesungguhnya?
Karakter sebagai dan menjadi manusia Indonesia bukan ilmu, yang harus dibaca dan dihapalkan siswa di tiap jenjang pendidikan, namun merupakan pengondisian dan pelibatan aktif siswa pada setiap aktivitas, yang dikelola untuk membiasakan karakter baik tumbuh dan dipraktikkan secara konsisten.
Pengalaman belajar menjadi manusia Indonesia adalah inti dari pendidikan responsif budaya. Sementara inti kebudayaan adalah kebahagiaan. Maka mengupayakan pendidikan responsif budaya adalah mengupayakan kebahagiaan. (SI)