The mark of higher education isn’t the knowledge you accumulate in your head. It’s the skills you gain about how to learn (Adam Grant).
Kebijakan kemerdekaan belajar jilid kedua yang diluncurkan Mendikbud Nadiem menyasar pada Perguruan Tinggi, Jumat, 24/1/2020. Empat kebijakan merdeka belajar yang disebut sebagai kampus merdeka itu adalah otonomi pembukaan program studi baru untuk PT yang terakreditasi A dan B, dengan syarat memiliki mitra kerjasama dengan perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral atau universitas top 100 rangking QS; reakreditasi PT dan program studi otomatis dan sukarela; mahasiswa bebas belajar maksimal tiga semester di luar program studi; dan syarat PTN-BH dipermudah.
Poin ketiga merupakan poin kebijakan yang menurut penulis memberi pengalaman belajar yang relatif segar bagi mahasiswa. Pengalaman belajar mahasiswa adalah poros merdeka belajar jilid kedua. Mahasiswa, sama seperti siswa, menjadi sumbu aktivitas dan gerak kemerdekaan belajar.
Mendikbud menyatakan bahwa pemberian kemerdekaan belajar pada mahasiswa, berupa kebebasan belajar di luar prodi asal, bertujuan menyiapkan lulusan yang kompatibel dengan kebutuhan saat ini. Kompetensi tambahan di luar prodi asal, diasumsikan memampukan mahasiswa menjalani profesinya kelak, yang tak hanya bersandar pada satu disiplin ilmu.
Petualangan dan Pengalaman Belajar Baru
Petualangan memungkinkan manusia terlibat dalam aktivitas yang menarik, menantang, bahkan ‘membahayakan’. Petualangan belajar melibatkan mahasiswa menjalani eksplorasi yang membuatnya keluar dari zona nyaman selama ini rutin dijalani. Zona nyaman yang dimaksud adalah belajar di kampus dan program studi asal.
Kebebasan belajar di kampus dan prodi lain diatur dalam Permendikbud No 3/2020. Regulasi ini memungkinkan mahasiswa belajar di prodi lain dalam satu kampus dan belajar di prodi lain di kampus yang berbeda, dengan ketentuan minimum dan maksimum semester dan SKS.
Di kampus mancanegara, sistem itu familiar disebut sebagai bidang keahlian mayor dan minor (major and minor academic). Mahasiswa belajar bidang utama di satu program studi dan mereka diperbolehkan mengambil bidang sekunder, yang ingin dipelajari untuk mendukung profesinya kelak, atau belajar bidang lain yang disukainya.
IPB menyebut dan menjalankan program tersebut dengan nama kurikulum mayor-minor. Kurikulum mayor-minor merupakan kurikulum berbasis kompetensi yang mensyaratkan mahasiswa mengikuti pendidikan dalam salah satu mayor sebagai bidang keahlian (kompetensi) utama dan dapat mengikuti pendidikan dalam salah satu bidang minor sebagai bidang keahlian (kompetensi) pelengkap atau memilih secara bebas mata kuliah sebagai penunjang (supporting courses) bagi keahliannya.
Kebijakan Mendikbud terkait belajar di luar program studi dan kampus asal memiliki lima peran strategis. Pertama, menjadi stimulan bagi mahasiswa untuk memperkaya bekal dan belanja kompetensi pendukung. Kedua, membiasakan mahasiswa merancang kebutuhan dan mengelola preferensi akademiknya secara mandiri.
Ketiga, memungkinkan mahasiswa mengembangkan kompetensi hidup dan bekerjasama dengan organisasi dan masyarakat yang berbeda budaya dan gaya belajarnya. Keempat, membentuk antusiasme moral mahasiswa untuk belajar kompetensi pendukung, sebagai investasi karir masa depannya. Kelima, mengondisikan iklim positif pada mahasiswa agar terbiasa berpikir dan berkolaborasi lintas disiplin ilmu sekaligus menghilangkan ego sektoral ilmu pengetahuan.
Menemani Petualangan Belajar Mahasiswa
Sebagai pemangku kebijakan kampus merdeka, Mendikbud diharapkan mampu meyakinkan perguruan tinggi untuk bergerak mengondisikan kampus merdeka di ranah masing-masing. Prasyarat membangun kampus merdeka juga wajib difasilitasi pemerintah termasuk membangun paradigma inklusivitas pendidikan.
Tidak ada lagi dikotomi kampus negeri maupun swasta, termasuk status dosen ASN dan nonASN. Sebab PT, baik negeri maupun swasta, dosen ASN maupun nonASN memiliki tanggung jawab yang sama untuk memfasilitasi mahasiswa belajar di kampus merdeka.
Kampus merdeka meniscayakan mahasiswa dan dosen saling bermigrasi antarPerguruan Tinggi. Sekat ruang eksklusivitas antara PTN dan PTS yang selama ini menjadi keniscayaan, secara gradual akan terhapus dengan migrasi mahasiswa. Sebab mahasiswa dapat merasakan pengalaman dan petualangan belajar baru di kampus yang bermitra dengan kampus asalnya. Pola kemitraan PTN dengan PTS, misalnya dapat menjadi ruang perjumpaan efektif dan produktif untuk mengembangkan kerjasama yang saling memberdayakan.
Fasilitasi kerjasama antarkampus maupun kampus dengan pihak swasta, memerlukan aturan main pemerintah untuk menjamin keberlangsungan tata laksana kampus merdeka. Fasilitasi itu hendaknya juga memampukan dosen mengembangkan kapasitas keilmuan dan kompetensinya, agar dapat menemani, membimbing, dan meningkatkan kualitas pembelajaran mahasiswa.
Jika dosen tidak lagi disibukkan dengan aturan administratif akreditasi program studi dan institusi, atau urusan kenaikan pangkat menjadi lebih substantif dan sederhana, misalnya, maka dosen mempunyai waktu dan tenaga untuk mengembangkan diri melalui penelitian kolaboratif dengan PT dan pihak swasta, dengan paradigma inter maupun transdisipliner.
Menjadi teman dan fasilitator mahasiswa untuk bertualang dan belajar di era kampus merdeka, seharusnya menjadi pintu masuk bagi dosen untuk membangun kepakaran, meningkatkan kualitas penelitian serta pengabdian. Bagi PT, memfasilitasi migrasi belajar mahasiswa, memberdayakan mereka menyebarkan, mentransformasikan, dan menerapkan visi misi dan profesionalitas mereka secara sistematis.
Sementara bagi pihak swasta, fasilitasi migrasi belajar mahasiswa melalui praktik kerja atau magang, seharusnya menjadi kesempatan berinvestasi di bidang SDM sekaligus mentransformasikan nilai dan praktik baik yang dimiliki. (SI)