Sedang Membaca
Nilai Utama Islam tentang Cita-Cita Keadilan
Arfi Pandu Dinata
Penulis Kolom

Mahasiswa, Pegiat Toleransi dan Perdamaian di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.

Nilai Utama Islam tentang Cita-Cita Keadilan

Sanggahan teologis atas tuduhan wajah Islam yang berwatak keras kerap memunculkan narasi Islam yang menekankan pada ajaran kasih sayang. Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian, anti-perang, dan mencintai keharmonisan. Tentu saja narasi kontra tersebut perlu diketahui oleh banyak orang, apalagi di tengah maraknya fenomena islamofobia.

Namun pada saat yang bersamaan muncul masalah lain, bahwa seakan-akan bentuk teologi demikian merupakan upaya penyangkalan atas Islam yang berkarakter tegas dan kritis. Memaksakan konsep ajaran moral Islam dengan konsep yang terdapat pada agama lain malah menyingkirkan keunikan agama Islam. Pada akhirnya upaya penafsiran teologi Islam hanya berujung pada pararelisme dan simplifikasi.

Jika melihat agama Islam dari permukaan, maka akan tampak bahwa Islam banyak mengajarkan soal-soal kehidupan yang praktis. Dengan demikian tidak mengherankan dalam perkembangan sejarah Islam bahwa aspek hukum mendapat perhatian khusus. Misalnya saja sebagaian besar umat Islam menyukai perbincangan tentang status hukum terhadap suatu perkara, “Apa hukumnya vaksin?” “Mana dalilnya kalau membuka kerudung itu diperbolehkan?” Dampaknya belakangan ini agama Islam sering diberi label sebagai agama law oriented bukan love oriented.

Paradigma Islam tentang kehidupan yang berhubungan kuat dengan pesoalan hukum harus diakui. Dalam ilmu kalam dan tauhid dijelaskan bahwa Allah adalah Sang Penguasa bahkan Raja yang memberikan hukum bagi manusia. Di samping itu, pandangan ekastologi Islam banyak mengurai tentang Hari Pengadilan kelak sampai pemberian ganjaran berupa surga dan neraka atas perbuatan manusia di dunia. Tafsir terhadap literatur suci pun demikian, yang mendudukan Alquran dan Hadis serupa konstitusi dan pasal perundang-undangan. Apalagi ushul-fikih dan ilmu fikih menjadi disiplin khusus yang mengurai ajaran Islam sebagai peraturan hidup. Begitu juga dengan isu kontemporer dunia Islam yang lekat dengan isu relasi agama dan negara seperti penegakan syariat Islam dan tegaknya khilafah.
Sekali lagi, paradigma Islam sebagai seperangkat formula eksposisi yang cenderung legalistik memang benar adanya. Dengan begitu letak permasalannya bukan pada karakter khas agama Islam, namun pada orientasi moral yang ingin Islam sampaikan.

Baca juga:  Santri dan Konservasi Lingkungan (1): Minimnya Edukasi Ekologi di Kalangan Kiai-Santri

Semangat dakwah Islam tertuju pada usaha-usaha untuk menegakkan keadilan. Apalagi jika melihat konteks kehadiran Islam sebagai suatu risalah di tengah masyarakat Arab jahiliyah yang merendahkan perempuan, melestarikan perbudakan, rasisme, dan bentuk perbuatan lain yang tidak berperi kemanusiaan. Nabi Muhammad saw. datang bukan sebagai orang yang berambisi pada kekuasaan, justru seorang pembebas kelas bagi mereka yang yang miskin, terpinggirkan, dan tertindas.

Ajaran Islam menyeru umatnya untuk membela kebenaran di tengah situasi buruk sekalipun. Bahkan kesejatian orang beriman adalah orang yang mampu menjadi penegak keadilan yang benar-benar imparsial, termasuk kepada orang yang dibenci.

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Al-Maidah : 8).

Umat Islam adalah umat wasathiyah yang memiliki tujuan pada keseimbangan, proposional, dan moderasi. Dorongan revivalis Islam seharusnya mengarah pada kerinduan untuk kembali pada cita-cita keadilan tersebut. Kaum duafa dan mustadh’afin akan selalu ada di setiap zaman. Misalnya pada zaman Nabi, kelompok tersebut adalah para yatim dan janda. Pada konteks hari ini mereka adalah para penganut agama dan kepercayaan minoritas serta perempuan korban kekerasan seksual. Oleh karena itu umat Islam berkewajiban menjadi agen-agen penegak keadilan untuk mendampingi mereka dalam ikhtiar memperoleh hak-haknya.

Baca juga:  NU dan Tradisi Otokritik: KH M. Hasyim Asy'ari Saja Dikritik

Kesenjangan bukan keadaan yang Islam harapkan. Islam melalui proses jalan hukum sedang mengajarkan manusia betapa pentingnya keadilan itu. Kehidupan yang penuh rahmat bukan sekedar menerima takdir begitu saja, namun juga melibatkan segala upaya untuk menegakkan keadilan di bumi Allah. Insyaa Allah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top