Kelompok keagamaan, berbagai gerakan sosial kemanusiaan, bahkan partai politik sekalipun kiranya sepaham bahwa isu pemuda adalah masalah yang penting. Pemuda punya energi yang melimpah, gairah, dan daya yang bisa mengubah. Pemuda berkumpul ke dalam berbagai segmentasi seperti kelompok keagamaan, hobi, olahraga, paramiliter, politik, hingga gerakan sosial.
Ada pemuda hijrah, geng motor, gerakan mahasiswa, hingga relawan lingkungan. Sayangnya identitas dan peran pemuda seringkali tereduksi dalam makna yang sangat sempit. Pemuda hanya identik dengan olahraga dan media. Perannya tak jauh dari bidang teknis dan administrasi. Narasinya terjebak pada glorifikasi masa lalu yang diulang-ulang seperti Sumpah Pemuda, peristiwa Penculikan Rengasdengklok, hingga Reformasi 1998.
Sebagai isu yang lumayan menjual ke publik, berbagai seminar dan kegiatan selalu mengusung narasi “Saatnya yang muda yang bergerak”. Tidak sedikit juga kalangan yang masih mengulang-ulang menyebut generasi milenial dan zaman now. Sayangnya isu pemuda seringkali hanya menjadi label basa-basi. Kenyataannya pemuda tidak pernah dianggap hadir seutuhnya. Namanya hanya dipakai untuk sekedar merespons tren untuk meyakinkan bahwa kelompok ini gaul, komunitas ini maju dan kekinian, dan acara ini (sok) asyik loh.
Ada banyak istilah untuk menyebut kelompok muda mulai dari pemuda, anak muda, kaum muda, kaula muda, hingga orang muda. Asosiasi kata pemuda begitu kuat dengan maskulinitas dan kelaki-lakian. Umumnya diksi ini mengandung gaya kepemipinan dan tata kelola yang cenderung patriarki. Perempuan muda hanya berperan pada ranah domestik, pemudi menjadi komplementer dan subordinat terhadap posisi pemuda.
Di samping itu frasa anak muda yang tak kalah populer juga mengandung perspektif yang meminggirkan orang muda sebagai individua atau kelompok manusia yang masih kekanak-kanakan. Orang muda dianggap sebagai manusia yang belum matang dan dependen, gairahnya perlu dikontrol agar tidak melampaui batas. Diskriminasi terhadap perempuan muda dan orang muda itu sendiri tampak dalam perspektif yang bernama seksisme sekaligus ageisme.
Lalu adakah sebuah refleksi teologis yang dapat membantu umat Muslim untuk memahami keterlibatan orang muda yang bermakna?
Keterlibatan orang muda yang bermakna terefleksikan pada kisah hidup Nabi Muhammad saw., sang teladan zaman. Muhammad telah berpartisipasi bagi sesama sejak muda melampaui identitasnya. Sebagaimana yang jamak umat Muslim ketahui bahwa Sang Nabi mengawali masa mudanya dengan kegigihan membangun identitas dan karakter yang kuat. Muhammad belajar melalui kemiskinan dan kesepian dari orang-orang terdekat di tengah dekandesi moral. Peperangan, pelecehan, dan kekerasan menjadi peristiwa sehari-hari.
Muhammad muda tumbuh sebagai penggembala ternak di padang gurun sebagai wahana yang mengasah karakter kepemimpinannya. Menggembala juga menjadi kegiatan yang mengajarkan tanggung jawab. Di samping itu, Muhammad juga mulai turut mengikuti jejak pamannya yang berkeyakinan pada ajaran leluhur lokal untuk berdagang. Bahkan Muhammad muda sudah menunjukkan keterbukaannya untuk mau berinteraksi dengan seorang Pendeta Buhaira. Hal ini bukan hanya membangun ekonomi yang mandiri, juga menunjukkan independensi diri dan toleransi.
Sebagai orang muda tepatnya pada usia ke-25 tahun, Muhammad juga berani mengambil keputusan yang besar dengan menerima pinangan Khadijah untuk menikah. Lalu pada usianya yang ke-35 tahun, Muhammad menunjukkan kiprahnya sebagai pemecah masalah di tengah konflik antarkabilah Quraisy. Banjir bandang terjadi di area Masjid Al-Haram yang menyebabkan kerusakan Kabah. Pasca-renovasi para tokoh dan masyarakat berseteru untuk mencari orang yang pantas untuk meletakkan Hajar Aswad.
Salah seorang tetua mengatakan bahwa orang pertama yang melewati pintu Ash-shafa punya kuasa untuk menentukan peletakan Hajar Aswad. Keesokan harinya, Muhammad-lah orang yang dimaksud. Beliau tidak egois justru meletakkan sorbannya sembari mengajak para tokoh untuk bersama-sama memindahkan Hajar Aswad ke Kabah. Teladan kejujuran dan amanah ini mendorong masyarakat Makkah untuk mengenalnya lewat branding mulia sebagai Muhammad Al-amin, Sang Terpercaya.
Di ujung masa mudanya, Muhammad mengalami kegelisahan yang luar biasa akan situasi spiritual, moral, dan sosial masyarakat Makkah. Pada usia yang ke-40 tahun, di Gua Hira Muhammad untuk yang pertama kali menerima wahyu menjadi Nabi Allah.
Sekali lagi bagian kisah-kisah ini bukanlah pengetahuan baru bagi umat Muslim khususnya yang tinggal di Indonesia. Kisah yang menggugah ini merupakan bahan renungan. Kini di mana organisasi keislaman memposisikan orang muda secara bermakna?
Jangan-jangan masih enggan memberi ruang yang setara bagi orang muda untuk berpikir, berekspresi, dan berkumpul. Islam melalui rekam jejak Sang Nabi sudah jelas menujukkan bahwa orang muda punya proses untuk menemukan dirinya. Orang muda juga bisa berpartisipasi bagi kehidupan bersama. Sebagaimana Muhammad muda megaktualisasi diri dan mendapatkan apresiasi.
Partisipasi orang muda bukan sekadar untuk memenuhi kuota. Perspektif yang pro orang muda harus juga menyertakan peran dan posisi yang strategis. Artinya orang muda tidak lagi sekedar hadir, namun terlibat secara bermakna yang ditunjukkan dengan adanya ruang kepemimpinan, akses anggaran, hak bersuara dan memilih, serta mengambil keputusan-keputusan yang strategis. Keterlibatan orang muda yang bermakna adalah peran yang terkandung dalam misi kenabian Muhammad saw. Nilai yang masih jarang terurai dalam narasi teologi-teologi keislaman.