Sedang Membaca
Idulfitri Sebagai Hari Kemenangan Atas Kemanusiaan Kita
Arfi Pandu Dinata
Penulis Kolom

Mahasiswa, Pegiat Toleransi dan Perdamaian di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.

Idulfitri Sebagai Hari Kemenangan Atas Kemanusiaan Kita

maaf

Idulfitri secara harafiah berarti ‘kembali pada fitrah’. Fitrah atau kodrat kita yang sebenar-benarnya tak mungkin kita hindari yakni menjadi manusia. Dalam ketubuhannya manusia sebagai makhluk hidup pasti merasa lapar dan dahaga. Melalui puasa di bulan Ramadan, kita mengalami kefakiran sebagai media pendidikan kemanusiaan kita yang mungkin terlupakan dalam bulan-bulan sebelumnya.

Sebulan penuh juga kita menahan diri dari segala keinginan insani, keserakahan duniawi, dan pemuasan hawa nafsu. Di perjalanan Ramadan dengan melewati hari-hari yang payah dan susah sembari berpuasa, kita belajar untuk mengosongkan diri sendiri utamanya mengkondisikan keadaan dalam penderitaan dan kesengsaraan. Puasa sebagai momen penyadaran diri bahwa sebagai manusia memiliki sisi kerapuhan. Begitulah syariat tersebut telah berlaku sejak dahulu di sepanjang risalah para nabi dan rasul Allah.

Begitupun pada salah satu hari di bulan suci tersebut, kita wajib menunaikan zakat fitrah sebagai bagian dari rukun Islam. Ibadah yang bukan sekedar menyisihkan harta kita, tapi memulangkan hak pada orangnya (mustahik). Zakat fitrah semacam sarana untuk berintrospeksi tentang penikmatan hak-hak orang lain oleh diri kita. Begitu juga keterlenaan pada privilese yang memposisikan kita seakan-akan lebih superior dibandingkan dengan orang lain. Zakat mengajarkan kita untuk mau melangkah mundur agar kita menjadi setara dengan orang lain.

Baca juga:  Tawakal, dari Ranah Domestik ke Ranah Publik 

Ramadan telah membekali kita dengan wahana yang menyemai rasa simpati dan empati untuk kita bawa kemudian dalam keseharian di 11 bulan berikutnya. Kita bukan hanya dekat dengan orang fakir dan miskin, namun lebih dari itu Ramadan telah menyediakan ruang untuk kita mengalaminya. Kini tibalah hari kemenangan itu, kala orang miskin yang sepanjang tahunnya berpuasa terus menerus, maka idulfitri mengharamkannya untuk berpuasa. Idulfitri jugalah yang memanggil kita untuk memastikan bahwa tetangga kita tidak sedang dalam keadaan berpuasa. Bukankah itu sejatinya makna kemenangan? Bahwa kehidupan di antara sesama hamba Allah menjadi lebih setara dan sejahtera.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamdu.

Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tiada tuhan selain Allah. Allah Mahabesar dan segala puji milik Allah.

Gaung takbir pada malam Idulfitri adalah bentuk penegasan bahwa hanya Allah yang Mahabesar dengan segala pujian untuk-Nya. Oligarki, patriarki, dan segala macam dominasi antarsesama makhluk tidak berbeda dengan bentuk kemusyrikan yang memalingkan dari Keesaan Allah. Relasi kuasa tersebut bukan hanya merusak kemurnian tauhid, tapi membawa kesengsaraan terhadap makhluk Allah yang lainnya. Nyatanya kekuasaan yang sementara itu masih saja merampas tanah rakyat, membungkam orang lemah, membatasi ruang gerak perempuan, dan meminggirkan kaum rentan serta marginal. Padahal lahaula walakuata illabillah, tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah.

Baca juga:  Merajut Mata Rantai Al-Fadani

Takbir juga secara tidak langsung mengingatkan kita bahwa semua manusia bersifat setara yang semuanya tunduk pada Allah saja. Artinya tidak ada seorang pun yang lebih unggul di antara satu sama lain. Maka alangkah meruginya bagi orang-orang yang menyia-nyiakan Idulfitri dengan euforia semata, apalagi merasa diri lebih mulia dibandingkan dengan orang lain. Seakan-akan diri sendiri yang paling diterima amal ibadahnya, paling penuh berpuasanya, paling rajin tarawihnya, dan paling banyak khatam Qurannya.

Padahal egoisme yang menempatkan diri sendiri sebagai pusat kehidupan dan arogansi yang mengutamakan keangkuhan merupakan sikap-sikap yang bersebrangan dengan nilai-nilai islami.  Termasuk pada momen Idulfitri, sebaiknya kita merendahkan diri untuk memperhatikan orang-orang di sekitar kita yang serbasulit. Kita harus bisa memaklumi orang-orang yang belum bisa berpuasa sebulan penuh karena beban kerjanya yang sangat berat dan menerima buruh lembur dan pegawai shift malam yang belum bisa ikut tarawih berjamaah. Mungkin dalam relung hatinya, ada rapalan doa sunyi yang tak terdengar oleh orang-orang model kita yang sok alim. Etos Idulfitri adalah kepedulian dan kepekaan sosial atas kondisi yang timpang.

Andai saja segenap kaum muslim menyadari bahwa hari raya kemenangan ini merupakan titik balik yang bisa menumbuhkan kesalingpedulian di antara makhluk Allah, mungkin perayaan Idulfitri tidak harus bermegah-megahan terus. Semoga Idulfitri kita bukan sekedar seremonial tahunan. Lebih dari itu, Idulfitri mampu menyadarkan kita untuk memaklumi keragaman manusia sebagaimana fitrahnya lengkap dengan segala kebutuhannya. Hingga Idulfitri bukan saja menggerakkan persaudaraan ukhuwah islamiah (persaudaraan sesama umat Islam) namun mukhuwah insaniah (persaudaraan sesama umat manusia) juga. Dengan kekuatan silaturahmi sebagaimana asal katanya berhubungan-rahim, kita punya modal yang besar untuk membangun peradaban yang lebih baik melalui rahim kemanusiaan yang sama. Rahim yang memancarkan kasih sayang di antara manusia.

Baca juga:  Literasi Konten Youtube (1): Konspirasi; Narasi, Kemalasan Berpikir, dan Sentimen Keagamaan

Selamat berlebaran untuk teman-teman yang merayakan. Selamat meneruskan semangat hari kemenangan ini dalam rangka memanusiakan manusia lainnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top