Sedang Membaca
Estetika Alquran, Refleksi Sehari-hari atas Keindahan Ilahi (Bagian II)
Arfi Pandu Dinata
Penulis Kolom

Mahasiswa, Pegiat Toleransi dan Perdamaian di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.

Estetika Alquran, Refleksi Sehari-hari atas Keindahan Ilahi (Bagian II)

membaca alquran

Tuhan memanifestasikan keberadaan-Nya melalui firman-Nya. Secara luas, semesta adalah perwujudan-Nya tersebut. Namun secara spesifik sebagai kekhasan Islam, Firman itu juga bernuzul dalam rupa buku. Tapi Alquran bukan buku biasa, ia adalah penyingkapan Ilahi yang tentunya mempunyai kedudukan yang amat mulia.

Kalangan muslim tradisionalis cenderung percaya bahwa menyentuh fisiknya pun harus dalam keadaan suci, tidak sedang memiliki hadas, tidak bersentuhan dengan najis. Mushaf Alquran harus diperlakukan dengan luhur, disimpan di tumpukan buku yang paling atas, tidak boleh terlangkahi apalagi terinjak. Begitupun kontennya tidak boleh sembarang diterjemahkan apalagi ditafsir.

Setelah memandangnya dengan perspektif lintas iman, kami mencoba untuk melihat Firman ini secara lebih menukik dari sisi internal keislaman. Proses ini membangkitkan ingatan lama, kenapa kami sedari kecil didorong untuk menghafalnya? Bahkan fenomena yang sama terjadi di luar rumah, mulai dari syarat lulus sekolah, beasiswa, hingga program stasiun televisi. Orang tua mana yang tak bangga jika anaknya menjadi hafiz Alquran? Kami makin membayangkan, sebegitunyakah hafalan Alquran itu? Tapi Alquran bukan sekadar hafalan arbiter, bukan juga lantunan dan rima.

Bunyi dimulai dari ketepatan melafalkannya secara perlahan dan jelas. “Sing tartil!”, ucap guru ngaji kami. Alquran adalah mukjizat teragung Rasulullah, secara konteks kitab ini merespons kultur syair yang gandrung di Jazirah Arab. Resitasi Alquran begitu mengagumkan, mengandung isyarat verbal yang secara sengaja dirancang untuk ditangkap dengan indera dengar. Nada-nada qiraat seperti rast, bayati, atau gijaz menambah dimensi musikal yang memukau dan membawa ketenangan jiwa.

Baca juga:  Waktu dan Kekufuran Kita

Alquran yang dijaga melalui tradisi lisan ini menghadapi tantangan zaman, para penghafalnya banyak yang wafat syahid karena peperangan pada masa Abu Bakar. Pada zaman ini inisiatif untuk melakukan kanonisasi Alquran tercetus, Zaid bin Tsabit dan sahabat penghafal mengumpulkan fragmen dan mengandalkan ingatannya. Proyek ini baru selesai pada masa kepemimpinan Utsman dengan terbitnya mushaf Utsmani. Sejarah penulisan Alquran tentu berada dalam dimensi kesejarahan bahkan politik. Ada banyak polemik yang muncul mulai dari dialek, struktur isi, sampai gaya aksara. Namun demikian, Firman yang menjadi kitab itu tidak mereduksi keindahannya yang dapat terwujud juga dalam rupa tulisan.

Umat muslim belajar membacanya sedari dini, mengenal alif hingga ya. Fatah, kasrah, dan dhammah, mad dan ghunnah, idgham, ikhfa, dan iqlab. Ilmu tajwid membimbing kami untuk menyerasikan tulisan dengan pelafalan lisan yang benar, bertekunlah maka kami dapat menjadi qari’. Pada subuh, sore, atau malam hari, seorang muslim menghabiskan masa kanak-kanaknya untuk belajar membaca Alquran. Sejalan dengan proses tersebut, kami juga belajar cara menuliskannya dari menyalin hingga bisa merangkainya secara mandiri. Tidak berhenti di situ, petikan Alquran disalin menjadi karya kaligrafi dengan figura-firura yang cantik. Alquran menghiasi rumah, madrasah, dan masjid seperti naskhi, diwani, dan kufi.

Baca juga:  Rahasia Sebutan "Ba'al" dalam Al-Quran untuk Pria yang Menduakan Cinta

Di balik keindahan bahasa Alquran yang padat, terdapat kedalaman makna yang melimpah ruah. Alquran tampak membingungkan sebab narasinya tersebar secara acak, tidak tematik apalagi kronologis. Ia menyatukan tradisi nasrani semitik dan suara kesakralan khas religiusitas ketimuran. Kandungan Alquran sama sekali tidak membawa ajaran yang baru, ia menyempurnakan menjadi wahyu penutup. Ulumulquran menyediakan jalan terjemah, tafsir, dan takwil untuk mengenali pesannya. Ada banyak metode kreatif untuk membingkai makna Alquran, seperti makiyah dan madaniyah (acuan pembabakan pra/pasca hijrah), qat’i dan zanni (eksplisit dan implisit), nasih dan Mansukh (abrogasi), atau muhkam dan mutasyabihat (legal dan metaforis), atau asbabun nuzul (konteks historis).

Semua ini bukan dipahami sebagai paradoks logis, namun sebagai estetika atas ungkapan Yang Maha Ilahi. Dengan demikian, Alquran yang teksual itu akan selalu bersifat kontekstual, sumber akidah, ibadah, kisah, hukum, pengetahuan, dan doa penyembuh.  Alquran terang mengandung suara kenabian yang berfungsi sebagai kritik sosial. Wahyu bukan semata-mata peristiwa transenden, ia menunjukkan refleksi dari kondisi psikologis sekaligus menyikapi situasi masyarakat. Alquran berbicara soal keadilan gender, komitmen konservasi alam, kesetaraan umat manusia, dialog lintas iman, hingga kemiskinan struktural.

Estetika Alquran mencapai puncaknya ketika nilai-nilai yang dimuatnya mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pada tingkat yang sepele sekalipun. Akhlak mulia, seperti rendah hati, kesabaran, kasih sayang, dan keadilan merupakan bentuk keindahan moral yang bersumber dari pengajaran Alquran. Sebagaimana jamak diketahui dalam suatu hadis bahwa akhlak Rasulullah adalah Alquran. Begitulah seorang muslim harusnya menghiasi dan memantaskan dirinya dengan akhlak qur’ani, sehingga kesalehan pribadi tidak akan terlepas dengan caranya bergaul di antar manusia, etika dalam bermasyarakat, dan eksistensinya di alam semesta ini.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Humazah dan Khasiatnya (Bagian 4)

Keindahan Alquran berlapis-lapis, suara, aksara, makna, dan etika. Ia sungguh perwujudan dari Allah al-Jamal. Berislam adalah sebuah seni untuk menjalani hidup yang indah, sebagaimana yang tercatat dalam Firman-Nya melalui teladan Rasul-Nya.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top