Ahmad Qomaruddin
Penulis Kolom

Mahasiswa jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Kepada Kiai Bisri Syansuri, Kami Belajar Rendah Hati

Pergantian kepemimpinan di dalam struktural organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama sedang berlangsung di Kota Bandung tahun 1967. Muktamar dari tahun-tahun sebelumnya senantiasa memilih rais am dan ketuanya secara demokratis dengan sistem “satu orang satu suara”. Atas landasan itu, tentulah siapa yang bisa merebut suara terbanyak, itulah yang terpilih.

Muktamar NU ke 24 berjalan khidmat dan lancar hingga sampai pada tahap pemilihan rais am, pimpinan tertinggi. Terjadi hal lucu dan menarik, setelah melalui beberapa tahapan persidangan, maka muncul dua nama calon rais am: KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri.

Sesudah melalui mekanisme pemilihan secara bebas, langsung dan rahasia, tertulis KH Bisri Syansurilah yang dapat suara lebih banyak. Pastilah yang memperoleh suara terbanyak akan menduduki kursi rais am, posisi yang penuh nuansa “kramat”.

Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan, kedua calon malah berebut saling mengalah dan bukan untuk menang, meskipun KH Bisri Syansuri jelas mendapat suara terbanyak, namun beliau secara pribadi menganggap KH Wahab Hasbullahlah yang layak menjadi rais am. Beliau cukup menjadi wakilnya saja. Sedangkan KH Wahab Hasbullah menganggap KH Bisri Syansuri yang harus jadi rois aam lantaran mendapat suara terbanyak. Kiai Wahab adalah kakak ipar dari Kiai Bisri

Baca juga:  Omar Khayyam: Saintis Muslim, Sastrawan hingga Penikmat Wine Sejati

Forum menjadi ramai, masing-masing tidak mau mengalah dan tetap bersikukuh dengan pendiriannya. KH Bisri Syansuri tetap bersikeras menganggap dan mempersilahkan KH Wahab Hasbullah guna menduduki rais am. Karena masih belum ada yang mau mengalah dan tidak ada jalan lain, akhirnya diputuskan yang mendapat suara lebih sedikit itulah yang jadi rais am.

Merujuk pada kisah di atas, yang saya baca dari esai Mahbub Djunaidi, boleh jadi banyak orang yang tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala perihal kedua ulama tersebut. Mungkin KH Bisri Syansuri merasa masih ada yang lebih layak menjadi rais am Nahdlatul Ulama selain dirinya, sehingga beliau menolak jabatan tersebut atau KH Wahab Hasbullah merasa sudah selayaknya KH Bisri Syansuri memperoleh jabatan itu karena atas dasar pemilihan yang sah. 

Meskipun pada akhirnya KH Wahab Hasbullah yang menjadi rais am pada muktamar tersebut, namun sikap kerendahan serta ketulusan hati KH Bisri Syansuri, kakek Gus Dur dari jalur ibu ini, patut di contoh calon-calon pemimpin negeri ini. Jika dikaitkan dengan kondisi hari ini, maka terlampau banyak calon-calon pemimpin yang berlomba-lomba mengisi kekosongan jabatan tanpa menakar sejauh mana kompetensi dan kemampuanya. Apalagi hanya menuruti ambisi untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Wallahua’lam 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top