
Menyusul wafatnya Nabi Saw, para pewaris spiritualnya tetap berpegang teguh pada ajarannya, sehingga zaman itu kurun terbaik pasca nabi. Dengan teladan beliau yang masih segar dalam ingatan mereka, mau tidak mau mereka harus menerapkan pada diri mereka sebuah perintah al-Qur’an: “Rendahkanlah hatimu terhadap pengikut-pengikutmu yang beriman”.
Bagaimanapun juga, tanpa usaha kompromi itu sendiri, pengagungan itu dapat mandeg menjadi eksklusif hingga tak tersisa apa pun yang perlu dibuang. Seorang wali akan ‘merendahkan bahu’ terhadap anak-anak, karena mereka polos serta tidak kenal keduniawian, dan hanya mereka sendiri yang berusaha ‘mengangkat bahu’. Tak terelakkan lagi bahwa dalam diri seorang Rasul Ilahi harus terdapat ‘kebapakan’ transenden yang bukan saja memiliki pengaruh pemersatu tetapi juga katawadhuan serta ‘sikap memperlakukan sebagai anak-anak’ terhadap seluruh umatnya, tanpa memandang umur mereka.
Walau demikian, ini jangan diartikan bahwa aspek tasawuf juga tak berakar dari zaman itu. Nabi memberikan sejumlah ajaran yang tidak dimaksudkan sebagai pengetahuan umum. Hadis berikut, yang dianggap sahih oleh Bukhari (seorang ahli Hadis paling cermat) tidak hanya merujuk semata-mata kepada ajaran semacam itu, namun juga kepada seluruh kategori ajaran.
Diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah: “Kusimpan dalam ingatanku dua bekal pengetahuan yang kuterima dari Rasulullah. Salah satunya telah kusampaikan; tetapi jika aku harus menurutkan yang lain, niscaya akan putuslah kerongkonganku”. Al-Qur’an pun tiada henti menyeru, ‘Rendahkanlah bahumu’, sebagaimana tampak jelas dari nukilan-nukilan yang lalu. Sekadar menambahkan contoh lainnya, doktrin tentang kesementaraan jiwa itu pun dalam pengertian paling eksklusifnya bersifat mistik.
Ungkapan seperti ‘Segalanya akan binasa kecuali Wajah-Nya’, meskipun pada dasarnya ditunjukkan bagi semua orang, tetapi kenyataannya mengesampingkan kalangan mayoritas karena melampaui jangkauan benak mereka. Telah kita lihat pula bahwa dalam hal pembedaan, jenjang spiritual yang digariskannya, al-Qur’an itu bersifat eksplisit. Akan tetapi, pemilahan-pemilahan ini, yang terasa di antara manusia, tidak begitu saja selaras dengan struktur lahiriah yang berkaitan.
Telah menjadi kelaziman bahwa begitu nabi wafat segera terbentuk kelompok-kelompok di sekitar sahabat yang lebih layak dimuliakan, dan boleh jadi terlintas sedikit kesangsian bahwa sebelum menjadi khalifah, ‘Ali-lah yang paling terkemuka di antara pusat-pusat spiritual ini. Tetapi tidak ditemukan suatu bukti tentang sesuatu yang mirip tarekat. Satu-satunya persaudaraan terorganisasi hanyalah persaudaraan Islam itu sendiri.
Kalau pun dipermasalahkan, kapan masa kerasulan itu berakhir, salah satu jawabannya ialah sejak wafatnya nabi, yang berarti tertutupnya sebuah pintu gerbang. Dan pintu lainnya pun tertutup pula dengan meninggalnya ‘Ali. Dengan berlalunya waktu, otoritas spiritual serta kekuasaan duniawi benar-benar, sebagaimana dalam teori, terpadu dalam pribadi khalifah seperti juga halnya nabi.
Otoritas spiritual belum lagi terpecah-pecah: khalifah adalah pemimpin pemerintahan, pemimpin syariat dan sekaligus pemimpin mistik bagi umat. Tetapi sepeninggal keempat Khalifah Rasyidah itu, kekhalifahan semakin menjadi urusan dinasti belaka, dan khalifah tetap memegang otoritas spiritual namun tidak lebih dari sekadar nama, sedang hakikatnya mulai terpecah belah di antara ahli hukum (fiqih), ahli kalam (mutakallim), dan ahli mistik (sufi), masing-masing dalam wilayahnya sendiri.
Seorang tokoh penengah terkemuka dalam kurun ini adalah Hasan al-Basri – dijuluki demikian karena melewatkan hampir seluruh hidupnya di Basrah, Irak Selatan. Dia lahir di Madinah, pada akhir pemerintahan Umar, khalifah kedua, yang konon memberi restu kepadanya serta meramalnya kelak menjadi tokoh besar. Sebagai seorang pemuda, ketika masih di Madinah, dia menjadi murid ‘Ali. Melalui Hasan inilah, kebanyakan tarekat sufi merunut asal-usul spiritual mereka kepada ‘Ali, dan tentunya terus kepada nabi. Dia merupakan seorang penengah dalam arti dia tumbuh dewasa dalam masa para sahabat namun ketika wafat dalam usia 86 tahun pada 726 M, para mistikus Islam menjadi satu lapisan tersendiri.
Tentang ketawadhuan serta kemurahan hati Hasan yang begitu masyhur, yang sampai kepada kita kebanyakan berupa anekdot-anekdot yang dia kisahkan untuk menghormati tokoh-tokoh lain, tanpa menonjolkan dirinya sendiri. Sebagai contoh, penerusnya yang terakhir, Habib al-‘Ajami – nama tambahan ini menandakan dia seorang Persia – menemui kesulitan cukup besar, paling tidak sebagai pemula, dalam melafazkan kata-kata Arab. Hasan biasa salat bersama Habib, dan sebagai guru sekaligus sesepuh dia menjadi imam salat dengan para murid sebagai makmum di belakangnya. Konon suatu ketika, Habib telah mulai salat, tanpa dia sadari Hasan telah hadir, sedangkan tatacara yang lazim mengharuskan Hasan mengisi shaf di belakangnya, sebab memang tidak diizinkan salat sendiri jika masih mungkin melakukannya dengan berjamaah.
Sayangnya, bacaan salat Habib demikian buruknya sehingga Hasan ragu-ragu apakah salatnya itu sah atau tidak. Apalagi berdasar hukum (fiqih), bila seorang imam tidak sah salatnya, akan tidak sah pula salat para makmum di belakangnya. Setelah sesaat timbul keraguan, Hasan salat sendirian. Namun, malamnya dia mendapat bisikan seakan-akan Tuhan mencelanya karena berkhayal bahwa menurut neraca Ilahi, suatu kemurnian serta kekhusyukan yang demikian besar dalam diri Habib, mungkin saja dikalahkan oleh beberapa kesalahan kecil dalam pelafadzan kata.
Dalam salah satu kisahnya, Hasan menyebut kemungkinan melihat secara jelas kehidupan di akhirat kelak, sementara dia masih hidup di dunia ini, juga memaparkan kesan abadi dari pencicipan ini. Dia berbicara tentang khayal-khayal semacam itu secara obyektif. Namun, jelas dari apa yang diucapkan bahwa dia termasuk di antara mereka yang dilukiskan dalam ujaran ini: “Orang yang melihat menyangka mereka sakit, tetapi tidak ditemukan wabah yang menimpa masyarakat. Atau, jika kau mau, mereka tersiksa – benar-benar amat tersiksa oleh kenangan akan kampung Akhirat”. Dia juga berkata: “Dia yang mengenal Tuhannya akan mencintai-Nya, dan dia yang mengenal dunia akan menyingkir darinya”. Di sini kita jumpai contoh yang paling asasi tentang Tasawuf, dan tak setiap orang mampu melontarkan formulasi-formulasi semacam itu.
Rabi’ah al-‘Adawiyyah, juga dari Basrah, baru berusia 11 tahun ketika Hasan wafat. Dengan demikian, dia tidak pernah mengalami zaman pertama Islam, sebab seluruh hidupnya berlangsung dalam kurun kemunduran hebat yang menyusul zaman itu. Dalam suatu zaman yang ditandai kemerosotan amat mencolok dalam hal nilai-nilai itulah, tujuannya – nyaris kita sebut mendahulukan apa-apa yang pertama – adalah menitis dalam tingkat tertinggi, yaitu dalam wilayah ruh, meletakkan pertama kali sesuatu yang pertama – Tuhan di depan Surga, yang absolut sebelum yang relatif. Beberapa nasihatnya, merupakan suatu hal yang tak pernah terbayangkan dalam generasi-generasi terdahulu, bukan pada apa yang diungkapkannya, tetapi dalam cara pengungkapannya.
Hal serupa dinisbatkan pula pada nasihat-nasihat atau ujaran-ujaran kebanyakan ahli mistik sezamannya. Kemusykilan-kemusykilan itulah yang menjadikan orang-orang yang terpilih pada masa-masa pertama Islam ini berhati-hati dalam menampilkan diri sehingga jauh berbeda dari kalangan awam, yang kini terpukau oleh kewajiban, untuk tidak terseret oleh beban mati yang semakin bertambah. Keutuhan awal itu lenyap tanpa dapat dihadirkan kembali. Dawud at-Ta’i – murid dan juga penerus Habib al-‘Ajami – hingga sempat melontarkan ucapan: “Berpuasalah dari dunia ini, jadikan ajal sebagai sarapanmu dan menyingkirlah dari manusia seakan-akan kau lari dari terkaman binatang buas”.
Walau demikian, ada satu tanggung jawab bersama yang tidak dapat dihindari oleh tasawuf itu, dan ini menyangkut tuntutan tubuh. Sebagaimana hati jasmani, dia mesti dipencilkan serta dilindungi, dan mesti tetap terpancang teguh di pusat. Tetapi pada saat yang sama mau tidak mau harus memberi makan urat-urat nadi dengan kehidupan. Keterkaitan antara eksoterisme dan esoterisme dalam Islam dengan demikian bersifat pelik lagi halus, dan dilihat dari luar tampak para Sufi terus-menerus memperlebar jurang-jurang sambil merentangkan jembatan antara diri mereka dan masyarakat sekelilingnya.
Memilah ahli-ahli mistik Islam ke dalam dua kategori seperti ini jelas suatu simplifikasi yang nyaris menyesatkan, bagi semua sufi kelayakan sebutan itu haruslah merupakan hati dalam segala pengertiannya, menurut pola tokoh-tokoh teladan mereka, sebagaimana terlukis dalam sabda Nabi: “Bumi tidak akan pernah kosong dari 40 orang yang mirip Kekasih Sang Maha Pengasih. Melalui mereka lah kau akan diberi minum, melalui mereka pula kau diberi makan”. Tetapi tindakan adi-insani dari kehadiran yang dirujuk di sini tak sedikit pun terkurangi oleh tindakan insani pengasingan dari manusia. Sejarah mistisisme menunjukkan bahwa seorang pertapa boleh jadi memiliki kebanyakan pancaran sinar berbagai kehadiran.
Bersambung…