Andri Nurjaman
Penulis Kolom

Pengajar dan Pendidik.

Peranan Tarekat di Dunia Politik: antara Tarekat Safawiyah di Iran dan Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Indonesia (2)

Keterlibatan Kaum Tarekat di Dunia Politik

Di Indonesia pun peranan tarekat dalam gerakan politik terjadi pada abad 19 sampai awal abad 20 khususnya di pulau Jawa. Tarekat Qodariyah-Naqsabandiyah telah berkontribusi dalam membangun semangat rakyat pada saat itu yang tertindas oleh kebijakan-kebijakan pemerintah Kolonial Belanda, maka terjadi gerakan yang dipimpin oleh pemimpin Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah tersebut bersama rakyat dalam melawan koloni Belanda untuk mengusirnya dari tanah Nusantara, contohnya pemberontakan petani Banten pada tahun 1888 yang di pimpin oleh beberapa ulama yaitu diantaranya Haji wasid, Haji T.B Ismail dan Haji Ishak.

Di pulau Jawa pada abad ke-19 umat Islam mengalami persoalan besar, hilangnya kepercayaan masyarakat kepada para pemimpin formal, yakni para Sultan yang biasa mengawasi dan menaungi kehidupan sosial dan politik. Hal ini di akibatkan oleh adanya pencabutan hak-hak istimewa para Sultan di pulau Jawa oleh kolonial Belanda untuk mengendalikan kehidupan masyarakat secara lebih luas. Kenyataan ini dipandang oleh para pemimpin spiritual, khususnya para tokoh sufi di pulau Jawa, sebagai sebuah upaya penyimpangan dari kehidupan Islam yang sebenarnya.

Perkembangan Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah di pulau Jawa diperkirakan telah dimulai sekitar tahun 1853, yakni ketika murid-murid Syaik Ahmad Khatib Sambas kembali ke tanah air. Momentum perkembangannya terjadi sekitar tahun 1870-an, berkat usaha syekh Abdul Qodir dan muridnya KH Marzuki, keberhasilan perkembangan Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah ini di tunjang oleh kondisi pulau Jawa yang sangat menguntungkan, diantaranya watak sosial masyarakat Jawa yang menyenangi kehidupan mistik, tarekat yang sudah lama berada pada kalangan masyarakat Jawa sedang mengalami penurunan akibat serangan beberapa ulama ortodok, karena praktik-praktik mistiknya yang dianggap menjauhi norma-norma syariat, para Kiai dan  Haji membawa dan menyebarkannya memiliki beberapa kelebihan, terutama dalam status sosial, dan gemar melindungi masyarakat serta sikap frustasi masyarakat Jawa karena dilanda krisis ekonomi, sosial, politik dan agama akibat dominasi kolonial Belanda.

Baca juga:  Bagaimana Memahami Ibnu Taimiyah Tentang Tasawuf?

Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah pada masa itu telah menjadi katalisator dalam mempersatukan rakyat jajahan dan memberikan kekuatan-kekuatan pokok dalam melakukan tindakan-tindakan politik radikal terhadap kolonial belanda. Paham-paham milleniarisme, nativisme, ratu-adil yang sudah ada di kalangan masyarakat Jawa, memperoleh momentum baru dari tarekat ini. Ketiga paham ini semakin menjadi radikal ketika di topang oleh ideologi Jihad fii Sabillah dan magico-mysticism yang selalu d kembangkan oleh Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah pada abad ini. Melalui tarekat inilah masyarakat jajahan dapat menyalurkan aspirasi dan ideologi politik serta luapan emosionalnya terhadap kolonial Belanda.

Mesin penggerak perubahan sejarah pada pertengahan abad ke 19 dan awal abad 20 ini adalah Tarekat Qadariyyah-Naqsabandiyyah dan pemimpin karismatiknya, seperti Syaikh Abdul Karim, KH Marzuki, KH Wasid, KH Tubagus Ismail, serta Kiai-Kiai lain yang menggerakan masyarakat Banten untuk membuat sejarahnya pada tahun 1888. Begitu juga pada tahun yang sama KH Mukhiar serta murid dan sahabat sejatinya, Jasmani, yang gerakannya meliputi hampir seluruh distrik pulau Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan KH Hasan Mukmin mewakili gerakan sistem religio-politiknya di awal bad 20 di Gedengan Surabaya.

Akibat beberapa kegiatan politiknya, akhirnya Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah selalu di curigai pemerintah kolonial Belanda. Para aktifisnya selalu di curigai dan dimusuhi, bahkan di asingkan. Perkembangannya di beberapa daerah selalu mendapatkan tekanan dari pemerintah kolonial Belanda.

Baca juga:  Kala Raden Paku Ngaji Thariqah Naqsyabandiyah di Pesantren Ampel Denta

Jelaslah dari sejarah ini bahwa pelopor dalam membangkitkan kesadaran nasional dan dalam upaya melawan penjajah adalah kalangan dari umat Islam, dan tarekat menjadi penggerak sejarahnya. Gerakan Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah di pulau Jawa telah membuktikan bahwa tarekat tidak hanya menyangkut kehidupan sosial organik saja, namun sudah berkontribusi dalam dunia religio-politik. Bersama rakyat jajahan, Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah berjuang melakukan gerakan perlawanan kepada kolonial Belanda untuk mewujudkan cita-cita bersama yaitu mengusir pemerintah kolonial yang telah menyengsarakan rakyat dalam berbagai bidang.

Kesimpulan

Alhasil, dari uraian sejarah diatas memiliki kesimpulan dari kedua contoh pergerakan tarekat di dunia politik tersebut, yakni keduanya memiliki persamaan dan berbedaan. Persamaannya bahwa kedua tarekat tersebut mula-mulanya bersipat sosial seperti halnya tarekat pada umunya, namun karena situasi pada saat itu maka kedua tarekat tersebut harus berperan dalam dunia perpolitikan.

Perbedaannya, bahwa kedua jenis terekat tersebut jelas berbeda, di Iran tarekatnya bernama Safawiyah yang dinisbatkan terhadap pendiri sekaligus pemimpin tarekat tersebut yaitu Safi Ad-Din Ishak Al-kardabily yang bercorak Syiah. Sedangkan di Indonesia khususnya di Jawa tarekatnya bernama Tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah, hasil perpaduan dua terekat yang terkenal yang di satukan menjadi satu metode tarekat oleh Syaikh Khatib Sambas.

Perbedaan yang selanjutnya adalah Safawiyah berhasil menjadikan tarekat tersebut menjadi suatu kerajaan besar dan menghasilkan perkembangan dan kemajuan Islam yang dulu pernah berjaya. Sedangkan Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah berhasil menjadi pelopor dalam membangkitkan kesadaran nasional dalam upaya mengusir kolonial Belanda dan telah menjadi wadah penampung aspirasi rakyat yang pada saat itu yang merasa tertindas dengan dominasi Kolonial Belanda.

Baca juga:  Sufisme, Islam, dan Kesenian

Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah telah menjadi pemimpin bersama rakyat dalam melakukan pemberontakan kepada kolonial, contohnya gerakan perlawanan petani Banten pada tahun 1888. Jika di Iran gerakan politik Safawiyah telah berhasil menjadi sebuah negara Islam yang jaya, hal ini berbeda dengan pergerakan Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah di Indonesia khususnya dalam studi kasus di pulau Jawa yang tidak berorientasi menjadi sebuah kerajaan atau kesultanan Islam di Jawa atau di Indonesia, walaupun cita-cita seperti itu sempat ada tetapi hal yang paling utama saat itu ialah mengusir kolonial Belanda yang telah merusak tatanan hidup masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang telah damai dan tentram sebelum datangnya kolonial Belanda ke Indonesia.

Sumber

Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam periode pertengahan, Bandung: Pustaka Setia, 2013,

Ajid Thohir, Gerakan politik kaum tarekat, Bandung, Pustaka Hidayah, 2002,

Mariam Jamilah, Para Mujahid Agung, Terj Hamid Luthfi A.B., Bandung: Mizan, 1984

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top