Sekilas, tampaknya akan sulit untuk menghubungkan atau mencari kaitan, antara tradisi mistik di dunia Islam dengan kehidupan politik. Cara hidup atau jalan mistik, bagaimana pun bentuknya dan ajaran apapun yang mendasarinya, menitik beratkan pada upaya setiap diri untuk mengembangkan potensinya untuk mencapai tahap kesempurnaan (insan kamil), dan cenderung mengabaikan unsur duniawi.
Sedangkan kehidupan politik sangat erat hubungannya dengan upaya untuk menjaga berlangsungnya suatu kekuasaan atas sekelompok orang (politeia), atau berhubungan dengan kepentingan warga (penduduk) suatu negara (polis). Tradisi mistik lebih bersipat transendental, sedangkan politik lebih bersipat corporeal.
Namun jika kita menelusuri sejarah kemunculan kehidupan tradisi mistik dari zaman ke zaman akan ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kehidupan tasawuf dan kehidupan politik. Misalnya, Nabi Muhammad SAW, ketika melihat masyarakat Arab yang pada itu sangat jahiliyah, Nabi Muhammad memutuskan untuk berkholwat di Gua Hiro, maka pada perjanan selanjutnya Nabi Muhammad SAW akan hijrah ke Madinah dan membangun kota Madinah bersama para sahabatnya, disini Nabi menjadi Umaro sekaligus Ulama.
Pada periode berikutnya terlihat juga perjuangan dalam upaya mendirikan kerajaan Safawiyah di Iran, berawal dari sebuah gerakat Tarekat bernama Tarekat Safawiyah yang di pimpin oleh Shafi Ad-din Ishaq Al-Ardabily dan karena situasi saat itu di haruskan untuk menjadi sebuah gerakan politik dan melahirkan kerajaan Safawiyah yang di proklamasikan oleh Ismail sekaligus sebagai rajanya pada tahun 907 H/1501 M.
Masih ada pula contoh lain dari peranan tarekat dalam kancah perpolitikan, di Afrika utara misalnya pernah terjadi pada Tarekat Sanusiyah, di Sudan pada Tarekat Mahdiyah, dan di Rusia terjadi pada Tarekat Muriyah dan Naqsabandiyah yang semuanya berubah menjadi gerakan politik.
Di Indonesia sendiri terjadi semacam itu, pada abad ke 19 sampai awal abad 20 peranan tarekat dalam menampung aspirasi rakyat terjajah menunjukan eksistensinya, tarekat menjadi solusi dan pengganti kerajaan Islam di Indonesia yang hancur oleh kedatangan kolonial, dan karena para pejabat pribumi lebih pro kepada kolonial, oleh karena itu di sebut sebagai bonekanya Belanda.
Contohnya Tarekat Qodariyah-Naqsabandiyan di pulau Jawa telah memainkan peranannya tidak hanya di bidang sosial namun telah terjun ke bidang Religius-Politik dalam mewujudkan cita-cita rakyat terjajah khususnya untuk melawan dan mengusir Kolonialisme Belanda.
Dengan kedatangan kolonial Belanda telah melahirkan kesengsaraan dan membawa malapetaka bagi masyarakat di berbagai bidang, dan selama Kolonial Belanda masih menduduki dan menjajah tanah Nusantara khususnya pulau Jawa, pada kasus ini maka selama itu pula perlawanan yang di pimpin oleh ulama sekaligus sufi tarekat qodariyah-naqsabandiyah ini akan terus diperjuangkan bersama dengan rakyat.
Maka menarik untuk dikaji mengenai peranan tarekat dalam dunia politik dengan dua studi kasus, yaitu Gerakan Tarekat Safawiyah di Iran dan Gerakan Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah di Indonesia khususnya di pulau Jawa. Untuk melihat hal tersebut, meminjam istilah Ajid Thohir disebut dengan gerakan politik kaum tarekat.
Gerakan Tarekat Safawiyyah di Iran
Nama Safawiyah dalam lembaran sejarah Islam dikenal sebagai kerajaan di Iran, yang semula berawal dari gerakan tarekat yang bernama Tarekat safawiyah yang didirikan di kota Ardabil, sebuah kota yang terletak di daerah Azerbaijan
Ada dua pendapat yang berbeda tentang etimologi dari nama safawi. Amir Ali berpendapat bahwa Safawi berasal dari kata Shafi, yaitu gelar yang diberikan kepada nenek moyang raja-raja Safawi, yaitu Shafi Ad-din Ishak Al-Ardabily (1252-1334 M), seorang pendiri dan pemimpin tarekat Safawiyah. P.M. Holt berpendapat bahwa Safawi berasal dari kata safi, yaitu bagian dari nama safi Ad-Din Al-Ardabily sendiri.
Momen peristiwa berdirinya Safawi sebagai kerajaan sangat berkaitan dengan peristiwa sebelumnya, yaitu selama kurang lebih dua abad. Selama selama rentang waktu yang panjang itu, embrio safawi sejak masa Shafi Ad-Din Ishak Al-ardabily berkembang dan bergerak menuju saat-saat yang bersejarah.
Dalam periode 1301-1447 M/700-850 H, gerakan safawi masih merupakan sebagai gerakan murni keagamaan, dengan tarekat safawiyah sebagai medianya. Dalam periode pertama ini, gerakan safawiyah tidak mencampuri dengan masalah politik, sehingga ia berjalan dengan aman, baik pada masa dinasti Iikhan maupun pada masa Timur Lenk.
Selanjutnya, dalam periode 1447 M sampai dengan 1501 M, gerakan safawi memasuki periode kedua dalam perjuangannya, yaitu sebagai gerakan politik. Pemimpinnya pada saat itu, Al-junaid ibnu Ali, melakukan arah perubahan menjadi sebuah gerakan politik dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada sampai Ismail memproklamasikan berdirinya kerajaan Safawi, sekaligus sebagai raja atau Syah di Tabrez pada tahun 907 H/1501 M.
Potret peradan Islam masa kerajaan safawiyah telah menunjukan pergerakannya kearah perkembangan yang menggembirakan. Hal ini tampak dari kemajuan-kemajuan yang di peroleh kerajaan ini, terutama dalam bidang politik, ekonomi, kegiatan pembangunan infrastruktur masyarakat, kegiatan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, serta filsafat dan seni yang banyak memberikan kontribusinya dalam mengangkat dan mengembangkan peradaban Islam. Walaupun tidak setaraf dengan kemajuan Islam pada masa klasik, kerajaan Safawiyah berhasil membangkitkan kembali kejayaan Islam yang telah tenggelam beberapa abad sebelumnya, khususnya di daerah Persia dan sekitarnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan peradan Islam berkembang pada masa kerajaan safawiyah, pertama figur kepribadian Syah Abbas yang brilian, kedua faktor geografis wilayah kerajaan kerajaan Safawiyah sejak masa Syah Ismail yang mencakup daerah-daerah subur untuk pertanian dan daerah-daerah stategis untuk perdagangan, ketiga faktor stabilitas dan keamanan negara, keempat pemerintahan yang kuat dan berwibawa, juga mendorong terwujudnya partisipasi rakyat dalam membangun dan kelima politik luar negri yang terbuka, yang dilaksnakan oleh Syah Abbas.
Adapun yang menyebabkan mundur dan hancurnya kerajaan Safawiyah adalah sistem pergantian Syah yang tidak konsisten, petualangan para tokoh pemerintahan yang oportunis dari golongan qizilbas, gulam, harem, dan ulama, menurunnya loyalitas para pendukung kerajaan pada kerajaan Safawi, konflik berkepanjangan dengan kerajaan Usmani juga moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan Safawiyah. Adapun penyebab langsung hancurnya kerajaan Safawiyah adalah munculnya penyerbuan bangsa Afghan terhadap ibu kota Isfahan pada tahun 1722, sehingga Syah Husein menyerahkan mahkota kerajaan kepada Mir Mahmud, pemimpin dari kaum Afghan.
Sejarah ini tidak bisa dipungkiri, bahkan tidak bisa dihapuskan dari sejarah dunia, bahwa Tarekat telah menyumbangkan kontribusinya dalam membangun kembali kejayaan Islam, Safawiyah disini telah berupaya untuk mewujudkan hal tersebut, satu abad pada periode awal merupakan masa perjuangan kaum Tarekat Safawiyah dalam mendirikan kerajaan dan satu abad setelahnya berdiri dan di proklamasikan oleh Syah Ismail. Masa kejayaan kerajaan Safawiyah berada pada masa Syah Abbas I yang toleran.
Pada masa Syah Abbas I ini bentrokan antara Sunni-syiah menurun, karena sikap Syah yang toleran bahkan agama kristen pun bisa leluasa untuk beribadah, dan di masa Syah Abbas I pun terjadi perdamaian dengan kerajaan Usmani yang dulu pernah bentrok. Namun ketika kekuasaan selanjutnya turun dan di pegang oleh Syah yang moralnya jelek serta ada peran dari golongan qizilbas damn lain-lain, mulailah kemunduran melanda kerajaan Safawiyah dan serangan dari bangsa Afghan merupakan detik-detik hancurnya kerajaan Safawiyah.