Nasab Keturunan Prabu Kian Santang
Dalam laporan penelitiannya Asep Ahmad Hidayat (2013) menyebutkan bahwa Prabu Kian Santang adalah salah satu penyebar agama Islam di tatar sunda. Prabu Kian Santang ini merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi atau Prabu Jaya Dewata atau Sri Baduga Maharaja dengan Nyai Subang Larang. Prabu Siliwangi sendiri adalah raja terakhir kerajaan Padjadjaran. Sedangkan Nyai Subang Larang adalah puteri dari Ki Gede Tapa seorang pengusaha Syah Bandar Karawang.
Peristiwa pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang adalah ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Padjadjaran, adapun Nyai Subang Larang sudah memeluk agama Islam dan menjadi seorang santri di Pondok Quro yang dipimpin oleh Syekh Quro atau Syekh Hasanudin., pesantren Syekh Quro ini diyakini sebagai pesantren atau lembaga pendidikan Islam pertama di tanah sunda.
Dari pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang melahirkan tiga anak yang menjadi cikal bakal tokoh penyebar agama Islam di tatar Sunda yaitu Walangsungsang atau Cakrabuana yang membuka pemukiman Cirebon di pesisir pantai, lalu Nyai Lara Santang yang menikah dengan Syarif Abdullah yang merupakan seorang Sultan Kota Mesir, dari pernikahan Nyai Lara Santang dan Syarif Abdullah ini melahirkan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati yang akan membantu pamannya yaitu Cakrabuana di Cirebon dan putera yang ketiga adalah Prabu Kian Santang. (Asep Achmad Hidayat, Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang: Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan, Bandung: Fakultas Adab & Humaniora, 2013, hlm 68-69.)
Sejarah Prabu Kian Santang dalam Mendakwahkan Islam di Tatar Sunda
Di dunia persilatan sosok Prabu Kian Santang lebih terkenal dengan nama Gagak Lumayung. Menurut tradisi lisan yang berkembang, disebutkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Padjadjaran yang masuk Islam sepulang berhaji ke Mekah dan mengganti namanya menjadi Haji Lumajang. Tradisi lisan yang lain menyebutkan bahwa Prabu Kian Santang di usir dari Keraton dan tidak ;agi menganut agama nenek moyangnya, oleh karena itu Prabu Kian Santang pergi ke negeri Campa ketika kerajaan Padjadjaran runtuh. Prabu Kian Santang juga dianggap tokoh yang menyebarkan agama Islam di pedalaman Padjadjaran dan mempunyai banyak pengikut. (Asep Achmad Hidayat, Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang: Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan, Bandung: Fakultas Adab & Humaniora, 2013, hlm 71)
Hal ini sejalan dengan pendapat P. de Roo de la Faille yang menyebutkan bahwa Prabu Kian Santang sebagai Pangeran :Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog, ia adalah penyebar agama Islam di tatar sunda atau lebih jelasnya di Godog Garut. Hal ini dibuktikan dengan artefak berupa satu buah Al-qur’an yang ada di Balubur Limbangan, sebuah pisau Arab yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.
Prabu Kian Santang dalam sejarah Godog adalah orang suci atau sufi yang datang dari Cirebon atau pantai utara ke daerah Preanger (Priangan) dan membawa pengikut yang sudah memeluk agama Islam dan bersama-sama menyebarkan agama Islam di daerah Priangan tersebut. Menurut P. de Roo da le Failli pengikutnya berjumlah 11 orang yaitu; Saharepen Nagele, Sembah Dora, Sembu Kuwu Kandang Sapi, Penghulu Gusti, Raden Halipah Kandang Haur, Prabu Kasiringwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, Saharepen Agung, Panengah, Santuwan Suci, Satuan Suci Maraja dan Dalem Pangerjaya.
Prabu Kian Santang diperkirakan menyebarkan agama Islam di tatar sunda pedalaman yaitu Godog dan Priangan sejak tahun 1445, pada saat itu Limbangan menjadi pusat penyebaran agama Islam pertama di tatar sunda.
Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Prabu Kian Santang adalah dengan cara mengislamkan terlebih dahulu raja-raja lokal seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan yang bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu Prabu Layangkusumah, Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra dari Prabu Siliwangi, dengan demikian maka Sunan Pancer adalah buyut dari Prabu Siliwangi.
Prabu Kian Santang menghadiahkan satu Al-quran kepada Sunan Pancer berukuran besar dan sebuah skin atau pisau arab yang bertuliskan lafadz La Ikroha Fiddin. Setelah Sunan Pancer masuk Islam, Islam berkembang sangat pesat di daerah Galuh Pakuwon atau Limbangan tersebut. (Asep Achmad Hidayat, Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang: Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan, Bandung: Fakultas Adab & Humaniora, 2013, hlm 72-72)
Adapun raja-raja lokal yang lain dan telah memeluk Islam oleh Prabu Kian Santang diantaranya adalah:
- Santowan Suci Mareja, yang merupakan sahabat Prabu Kian Santang yang makamnya terletak didekat makam Prabu Kian Santang.
- Sunan Sirapuji, yang merupakan raja Penembong atau Bayongbong.
- Sunan Batu Wangi, yang sekarang terletak di Kecamatan Singajaya, ia dihadiahi tombak oleh Prabu Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura yang ada di Tasikmalaya.
Melalai raja-raja lokal inilah Islam menyebar ke seluruh pedalaman priangan atau tatar sunda. Setelah itu estapet penyebaran Islam dilanjutkan oleh generasi kedua yaitu para sufi seperti Syekh Jafar Sidiq yang merupakan penganut tarekat Syatariyyah di Limbangan, Eyang Papak, Syekh Fatah Rahmatullah yang berada di Tanjung Singguru Samarang Garut, Syekh Abdul Muhyi yang menganut tarekat Syatariyyah di Pamijahan Tasikmalaya, dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang Garut.
Bisa dipahami dari uraian diatas, bahwa strategi dakwah atau proses Islamisasi yang dilakukan oleh Prabu Kian Santang di tatar Sunda menggunakan pendekatan politik, artinya Prabu Kian Santang mengislamkan terlebih dahulu para raja-raja lokal, sehingga akan mudah untuk mengislamkan para rakyatnya.