Sedang Membaca
Merdeka Palestina: Solidaritas Keffiyeh-Kopiah di Belanda
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa di Program South and Southeast Asian studies, Leiden University.

Merdeka Palestina: Solidaritas Keffiyeh-Kopiah di Belanda

Bendera Palestina

Huriya Palestina!, suara lantang terdengar dari kerumunan orang-orang berspanduk yang berlinang kemarahan atas penderitaan orang-orang Palestina di Gaza. Di Leiden tanggal 24 Maret 2024, saya berhenti di depan mereka dan ikut serta dalam demonstrasi mengelilingi kota Leiden. Rasanya, ketika diantara lautan manusia yang haus akan kedamaian dan keadilan, menebarkan serbuk-serbuk perlawanan di kota ini, seperti dibuang diriku ke waktu Indonesia memerdekakan diri dari Belanda.

Aura magis perjuangan bangkit di dalam diri, menjadi aktor bagi hari ini untuk kedepan. Teriakan “Huriya” mengingatkanku pada zaman itu, dimana kata “merdeka” di Leiden lantang disuarakan oleh pemuda-pemuda Indonesia dan kawan seperjuangan melawan kegelapan zaman. Huriya dan Merdeka adalah seruan yang sama dari mereka yang terjajah dan tertindas oleh kolonialisme, dihinggapi lalat yang menyedot kemanusiaan suatu kaum dan tanah dimana mereka dilahirkan. Berada di tengah kerumunan ini, saya merasa dalam semangat perjuangan melawan dehumanisasi – dalam bentuk apapun, seperti Irawan Soejono, pemuda Indonesia yang ditembak Nazi di jalanan depan rumahku dalam membawa koran-koran resistance, untuk menggenggam cinta akan kehidupan.

Whatsapp Image 2024 05 22 At 13.38.03

Pikirku, ikut dalam protes memboikot kerjasama Leiden dan universitas-universitas Israel adalah kewajiban dan iktikad hutang budi kita, orang Indonesia, kepada sejarah perlawanan anti-kolonialisme di Belanda. Pada waktu Belanda terbebas dari Jerman, Profesor Cleveringa pada Mei 1945, seseorang yang lantang melawan pemecatan dosen-dosen Yahudi oleh Nazi, berkata, “Dimana ada perlawanan di Belanda, orang tak perlu bertanya: Dimana orang-orang Indonesia? Mereka di sana dan di sini, mereka mengorbankan diri, mereka ditawan dan dipenjara, mereka ada di mana-mana.” Dan hari ini, kita, para pelajar di Belanda, masih larut dalam tradisi perlawanan anti-penjajahan di Belanda, sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia sendiri.

Arak-arakan mengelilingi kampus yang mengakui dirinya sebagai ‘Bastion of Freedom’ – ‘Benteng Kebebasan’ adalah bentuk penuntutan terhadap kampus ini untuk berkaca pada sejarahnya dan mempertanyakan kebenaran atas moto mereka. Pertanyaannya, kebebasan untuk siapa? Dalam sejarahnya, menurut Gert Oostindie, sejarawan Leiden, universitas ini secara tidak langsung berkontribusi dalam melanggengkan kolonialisme Belanda di Indonesia, Suriname, Ghana, dan Afrika Selatan. Melalui pengetahuan sebagai basis penaklukan dan memerintah, mereka mendidik bakal-bakal pejabat kolonial dan penulis hukum-hukum represif di Hindia Belanda. Itulah kebebasan dalam sejarah Universitas Leiden, kebebasan untuk menjajah dan menindas non-kulit putih melalui konstruksi ilmu, yang dimana kaum terjajah menjadi objek penelitian dan eksperimen dan tak diperbolehkan untuk mengintip ilmu modern.

Di dalam tas yang mengikutiku dalam protes, ada buku yang menurut Pramoedya Ananta Toer membunuh kolonialisme Belanda, namun terlupakan dalam ingatan kolektif Indonesia. Ditulis oleh Eduard Douwes Dekker, Max Havelaar menjadi pisau yang mencubit ketidakacuhan penduduk Belanda terhadap pahitnya kopi yang mereka minum setiap hari, di mana gaya hidup di Belanda hasil dari keluh petani di Jawa. Buku ini memberikan angin segar yang meniupkan politik etis untuk orang Indonesia bisa mengakses pendidikan, di Indonesia dan di Belanda.

Perlahan-lahan ‘kebebasan’ terkembang, menjadi definisi pula bagi pelajar-pelajar Indonesia. Bagi mereka yang sadar, mereka menuntut benteng kebebasan, menjadi manusia bebas dari himpitan kehinaan, bebas dari dijadikan warga kelas dua, bebas untuk berorganisasi dan berimajinasi dari kekangan penjajahan. Pada 1922, para pelajar Indonesia mendirikan benteng mereka sendiri, rumah bagi ide pembebasan bernama Perhimpunan Indonesia di Leiden. Dan di tahun 1945, para pelajar di Leiden dan mereka yang bersimpati, di jalanan yang sama dilalui oleh demo pro-palestina, menyerukan “merdeka” seperti sekarang saya dan orang-orang Palestina menyerukan “Huriya”. Sebab kebebasan harus direnggut bagi kami, pelajar kulit berwarna di negeri penjajah.

Baca juga:  Muslim Thailand, “Kami Ingin Belajar Perdamaian dari Indonesia”

Menghidupi solidaritas anti-kolonialisme Indonesia-Belanda di luar benteng kebebasan, kami disini adalah trojan perlawanan untuk kebebasan yang inklusif, yang memanusiakan semuanya tanpa terkecuali. Student for Palestine di Leiden menjadi wadah bagi kami untuk menyuarakan derita aspirasi yang tidak terdengar, bisik-bisik dari naskah kuno Indonesia yang terdampar di Perpustakaan Leiden, dari baju Teuku Umar di Museum Wereldmuseum, Leiden, dari keluh kesah keturunan budak dan buruh tani suriname.

Whatsapp Image 2024 05 22 At 13.38.03 (1)

Keffiyeh yang dipakai oleh para demonstran mengingatkanku pada arsip foto di Leiden. Pemuda Indonesia menggunakan kopiah sebagai bentuk perjuangan anti-kolonialisme dan sekarang saatnya keffiyeh melambangkan semangat anti-kolonialisme di Leiden. Fakta bahwa kopiah dan keffiyeh berakar dari asalnya sama di Bahasa Arab menyimbolkan aspirasi pembebasan yang sama dari penjajahan, bahwa tanpa kemerdekaan Palestina, cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum di UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, adalah omong kosong oleh kita, orang Indonesia di Leiden maupun di Tanah Air.

Sejarah memberikan peringatan kepada kita semua, sudah sewajibnya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Cleveringa, profesor Belanda yang memuja-muji bantuan perlawanan anti-Nazi oleh pelajar Indonesia berbalik badan pada saat Indonesia merdeka dengan mendukung Agresi Militer di tahun 1945-49 dengan alasan indië verloren, rampspoed geboren – hilang Indonesia, bencana datang. Jangan sampai kemerdekaan yang diraih membuat kita seperti dia, luput dalam kebebasan yang double-standard. Pram, dalam pembukaan buku Max Havelaar yang kubawa di dalam riuhnya jeritan pembebasan, berkata, “Toh, bukankah dunia ini dijajah oleh bangsa Eropa karena kepulauan rempah-rempah di Indonesia? Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa itulah nasib orang Indonesia untuk memulai proses dekolonisasi.” Perkataan inilah yang membawaku larut dalam perjuangan dengan sanak terjajah, walaupun hanya bermodalkan suara dan badan yang kuyup diterkam hujan Belanda.

***

Pada saat National Demonstration NAKBA DAY di Amsterdam 11 Mei sekitar 15.000 orang ikut dalam unjuk rasa sepanjang jalan utama. Disana aku melihat berbagai kaum berkumpul menjadi satu ummah dalam perjuangan melawan imperialisme Israel. Bahkan beberapa orang Yahudi membawa poster yang bilang, “jangan atas nama kami”. Beberapa hari sebelumnya, banyak mahasiswa-mahasiswi dari Universitas Amsterdam menduduki kampus mereka dan diserang oleh polisi. Para serdadu itu menggunakan full armor layaknya jaket beludru tahan gebuk. Karena sudah tersudut beberapa pelajar nyungsep ke kali di depan kampus. Hal inilah yang membuat orang-orang ramai berkumpul pada hari itu karena kebiadaban opresi di depan mata yang tidak manusiawi.

Aku berjalan mewakilkan diriku yang terjajah di negeri penjajah. Renungan dari sejarah Indonesia tidak ikhlas untuk tak acuh terhadap perjuangan anti-penjajahan. Menapak di Amsterdam yang berhiaskan patung J.P. Coen, Si Jangkung Gubernur-Jenderal VOC, mengingatkanku akan pahitnya penjajahan Belanda di Indonesia. Palestina pun sama, sekarang mereka dijajah oleh Zionis yang tanpa buruh murah Arab Palestina tidak akan dapat memutar roda ekonominya.

Baca juga:  Lucknow, Kota Toleransi Hindu-Muslim di India

Di sana aku berjalan beramai-ramai berteriak “From the sea to the river, Palestine will be Free!” Intifada Revolution! ¡Viva viva Palestina!” Suara gemuruh dari penduduk Belanda untuk pemerintahnya tidak menjadi munafik dalam bertindak. Dari ibu-ibu sampai anak-anak datang ke protes, di mana beberapa orang juga membuka jendelanya untuk mengibarkan bendera Palestina. Suatu waktu kita berjalan, lewatlah kita di depan kantor gemeente amsterdam. Gedung itu kaku layaknya raksasa angkuh yang menyerap sumber daya. Di depan pintu masuknya terdapat tulisan “Nederlandsche Handel-Maatschappij”. Amuk hati ketika melihat itu, aku masih ingat bahwa NHS adalah perusahaan monopoli Belanda dimana setelah VOC bangkrut, NHS mengalih guna sebagai penggantinya di Hindia Belanda, negara kita ini. Hati geram menambah semangat dalam arak-arakan kebebasan ini. Ketika aku menceritakan hal ini ke temanku, beberapa orang juga menguping pembicaraanku dan kita bersama-sama melihat gedung itu dengan muka pesut, mengingat penjajahan Belanda di Indonesia.

Whatsapp Image 2024 05 22 At 13.38.03 (2)

Dalam sejarahnya, NHS memonopoli perdagangan tebu, kopra, kopi, dan karet sampai abad keduapuluh awal. Perusahaan ini beroperasi layaknya VOC, maka dari itu kita masih memanggil penjajah, kompeni. Penjajahan kita adalah penjajahan perusahaan dagang Belanda dan inilah yang membentuk realita hidup kita di Indonesia dimana kekuasaan itu ekstraktif, orang adalah sumber daya manusia, tanah air adalah sumber daya alam. Pada masa kejayaannya, perkebunan industrial di Indonesia hampir semuanya dimiliki oleh NHS. Inilah institusi yang dulu melanggengkan penjajahan dan kita orang Indonesia menjerit dalam kemiskinan dan ketertindasan.

Tidak beda jauh dengan yang terjadi di Palestina, mereka menjerit dalam luluh hati yang berantakan. Jika kita perhatikan, penjajahan di Palestina itu mirip dengan Apartheidnya Afrika Selatan. Ketika aku melihat Gaza, aku melihat Bantustan. Dulu di Afrika Selatan sekitar 1951 D.F. Malan seorang Afrikaner, orang-orang keturunan Belanda yang dibawa VOC sebagai petani di sekitar Tanjung Harapan, menetapkan Bantu Authority Act yang menjadikan orang-orang asli Afrika selatan tinggal dalam daerah yang dipecah-pecah, padat, dan tanah yang tandus sehingga harus mencari kerja harian di daerahnya kulit puth; mereka dipojokkan ke dalam sebuah negara-negaraan ‘semi-otonomi’ dimana warganya menjadi buruh di pertambangan dan perkebunan orang Afrikaner. Tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Palestina, di Gaza orang-orang menjadi buruh di perusahaan dan perkebunan Israel. Mereka, orang Palestina maupun orang kulit hitam, harus membawa kartu pengenal di pos pengamanan. Jika tidak mereka akan dipenjara dan menjadi kuli gratis, perbudakan.

Ekonomi Afselnya kulit putih dan Bantustan tersambung dimana mereka bukanlah dua, tetapi satu negara. Warga yang tinggal di dua daerah ini sebenarnya hidup dalam satu bentuk ketatanegaraan yang secara sistematis meraup peluh orang-orang terjajah. Inilah yang disebut sebagai penjajahan Apartheid dimana ada pembluran berdalih ‘dua negara’ membuat yang menindas melepaskan tanggung jawabnya.

Sama halnya dengan Palestina-Israel, ide solusi dua negara mustahil terjadi karena wilayahnya Palestina terpecah-pecah dan warganya tergabung dalam kesatuan pasar dan ekonomi dengan Israel. Orang-orang Gaza dan Tepi Barat bekerja tanpa harapan promosi di perusahaan milik orang Israel, setiap hari menjadi buruh bolak-balik melalui pos pengaman, membayar menggunakan mata uang Israel dalam harapan suatu hari merekalah yang bermuka di mata uang. Inilah yang membuat Palestina-Israel sebagai dua negara tidak mungkin terjadi, hanya ketunggalan negara yang bisa. Palestina-Israel seperti Afrika Selatan harus menjadi satu kesatuan dimana penduduknya setara dan wilayahnya menjadi satu negara bernama Palestina. Layaknya daerah itu saat dijajah oleh Inggris, tidak bisa menjadi dua.

Baca juga:  Ketika Kecil Mengikuti Ajaran Nahdlatul Ulama, Ketika Besar Ikut Muhammadiyah

Maka tujuan perjuangan Palestina haruslah bak Afrika Selatannya Nelson Mandela. Di Tahun 1997 dia berkata, “Kita tahu benar-benar bahwa kemerdekaan kita (Afrika Selatan) tidak selesai tanpa kemerdekaan Palestina.” Nelson Mandela tahu secara persis bagaimana Apartheid itu disalin oleh Israel saat Nakba, mahapralaya kaum Arab Palestina yang terusir dari tanahnya sendiri dan ‘dikandangkan’ di kampung-kampung. Dan inilah pengertian sejarah yang membawa arus protes di Amsterdam kali ini. Bahwasannya Palestina harus merdeka sebagai satu keutuhan seperti Indonesia menjadi negara kesatuan. Orang Palestina ingin halnya melihat wajahnya di dalam mata uangnya, mereka ingin belajar di universitas untuk membangun negerinya, mereka ingin pohon zaitunnya hidup untuk berjuta-juta tahun.

Ketika hanyut protes ini bersenandung dalam benakku puisi ‘Hum Dekhenge’ karyanya Faiz Ahmad Faiz dari Pakistan. Sebuah puisi perjuangan melawan rezim otoriter Zia Ul Haqq yang ditulis dalam kegelapan untuk membangkitkan perlawanan terhadap penindasan. Aku tahu puisi ini dari kelas di Leiden oleh profesor India. Lantunan Urdu ini menyelimuti harapan orang Pakistan dan India Muslim untuk dapat hak-haknya dan pemerintahan yang adil.

Akan tiba masanya bagi kita menjadi saksi/Ketika gunung zalim ditiup bagaikan gabah padi/akan diruntuhkan setiap singgasana dan bumi bergetar di telapak kita/Akan pula kita memerintah/sebab akulah “Ana Al Haqq” dan kau juga/sebab nama Allah itu abadi/keesaan itu aku dan kamu.

Disini aku menjadi saksi ketika menapak kaki dalam gelombang-gelombang kemanusiaan. Di jalanan kita berjuang, di mana pun kita berdoa untuk kemerdekaan Palestina. Protes di Belanda umumnya meminta pihak universitas untuk memutuskan hubungan apapun dengan Israel, agar dengan isolasi dia sebagai negara pariah, Benjamin Netanyahu dan Itamar Ben-Gvir akan kalah. Aktivis di sini berusaha menekan institusi Belanda untuk tidak membela Israel, biarkan dia sendiri tanpa topangan dan tepar.

Perjuangan untuk Palestina sesungguhnya adalah solidaritas kaum yang tertindas, baik di Eropa maupun di belahan bumi Selatan. Kenapa begitu? Seperti kolonialisme VOC, dari Ghana sampai Indonesia, kolonialisme terhubung dalam suatu jaringan politik-ekonomi yang perlu satu per satu dipreteli. Mengingat bahwa permasalahan utama dalam penjajahan ialah kondisi ekonomi ekstraktif dan ketidakberdayaan kaum yang dijajah, tidak bisa sendiri-sendiri melepaskan belenggu penjajahan.

Berangkat dari refleksi perjuangan anti-kolonialisme di Indonesia, sebagai pelajar di Leiden, ada harapan untuk menyelesaikan apa yang harus dituntaskan untuk memanusiakan manusia tanpa terkecuali. Chinua Achebe, seorang penyair Nigeria, pernah berkata bahwa kemanusiaan kita bergantung dari kemanusiaan sesama. Tidak ada yang bisa menjadi manusia sendiri. Kita ini bangkit bersama dari kebinatangan, atau tidak sama sekali.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top