Minggu-minggu terakhir ini sepertinya bangsa kita sedang mencari arti yang pas mengenai fakta terhadap beberapa isu yang tetiba marak, menyeruak begitu saja di depan hidung kita. Jika yang tertimpa “fakta” itu individu-individu, terkait urusan orang per orang, mungkin tak jadi masalah. Tapi yang terjadi adalah kelompok, golongan, komunitas, bahkan organisasi, dari organisasi agama hingga politik. Masing-masing kelompok mengemukakan faktanya lalu mempercayai fakta tersebut lantas bergerak melawan kelompok yang memiliki fakta yang berbeda.
Judul di atas saya terjemahkan dari satu kolom berjudul Imagine World Without Facts karya Jeremy Berg, dimuat majalah Science edisi terbaru, 26 Oktober 2018.
Menurut Jeremy Berg, fakta adalah pernyataan yang memiliki kemungkinan yang sangat tinggi untuk diverifikasi setiap kali observasi tambahan yang sesuai dibuat. Dengan demikian, fakta dapat diandalkan digunakan sebagai komponen kunci dalam menafsirkan pengamatan lain, dalam membuat prediksi, dan dalam membangun argumen yang lebih rumit.
Majalah Science, lantas mengambil contoh adalah tentang hukum gravitasi umum (The Law of Universal Gravitation) yang ditemukan oleh Sir Isaac Newton, 300 tahun lalu, yang secara akurat memprediksi perilaku materi alam semesta. Dengan hukum ini, konsep alam semesta yang 80% berisikan “dark matter” dapat diterima oleh sebagian besar ilmuwan, karena hukum ini dianggap sebagai fakta yang dihasilkan dari dukungan berbagai jenis pengamatan yang luas dan bermacam-macam.
Namun, ada astronom, Vera Rubin, yang berpendapat bahwa terdapat detil rotasi galaksi yang tidak konsisten dengan hukum gravitasi umum dan bahkan hukum fisika lainnya. Dengan dua hal yang bertentangan ini lantas muncul dua interpretasi: apakah hukum gravitasi umum ini sepenuhnya menjadi tidak benar dalam konteks ini, atau ternyata ada masih banyak terdapat massa yang ada di alam semesta ini namun tidak dapat diamati?
Dukungan yang luas dan penerimaan ilmuwan-ilmuwan terhadap hukum gravitasi umum akhirnya lebih menguatkan teori adanya “dark matter” sehingga penemuan Vera Rubin ditaruh pada konteks yang lain.
Kita bisa menganggap konteks ini sebagai “post-fact”. Ketika bicara fakta, kita juga mesti bicara tentang proposisi. Proposisi adalah istilah yang digunakan untuk kalimat pernyataan yang memiliki arti penuh dan utuh. Hal ini berarti suatu kalimat harus dapat disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar tidaknya.
Konteks yang dianggap sebagai “post-fact” ini harus mendapat penerimaan terlebih dahulu dan memiliki dokumentasi tanya-jawab yang intensif dan lengkap untuk mendapatkan dukungan. Jika tidak cukup percobaan atau penelitian yang mendukung dan tidak ada dokumentasi yang cukup untuk mematahkan teori dark matter ini maka persepsi kebenarannya akan menurun.
Bisa jadi dalam keadaan ini, banyak alternatif yang dikemukakan seperti sama-sama masuk akal hal karena bukti yang mendukung beberapa alternatif ini telah dihilangkan. Hal ini menciptakan ketidaktahuan di mana banyak kemungkinan tampak serupa, menyebabkan diskusi selanjutnya berlanjut tanpa banyak landasan dan akhirnya menciptakan kesimpulan yang lebih ditentukan oleh pertimbangan bukan fakta.
Di sinilah diperlukan kelengkapan informasi dari orang-orang yang ahli yang tidak pernah berhenti meneliti dan membahas bidang ini, juga diperlukan jurnalis yang mengerti pengumpulan dan penyampaian informasi yang interaktif dari sumber-sumber yang independen. Seperti yang dipelajari di bangku sekolah, dalam penelitian paling sederhana pun dikenal adanya metode ilmiah, maka bukti harus dinilai dengan memperhatikan basis metodologinya serta pengamatan secara menyeluruh pada sumber-sumber yang bias, sehingga bukti ini menjadi kesimpulan yang bisa dipercaya. Di kondisi ini, interpretasi palsu yang mungkin tampak masuk akal bisa diminimalkan.
Untuk menghindari kita terus melangkah lebih jauh dalam kehidupan bermasyarakat yang tanpa fakta, kita harus mampu mengartikulasikan dan membela proses pembuktian, evaluasi, dan integrasi bukti. Mesti ada pernyataan yang jelas dari suatu kesimpulan, juga pemahaman yang jelas tentang bukti yang mendasari bahwa satu proposisi telah bisa disimpulkan. Tentunya masih terdapat sisa ketidakpastian yang masih harus terus dicari dan diteliti.
Jika tidak, bahaya mengancam. Misalnya, kalau kita salah makan, salah informasi bahan-bahan makanan, kita akan keracunan. Setidaknya, jika salah makanan, kita akan muntah-muntah, mencret-mencret, hingga lemes. Jika seorang tukang listrik, salah membaca kode-kode, akan gelap satu kampung satu kecamatan. Begitu juga jika satu imam masjid atau ketua komunitas salah tafsir atau salah baca WA, masyarakat akan ruwet.
Begitu juga ajaran agama, jika salah tangkap pendapat/tafsir hasilnya bisa berdarah-darah. Pengalaman-pengalaman pahit sudah kita terima, termasuk perang sesama muslim di zaman sahabat dulu.
Kehidupan bermasyarakat kita harus mulai berpikir ilmiah. Kita mesti berani meninjau penyataan yang secara faktual tidak benar dan menyandingkannya dengan bukti-bukti yang paling relevan. Tanpa mengambil langkah-langkah ini dengan paksa, kehidupan sehari-hari kita akan terus diisi oleh hal yang tidak kita butuhkan untuk maju dan tentu bahagia.