Beginikah cara Muslim Indonesia beragama?
3 September 2021, suara sorak sorai takbir yang menggema berakhir pada peristiwa nahas. Sebuah masjid yang habis dipakai salat Jumat di Sintang, Kalimantan Barat, harus rusak. Pelakunya tak lain adalah sekumpulan massa yang menggaungkan takbir itu, sebuah lantunan untuk memuji kebesaran Tuhan.
Masjid itu dirusak tentu bukan tanpa alasan. Ada segelintir orang yang cemas dengan segala ajaran yang diamalkan di masjid tersebut. Mereka kemudian memobilisasi massa untuk merusak dan menghancurkannya. Ya, masjid tersebut adalah milik Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Sebuah aliran keislaman asal dari India yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad.
Peristiwa ini tentu akan tercatat dalam sejarah kelam umat Muslim Indonesia sebagai aksi intoleran terhadap sesama. Apalagi Ahmadiyah adalah golongan minoritas. Kita pastinya harus ikut malu dan mengutuk aksi tersebut. Tidak hanya itu, kita juga harus berbenah diri, bagaimana seharusnya bersikap kepada kaum minoritas?
Bagaimanapun juga Ahmadiyah masih termasuk warga negara Indonesia yang berlandaskan UUD. Sehingga mereka berhak mendapatkan hak dalam menjalankan ritual-ritual ibadah yang menjadi kepercayaan mereka. Hal ini sesuai dengan keterangan yang disebutkan dalam UUD 1945 pasal 29, “bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Namun faktanya tidak demikian, Ahmadiyah yang merupakan muslim minoritas seringkali mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitarnya yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Apa sebab? Dari pengamatan yang saya dapat ada dua penyebabnya.
Pertama, pemicunya adalah Surat Keputusan Bersama tiga Menteri yang ditetapkan pada 2008 tentang Ahmadiyah. Dalam SKB Tiga Menteri tersebut keenam poin yang dicakup sangat memarginalkan Jemaat Ahmadiyah. Seolah-olah mereka tidak memiliki hak asasi dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Dan akibatnya, mereka mendapat perlakuan intoleran layaknya warga negara kelas 2 dari lingkungan sekitarnya.
Ditambah lagi banyak kebijakan pemda yang lebih memojokkan lagi kaum Ahmadiyah. Ambil contoh saja kebijakan pemda kabupaten Sintang yang menyegel masjid Ahmadiyah pada tanggal 14 Agustus 2021 dan surat keputusan nomor 300/263/Kesbangpol.C tanggal 27 Agustus 2021 yang isinya melarang kegiatan Ahmadiyah.
Kedua, kurangnya pengetahuan dari masyarakat Indonesia tentang cara hidup toleransi dan menghadapi konflik antar kelompok. Kecenderungan warga kita dalam memahami hidup toleransi itu selalu mengarah pada kehidupan antar agama, bukan intra-agama. Hal ini terlihat, ketika tokoh-tokoh agama menggambarkan hidup toleran selalu saja yang dimunculkan kerukunan antara umat Islam dan Kristen atau dengan agama lainnya. Bukan antara warga Nahdhiyyin atau Muhammadiyah dengan Syiah atau Ahmadiyah.
Pemahaman seperti yang digambarkan di atas berujung pada cara penyelesaian konflik yang berbeda pula. Contoh, ketika mereka mendengar kabar yang masih belum valid bahwa kitab suci Ahmadiyah adalah Tajhera, bukan Al-Quran, maka dengan segera rakyat mayor akan segera melakukan boikot. Padahal berita tersebut belum diverivikasi sendiri oleh mereka. Dan kalau ternyata hasilnya berita itu hoax mereka cuma bisa meminta maaf sambil memelas biar tidak dihukum.
Jika benar yang menjadi pemicu intoleransi adalah dua hal diatas maka menurut saya, setidaknya ada dua step yang harus dilakukan untuk meredam konflik-konflik selanjutnya.
Pertama, harus ada penghapusan SKB Tiga Menteri serta semua kebijakan pemda yang merugikan kaum minoritas dalam menjalankan ritual ibadah sesuai dengan kepercayaannya. Karena dengan demikian kaum minoritas, khususnya Ahmadiyah, bisa kembali hidup dengan tenang tanpa rasa cemas terhadap teror dari lingkungan sekitar dan mendapatkan hak asasinya dalam beribadah. Dan jika ada teror hukum terhadap pelakunya pun bisa benar-benar ditegakkan dengan adil.
Kalau peraturan-peraturan semacam ini tidak dihapus, menurut saya, suatu hari bahaya bisa terulang. Sebab aturan-aturan ini bisa dijadikan semacam pembenaran saat melakukan diskriminasi terhadap Ahmadiyah.
Kedua, diadakan edukasi secara masif akan pentingnya hidup toleransi serta cara menyelesaikan konflik antar golongan di berbagai tempat, khususnya mimbar khutbah. Sebab, jika tidak diajarkan cara-cara penyelesaian konflik maka masyarakat mudah untuk dimobilisasi saat ada perselisihan antar golongan. Dan akibatnya, terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan seperti perusakan masjid Ahmadiyah di Sintang ini.
Harusnya jika memang diduga ada penyelewengan dalam sebuah golongan harus diverivikasi terlebih dahulu. Dan jika ternyata benar maka langkah selanjutnya adalah memberi peringatan bahwa yang dilakukan adalah salah. Bukan malah main hakim sendiri, apalagi sampai merusak tempat ibadah.
Konflik memang akan tetap terulang suatu saat nanti. Sebab kehidupan sejatinya adalah perputaran roda sejarah. Namun setidaknya konflik harus dicegah untuk meminimalisir problem-problem selanjutnya. Seperti kata pepatah, “mencegah lebih baik daripada mengobati”.