Amin Nurhakim
Penulis Kolom

Mahasantri di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Tangerang Selatan. Peserta program Micro Credential (2024) Chicago, Amerika Serikat, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Chicago selama dua bulan.

Ilmu ‘Arudh; Panduan Menyusun Syair Arab

Dunia arab sangatlah kental dengan bahasanya yang memiliki banyak makna. Jauh sebelum musik keislaman berkembang, mereka sudah sangat maju dalam bersyair. Dalam permulaan mata kuliah Adab wannaqd atau sering dikenal dengan kritik sastra, banyak sekali dibahas masa-masa perkembangan sastra, dan semuanya diawali di masa Jahiliyyah.

Penyair-penyair kaliber arab dari masa ke masa banyak diceritakan disana. Pada masa Jahiliyyah contohnya seperti Thorfah, Zuhair bin Abi Sulma, Imrul Qois, ‘Al-Qomah. Pada masa islam datang diantaranya Hassan bin Tsabit. Juga pada masa selanjutnya, selalu ada generasi yang handal dalam bersastra, hingga syair-syair mereka dibukukan dalam Diwan, yaitu kumpulan bait-bait syair.

Syair arab yang indah pun tidak semuanya shahih. Ada di antara bait-baitnya yang cacat dan bermasalah. Syair yang sempurna adalah syair yang sesuai dengan bentuk syair, dan itu semua direprentasikan dalam satu disiplin ilmu,‘Arudh wal Qowafiy.

Sebenarnya ‘Arudh dan Qowafiy berbeda satu sama lain, ilmu ‘Arudh adalah ilmu yang dipelajari untuk mengetahui kesahihan suatu syair, sedangkan ilmu Qowafy adalah disiplin ilmu yang mempelajari keadaan akhiran suatu bait syair, keduanya berbeda namun disatukan karena urgensi dan tujuannya sama, mendeteksi kesahihan suatu syair.

Peletak ilmu ‘Arudh sendiri adalah Imam al-Kholil bin Ahmad al-Farohidy al-Bashry 170 H (Muqaddimah fil ‘Arudh wal Qowafy Dr. Ahmadi Utsman). Beliau adalah seorang ahli bahasa, irama, dan permusikan.

Baca juga:  Konsep Mahabah Perspektif Al-Ghazali

Bermula al-Kholil mendengar banyak para penyair pembaharu pada masanya menyusun acuan dan timbangan yang keluar dari timbangan syair arab yang biasa dikenal di telinga mereka, maka beliau pun bermaksud meletakan disiplin ilmu yang mengumpulkan dasar-dasar syair Arab agar menjadi rapih dan sesuai dengan kaidahnya, sekaligus tidak melanggar rumusan yang telah ada.

Ia pun memulai dengan membaca serta menganalisis syair-syair Arab dan meletakan sesuai dengan irama dan ketukannya, kemudian meletakan semua syair yang sejenis dalam suatu daftar yang tersusun sampai selesai. Kemudian al-Kholil dapat menyimpulkan bahwa semua syair arab dari zaman dahulu kala hingga detik itu tersusun dalam 16 kaidah saja, begitu pun musik dan ketukan bait itu muncul dari harakat dan sukun yang beraturan.

Proses penyusunan rumusan itu menghasilkan 16 wazan. 15 dibuat oleh al-Kholil dan yang ke-16 dihasilkan oleh muridnya yang bernama al-Akhfas Al-Awsath (215 H), nama wazannya adalah bahr al-mutadarik. Mutadarik berasal dari tadaroka yang berarti lupa kemudian ingat.

Konon al-Khalil bin Ahmad ketika pembuatannya, dibantu dengan dentingan suara-suara besi yang dipukulkan pandai besi ke tempat tempaannya. Ketika para pandai besi itu memukulkannya, maka al-Kholil menandainya sebagai harakat (َُِ), begitu juga dengan berhentinya pukulan itu al-Kholil menandainya sebagai sukun (ْ).

Baca juga:  Ngaji Rumi: Doa yang Menyegarkan Jiwa

Ada beberapa pendapat mengenai dinamakannya ilmu ini “’Arudh”. Pertama, sebagai tabarruk karena Allah mengilhami beliau ilmu ini ketika berdoa di Mekkah, ia meminta dianugerahi ilmu yang belum pernah dianugerahkan kepada seorang pun di muka bumi ini.

Kedua, karena Allah memberinya ilham di kota Arudh yang lokasinya antara kota Mekkah dan Thoif. Ketiga, karena sulitnya mempelajari ilmu ini, arudh dalam bahasa Arab berarti juga sha’ab yaitu sulit.

Keempat, karena syair banyak dibentangkan dalam pembahasannya, setiap syair yang serasi dengan kaidahnya maka shahihlah syairnya, jika sebaliknya maka syairnya dinilai rusak.

Ada banyak faedah yang dapat kita ambil dari ilmu ini. Diantaranya dapat membedakan mana nadzom dan mana natsr, terkadang orang yang tidak memahaminya akan menganggap natsr dan nadzom sama, begitu juga dapat membedakan antara saja’ dan syair.

Dengan ilmu ini juga dapat mengetahui bahwa Alquran dan hadis bukanlah syair meski di antara Alquran dan hadis ada yang selaras dengan bahr dalam ilmu Arudh, salah satunya dalam surat Ali Imron ayat 92: لن تنالوا البرّ حتّى تنفقوا مما تحبّون ,ayat ini sesuai dengan Bahar raml al-musba’.

Ada beberapa hadis juga yang susunan harakat dan sukun kalimatnya sesuai dengan salah satu Bahar dalam ilmu Arudh, yaitu قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أنا النبي لا كذب أنا عبد المطلب, hadis ini sesuai dengan Bahar rojaz majzu’.

Disiplin ilmu ini sangat bermanfaat bagi kita, terutama para santri maupun pelajar yang sedang mempelajari kutubutturats. Ada 4 kelebihan yang disajikan dalam ilmu Arudh. Pertama, memperbagus syair dan menghindari kesalahan sekaligus tipologi dalam bersyair maupun penulisannya.

Baca juga:  Ledakan Estetika Sastra Arab Pasca Arab Spring

Kedua, penyair aman dari perubahan yang dilarang dalam syair. Ketiga, bisa mengoreksi syair sesuai dengan kriterianya. Keempat, mengetahui istilah-istilah ilmu Arudh yang ada dalam turats syair.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
9
Ingin Tahu
17
Senang
7
Terhibur
4
Terinspirasi
5
Terkejut
3
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top