Beberapa hari terakhir ini beredar sejumlah kritik terhadap Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Perannya yang dominan dituduh melampaui kewenangannya sebagai menteri koordinator kemaritiman dan investasi dalam kabinet pemerintahan Jokowi. Beberapa orang bahkan menyebutnya sebagai “the real president”, sebuah sindiran yang berimplikasi pada kesan adanya kelemahan kepemimpinan Presiden Jokowi sendiri.
Kritik terhadap LBP adalah wajar dan masuk akal. Sejak perumusan susunan anggota kabinet pemerintahan akhir tahun lalu, namanya disebut-sebut sebagai orang yang paling mempengaruhi keputusan Jokowi. Namanya kembali menjadi bahan kontroversi karena belakangan komentar-komentarnya soal penanganan epidemi covid-19, khususnya terkait boleh atau tidaknya mudik ke kampung halaman menjelang bulan puasa dan lebaran, terdengar seperti mendelegitimasi pernyataan Presiden Jokowi sendiri.
Yang cukup mengejutkan adalah reaksi terhadap kritik terhadap LBP itu. Di media sosial, misalnya, saya membaca sejumlah komentar yang mengatakan bahwa kritik terhadap LBP adalah pekerjaan “kadrun” (kadal gurun) yang sejak awal memang anti-Jokowi. Terlebih lagi LBP adalah seorang Batak Kristen, maka cukup pasti para kadrun tidak akan pernah bisa menerima keberadaannya. Anggapan seperti ini beredar luas di kalangan pendukung Jokowi garis keras.
Tidak selesai di situ, sejumlah catatan kemudian muncul sebagai serangan balik atas kritik terhadap LBP. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah catatan tersebut secara percaya diri mengatakan bahwa LBP adalah seorang Gusdurian! Dia adalah loyalis Gus Dur. Oleh karena itu, kritik terhadap LBP dianggap tidak pantas karena sama dengan mengkritik Gus Dur.
Terus terang awalnya saya cukup kaget dengan serangan balik atas kritik terhadap LBP itu. Kritik ekonomi-politik kekuasaan direduksi secara salah menjadi kritik identitas. Meski memang harus diakui ada sejumlah kritik terhadap LBP yang keliru karena malah mempersoalkan identitas kekristenan dan kebatakannya, namun mereduksi kritik ekonomi-politik kekuasaan menjadi kritik identitas adalah berbahaya.
Tetapi itulah yang terjadi selama ini dengan istilah “toleransi”. Terutama pada masa Orde Baru yang masih berlanjut hingga kini, toleransi dipahami hanya sebagai sikap tenggang rasa terhadap identitas komunal yang berbeda. Dalam praktiknya sikap itu harus dibuktikan dengan menghindari pembicaraan “suku, agama, ras, dan antar-golongan” (SARA) secara terbuka. Pokoknya hubungan antar-agama harus dianggap baik-baik saja.
Ironisnya, pemahaman yang salah kaprah mengenai toleransi ini diteruskan oleh sejumlah aktivis sosial kemanusiaan atau semacamnya. Mereka cenderung menekankan bahwa akar masalahnya terletak pada pemahaman yang salah terhadap teks-teks keagamaan. Tentu saja ini tidak sepenuhnya salah, tetapi kemudian pemahaman toleransi menjadi terpisah dari realitas sosial-ekonomi. Jika ada kesan orang-orang Kristen lebih sejahtera daripada orang-orang Islam, maka hal itu dikatakan bukan masalah toleransi.
Perkaranya memang sangat filosofis. Selama ini toleransi lebih sering dipahami sebagai “identitas” yang merujuk pada keberadaan kelompok atau komunitas. Toleransi diartikan sebagai relasi antar kelompok atau komunitas, khususnya agama. Dengan demikian, jika timbul masalah toleransi, maka akarnya terletak pada sifat atau karakter kelompok atau komunitas.
Pemahaman toleransi yang komunalistik tersebut sangat berbahaya karena mengabaikan keragaman anggota di dalam kelompok atau komunitas. Keberadaan individu dihilangkan. Dalam kasus kritik terhadap LBP, misalnya, LBP dilihat bukan sebagai seorang manusia politik yang mempunyai kepentingan tertentu, tetapi hanya sebagai seorang Kristen atau Batak.
Di arena politik kekuasaan seperti pemilihan umum kemarin, pemahaman toleransi yang komunalistik rawan dimanipulasi. Dan itu terjadi di sini. Pembelahan antara pendukung Jokowi dan Prabowo selama dua kali pemilihan umum, 2014 dan 2019, yang memang kentara sekali berlatar belakang agama menimbulkan kesan yang salah. Karena kelompok Muslim garis keras umumnya menjadi pendukung Prabowo dan kelompok minoritas agama non-Islam umumnya menjadi pendukung Jokowi, maka saling serang di antara kedua kubu ini mudah tergelincir pada kesan seakan-akan terjadi pertengkaran identitas.
Ternyata pemahaman toleransi komunalistik yang dikembangbiakkan secara massif selama hiruk pikuk dua kali pemilihan umum itu terus berlanjut. Istilah “kadrun” tetap dipakai kepada siapa saja yang mencoba melakukan kritik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, tidak terkecuali LBP sebagai salah seorang menterinya. Kalau dibiarkan, istilah toleransi bisa dituduh sebagai hanya sekadar alat untuk membungkam kritik terhadap politik kekuasaan.