Sedang Membaca
Siapakah Pengguna Media Keislaman Digital?
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Siapakah Pengguna Media Keislaman Digital?

Kaum santri, khususnya dari kalangan tradisional, patut berterima kasih kepada kepada kemajuan teknologi informasi. Sekarang mereka bisa menulis berbagai hal mengenai dunianya melalui berbagai media keislaman digital yang didirikannya sendiri.

Topik-topik yang dulu sulit ditemukan dalam sumber-sumber berbahasa Indonesia di pasaran, seperti kisah-kisah keseharian para ulama, saat ini bisa secara mudah dibaca lewat gawai yang hampir dimiliki semua orang.

Pertanyaannya adalah siapakah sesungguhnya pembaca atau, belakangan terkait maraknya livestreaming, pemirsa media keislaman digital itu? Belum ada jawaban yang memuaskan. Sejauh ini tampaknya belum ada survey yang spesifik mengenai hal ini. Kita belum tahu secara persis siapakah pembaca dan pemirsa media tersebut.

Kalau merujuk literatur yang ada, termasuk yang ditulis oleh seorang antropolog-santri Yasir Alimi (2018), internet pada dasarnya bukan dunia yang tanpa batas. Alih-alih menghubungkan orang dari beragam latar belakang kebudayaan, yang lebih sering terjadi adalah justru penguatan identitas di antara orang yang sama. Oleh karena itu, apakah bisa dikatakan pembaca dan pemirsa media keislaman digital kaum santri tradisional adalah kaum santri tradisional juga?

Kemungkinan besar, itulah yang terjadi. Tidak hanya pembaca dan pemirsanya, para penulis di media digital kalangan NU, misalnya, adalah teman-teman mereka sendiri. Mereka merayakan suasana keagamaan dari, oleh, dan untuk kaum santri NU.  

Baca juga:  Tujuh Catatan Penting Terkait Perdebatan Kata Kafir dan Non-Muslim

Hal yang kurang lebih sama terjadi dalam interaksi di media sosial. Sependek pengamatan saya, mereka yang saling menyapa dalam livestreaming pengajian kitab kuning yang diasuk oleh Ulil Abshar-Abdalla dan Abdul Moqsith Ghazali adalah teman-teman sendiri. Sebagian bahkan saling mengenal dalam kehidupan nyata sehari-sehari , sebagian lagi terhubung dengan pusat-pusat keilmuan Islam tradisional di pesantren-pesantren tradisional. 

Pada saat yang sama saya kadang suka mengintip media keislaman digital dan akun-akun media sosial figur kelompok non-NU, seperti Salafi atau muslim modernis. Kondisinya tidak jauh berbeda. Dari komentar-komentar yang muncul di sana, terlihat bahwa pembaca dan pemirsanya adalah orang-orang yang berasal dari ceruk kultural yang serupa.

Akan tetapi, memang ada pangsa pasar yang diperebutkan, yaitu kalangan non-santri yang sedang gandrung-gandrungnya belajar agama. Sebenarnya populasi ini telah terbentuk terutama sejak Orde Baru berkuasa, tetapi dalam dua dekade terakhir ini gejalanya semakin mengemuka. Ada dugaan mereka lebih tertarik  kepada model-model keislaman salafi, sehingga tidak heran media digital mereka mendapatkan kunjungan yang sangat tinggi. Yufid TV di YouTube, misalnya, saat ini mempunyai pelanggan 1,9 juta orang, mungkin merupakan yang tertinggi di antara media-media keislaman digital yang bersaing di platform ini. Bandingkan dengan NU Channel yang baru dilanggan oleh 503 ribu orang. 

Baca juga:  Simbolisasi Agama dan Kegelisahan Kita

Yang menarik dari fenomena ini adalah absennya negara. Meskipun Kementerian Agama sering mengkampanyekan pentingnya moderasi beragama, sebagai contoh, visibilitas mereka di dunia digital hampir tidak kentara. Dari sisi ini cukup jelas kita di Indonesia adalah negara liberal yang lebih membebaskan, daripada mengontrol, konten-konten yang beredar di dunia digital. Terus terang saya kurang tahu apakah negara memberikan bantuan finansial kepada media keislaman digital tertentu atau tidak. 

Situasi ini, pada akhirnya, memaksa masing-masing kelompok kultural memperkuat identitasnya sendiri-sendiri. Semacam herd immunity di dunia kesehatan. Media keislaman digital berfungsi untuk itu. 

Kalau demikian, maka yang dibutuhkan ke depan adalah konsensus untuk saling menghormati. Barangkali istilah konsensus terlalu muluk, sebab yang lebih sering terjadi adalah gencatan senjata sementara (modus vivendi). Saya kira dalam konteks masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia, pilihan ini mau tak mau adalah usaha minimal yang harus diambil.

Sekali lagi, dalam hal ini, media keislaman digital adalah pihak yang sangat diharapkan peranannya.  

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top