Sedang Membaca
Posisi NU dan Muhammadiyah di Era Priayisasi Islam
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Posisi NU dan Muhammadiyah di Era Priayisasi Islam

Kebangkitan agama, terutama sejak akhir 1980-an, adalah fenomena umum di seluruh dunia. Di Indonesia, fenomena itu terlihat dramatis karena melibatkan perubahan wajah negara yang sangat kontras. Jika yang dimaksud negara terwakili oleh Soeharto, presiden Indonesia saat itu, kita bisa melihat perubahan yang luar biasa. Sementara sebelum akhir 1980-an negara berwajah sekuler, setelahnya negara menjadi lebih “islami”.

Dalam situasi tersebut, apa yang sesungguhnya terjadi dengan gerakan-gerakan Islam? Pertanyaan ini terasa krusial karena alih-alih memperkuat gerakan-gerakan Islam yang telah ada, kebangkitan agama di akhir 1980-an itu justru melahirkan gerakan-gerakan Islam yang baru. Para mahasiswa di kampus-kampus umum, misalnya, lebih memilih bergabung ke kelompok Tarbiyah dan Salafi daripada ikut orangtua mereka di Muhammadiyah dan NU. Sementara itu, kelas menengah yang ingin mereguk oase spiritual lebih memilih ikut kelas-kelas motivasi yang ekslusif daripada ikut tarekat-tarekat sufi yang telah mapan.

Itulah yang terjadi dengan apa yang saya sebut sebagai priayisasi Islam (lihat, “Islamisasi Priayi atau Priayisasi Islam, Alif.ID, 1 September 2020). Dalam konteks priayisasi Islam, gerakan-gerakan Islam lama seperti Muhammadiyah dan NU, juga Persatuan Islam (Persis) dan organisasi lainnya yang lebih kecil, sebenarnya tidak mengalami perkembangan. Tentu saja mereka tetap eksis, tetapi lebih pada pembinaan ke dalam daripada pengembangan ke luar.

Baca juga:  Untuk Apa Berdoa Jika Semua Sudah Ditakdirkan?

Di antara mereka, pembinaan ke dalam di kalangan NU adalah yang paling kelihatan. Terutama sejak dipimpin oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sejak 1984 hingga 1999, NU mengalami transformasi intelektual yang bahkan mungkin melampaui apa yang pernah dicapai oleh Muhammadiyah. Masalahnya, transformasi yang dipuji oleh para pengamat asing itu hanya berjalan secara internal. Yang tercerahkan adalah para santri pesantren yang memang merupakan basis tradisional NU sejak awal.

Baca tulisan menarik NU-Muhammadiyah:

Transformasi internal juga dialami oleh Muhammadiyah. Namun berbeda dengan transformasi NU yang lebih bersifat intelektual, fokus Muhammadiyah adalah pengembangan kelembagaan. Sekolah dan universitas dibangun, demikian pula rumah sakit dan panti asuhan. Ini dimungkinkan karena berbeda dengan NU yang relatif dipinggirkan oleh pemerintahan Soeharto, Muhammadiyah adalah bagian yang aktif dalam “pembangunan”. Bagaimanapun sebagian besar umatnya adalah pegawai negeri dan pedagang, sehingga sulit bagi mereka mengambil sikap oposan. Dapat dikatakan, ketika proses priayisasi Islam berlangsung secara massif, Muhammadiyah berada pada posisi mapan. Namun karena mapan, mereka merasa cukup mengelola apa yang telah dimiliki di dalam.

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (4): Gus Dur dan Ulama Lombok

Kondisi yang dihadapi dan dilalui oleh Muhammadiyah dan NU tersebut jarang diketahui, sehingga tidak heran belakangan sejumlah orang bertanya: lalu apa yang telah diperbuat oleh mereka menanggulangi radikalisme agama? Pertanyaan ini mengandaikan adanya kemerosotan di tengah pengikut Muhammadiyah dan NU, padahal yang terjadi bukan itu. Khususnya terhadap NU, sering muncul pertanyaan yang salah alamat: lalu apa yang telah diperbuat oleh mereka untuk menanggulangi radikalisme agama di kampus umum? Bagi saya jelas sekali pertanyaan ini salah alamat karena NU memang tidak pernah mempunyai basis di kampus umum. Pada akhir tahun 1980-an, masih sedikit sekali santri NU yang bisa kuliah di sana dan pada ranah kekuasaan politik NU tidak mempunyai akses ke dunia perguruan tinggi.

Harus diakui bahwa gerakan-gerakan Islam lama memang tidak mengantisipasi adanya kebangkitan agama yang begitu luar biasa itu. Mereka sibuk merawat yang ada, tetapi tidak menyambut yang akan ada. Antusiasme masyarakat terhadap agama akhirnya dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam yang lebih baru.

Akan tetapi, karena itu pula, menarik dipertanyakan ulang: kalau demikian halnya, lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan kebangkitan agama itu? Melalui konsep priayisasi Islam, saya telah menunjukkan bahwa sejatinya tidak ada perubahan struktural. Kelompok agama tidak pernah memenangkan pemilihan umum. Yang berkuasa secara ekonomi dan politik tetap para priayi yang pada dasarnya sekuler, tetapi sedemikian rupa mereka menggunakan simbol agama dalam menjalankan agendanya. Begitu juga dalam lingkup publik yang luas. Simbol agama memang marak digunakan, tetapi itu hanya “ageman” atau pakaian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top