Dalam beberapa tahun terakhir, dinamika politik berjalan cepat, khususnya terkait dengan aspirasi Islam politik, suatu titik balik sedang terjadi.
Jika sebelumnya terlihat berada di atas angin, setidaknya sejak 2017—pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)—mereka menghadapi serangan balik yang cukup mematikan. Rupanya rangkaian aksi 212 bukan awal, melainkan akhir, dari bulan madu Islam politik dan negara yang telah berlangsung sejak awal 1990-an.
Minggu lalu, 30 Desember 2020, Front Pembela Islam (FPI) juga dibubarkan. Pemerintah beralasan mereka tidak mampu memenuhi syarat administratif yang dibutuhkan oleh organisasi masyarakat agar diakui keberadaannya. Pada saat yang sama, pimpinan mereka Muhammad Rizieq Shihab bahkan ditahan kepolisian karena dituduh melanggar regulasi atau protokol kesehatan di masa pandemi.
Dari kasus HTI dan FPI, sebuah teka-teki muncul: mengapa tidak ada perlawanan yang berarti dari mereka? Bukankah sebelumnya kedua organisasi itu digambarkan sedemikian perkasa? Atau jangan-jangan gambaran kita terhadap keduanya keliru? Kalau demikian halnya, ini yang terpenting, kira-kira apa implikasinya?
Pembacaan saya terhadap sejarah membawa imajinasi ke tahun 1960-an. Persis pada 1960, Partai Masyumi dibubarkan. Tidak lama kemudian, tepatnya 1962, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dilumpuhkan setelah pimpinannya Kartosuwiryo ditangkap dan dihukum mati. Tiga tahun setelah itu, sepanjang 1965-1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan hingga ke akar-akarnya.
Sejauh ini tiga peristiwa dari tahun 1960-an tersebut lebih dilihat secara terpisah, padahal dalam refleksi saya ketiganya merupakan suatu rangkaian. Baik Masyumi, DI/TII, maupun PKI ditumpas oleh negara karena dianggap merongrong legitimasi kekuasannya. Ketiga organisasi itu digambarkan mempunyai ideologi lain di luar nasionalisme yang resmi, sehingga penumpasannya diyakini merupakan sebuah keniscayaan belaka di sebuah negara yang berdaulat.
Bertolak dari rangkaian peristiwa di tahun 1960-an itulah Islamisme dan komunisme menjadi kata haram dalam sejarah politik Indonesia lebih lanjut. Keduanya divonis sebagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Keduanya dituduh akan mendirikan negara Islam di satu sisi dan negara komunis di sisi lainnya.
Kita bisa berdebat mengenai validitas tuduhan terhadap Islamisme dan komunisme tersebut, tetapi faktanya sejak tahun 1960-an itu suatu hegemoni kekuasan ekonomi politik baru terbentuk. Dijaga oleh militer yang semakin kuat posisinya sejak nasionalisasi perusahaan asing di akhir tahun 1950-an, hegemoni kekuasaan ekonomi politik baru itu bisa bertengger karena mampu menormalisasi ketakutan. Sejak 1960-an alam pikir orang Indonesia disusupi perasaan terancam oleh adanya kekuatan jahat yang mau mengganti Pancasila oleh yang lainnya. Perasaan ini, saya kira, terus bertahan hingga sekarang.
Saya melihat gejala yang kurang lebih sama saat ini. Pembubaran HTI dan FPI disituasikan oleh suasana kebatinan seperti terjadi pada tahun 1960-an dan setelahnya. Perasaan terancam oleh kelakuan HTI dan FPI yang memang menyebalkan seolah dinormalisasi oleh ketegasan negara ketika membubarkan keduanya.
Akan tetapi, masalahnya bukan sekadar psikologis. Dari sisi tertentu, kelompok Islam politik sendiri tidak pernah belajar dari kesalahan di masa lalu. Mereka tetap saja memaksakan pandangan keagamaan yang keras di tengah masyarakat yang beragam. Mereka juga tidak pernah sungguh memeluk demokrasi dan hak asasi manusia, dua norma modern yang sejatinya justru membela mereka di saat krisis. Mereka tidak mau mengakui kenyatakan bahwa tanpa adanya demokrasi dan hak asasi manusia gagasan Islam politik tidak akan bisa bertahan sejauh ini.
Kekeraskepalaan Islamisme tidak jauh berbeda dengan komunisme. Berangkat dari utopia mengenai esensi masyarakat yang ideal, mereka membentur tembok keras nasionalisme yang dijaga oleh militer sejak awal. Mereka lupa “NKRI harga mati” telah menjadi opium yang sedemikian rupa sehingga siapapun yang nekad melawannya akan menememui ajal—paling tidak hingga muncul suatu hegemoni ekonomi politik yang entah kapan akan membangunkan tubuh mereka kembali.
Lalu apa yang akan terjadi setelah ini? Meski bukan ramalan, sejarah kadang berfungsi sebagai malaikat yang suka mewanti-wanti. Dari refleksi terhadap peristiwa tahun 1960-an, saya melihat pembubaran HTI dan FPI bukan akhir, melainkan awal, dari episode kekuasaan yang baru. Meski belum mencapai status hegemonik, kekuasan yang baru itu secara perlahan semakin mengkonsolidasikan ekonomi dan politik dalam genggamannya.
Dalam rangka itu, bayangan tentang Islam politik yang mengancam tetap berkembang, misalnya lewat media sosial, padahal kenyataannya gerakan mereka mudah sekali dipatahkan.