Sejumlah pengamat, misalnya Hefner (1999) dan Ricklefs (2012) menyebut adanya proses Islamisasi yang luar biasa di Indonesia, khususnya pasca-1965. Dapat dikatakan sejak itu kelompok abangan yang secara politik berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengalami kemerosotan, kalau bukan kehancuran. Namun yang menarik perhatian saya adalah: apa yang terjadi dengan kelompok ‘priayi’ jika istilah yang secara akademis sering merujuk pada karya Geertz (1981) itu sungguh eksis dalam kehidupan sehari-hari?
Priayi adalah mereka yang menduduki strata terhormat dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, daripada ditempatkan sebagai ‘kelas’ dalam pengertian Marxian, priayi lebih cocok disebut sebagai ‘status’ dalam pengertian Weberian. Penopangnya adalah birokrasi. Priayi, dengan demikian, pada umumnya adalah kelompok terdidik yang menjabat posisi tertentu dalam struktur birokrasi di negeri ini. Pada tahun 1950-an, sebagian besar mereka secara politik terafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Setelah berkuasanya Orde Baru pasca-1965, apa yang terjadi dengan mereka?
Pertanyaan di atas, entah mengapa, jarang ditanyakan oleh para sarjana. Padahal, menurut saya, itu adalah kunci untuk memahami karakter islamisasi yang berlangsung massif selama Orde Baru dan bahkan hingga sekarang. Dalam hal ini, saya melihat gejala sebaliknya. Alih-alih islamisasi priayi, yang terjadi adalah priayisasi Islam.
Oleh karena itu, saya enggan menggunakan istilah ‘santrinisasi’. Posisi dan peranan kaum santri pada dasarnya tetap, tidak bertambah. Mereka menempati ceruk tertentu dalam masyarakat berbasis pesantren, baik yang bercorak tradisionalis maupun modernis. Gejala islamisasi pasca-1965 justru lebih banyak terjadi di luar pesantren, yaitu di lingkungan urban. Di sanalah kebangkitan Islam menemukan tempatnya secara signifikan.
Yang sering luput dari perhatian adalah karakter priayi itu sendiri. Berbeda dengan Geertz yang mengesankan mereka sangat kaku dalam mempertahankan tradisi kulturalnya, saya melihat hal yang sebaliknya. Mereka sangat lentur. Mereka bisa beradaptasi dengan perubahan zaman secara cepat. Ketika Islam menjadi norma baru dalam masyarakat, khususnya sejak era 1980-an, mereka berbondong-bondong memakai simbol Islam.
Kelompok priyayi inilah yang menjadi salah satu target gerakan pembaharuan Islam sebagaimana dikembangkan oleh Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Mereka senang dengan model Islam seperti itu karena memang lentur—yang lebih ditekankan adalah hakikat, bukan syariat. Mereka suka dengan isu-isu pluralisme dan sejenisnya. Mereka anti-puritan. Yang agak ambigu adalah sikap mereka pada dunia tasawuf, yang kadang tampak mendekati, pada lain kesempatan sangat kritis.
Akan tetapi, karena basisnya adalah status daripada kelas, priayi tidak pernah mengotak-atik ekonomi. Bagi mereka, tidak ada yang salah dengan struktur ekonomi kita. Semuanya baik-baik saja. Jika ada orang miskin, maka yang perlu dilakukan adalah memotivasi agar mereka lebih giat bekerja. Para priayi adalah kaum Calvinis sejati.
Karakter tersebut tetap dibawa oleh priyayi setelah mereka memakai baju yang lebih Islami. Kata mereka, agama adalah “ageman” yang berarti pakaian. Dengan kata lain, agama hanyalah lapisan luar yang bisa diganti sesuai dengan kebutuhan. Karena sekarang adalah zaman Islam, sudah sepantasnya memakai baju Islam.
Dalam perkembangannya, zaman berubah menjadi lebih formalistik. Mengikuti itu, Islamnya para priayi pun menjadi lebih formalistik. Makanya tidak heran pendukung berbagai ‘perda syariat’ di berbagai wilayah pasca-Orde Baru tidak hanya partai-partai Islam, tetapi juga partai-partai sekuler. Bahkan, saya kira, para priayi tidak terlalu risau dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pokoknya sejauh tidak mengganggu posisi mereka, sejauh itu pula kehidupan sosial kita baik-baik saja.
Sekali lagi, yang terjadi adalah priayisasi Islam, bukan islamisasi priayi. Akibatnya tidak ada perubahan fundamental dalam lapisan sosial masyarakat kita. Komposisinya kurang lebih tetap. Kalau membaca Munculnya Elit Modern Indonesia karya van Niel (1984) yang menggambarkan lapisan-lapisan mayarakat Indonesia pada awal abad ke-20, rasanya tidak yang berubah dengan itu saat ini.
Sementara itu, meski harus diakui mengalami mobilitas vertikal yang luar biasa pasca-Orde Baru, kaum santri tetaplah pinggiran. Sejak era kemerdekaan, lahan mereka di birokrasi tetaplah kementerian agama, bukan kementerian dalam negeri atau kementerian keuangan, misalnya. Sejak tahun 1950-an ketika Geertz menuliskan buku klasiknya, peranan santri tetaplah pembaca doa, termasuk di rumah priayi ketika mereka mengadakan selametan atau hajatan.