Sedang Membaca
HTI versus NU: Lalu Lainnya Melakukan Apa?
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

HTI versus NU: Lalu Lainnya Melakukan Apa?

Img 20200629 Wa0012

Kontroversi mengenai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan isu khilafah kembali mengemuka dalam beberapa waktu terakhir ini. Pencetusnya adalah peluncuran film Jejak Khilafah, selain perseteruan terbuka di antara mereka yang pro dan kontra di sejumlah daerah.

Rupanya, meski secara hukum telah dianggap tuntas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2017, secara sosial dan politik masalahnya belum berakhir—dan mungkin tidak akan pernah berakhir.

Yang menjadi kekhawatiran saya adalah kontroversi ini menimbulkan ketegangan di antara masyarakat sipil. Dalam hal ini, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) terlihat paling keras, bahkan sejak awal, terhadap keberadaan HTI. Saya bisa mengerti ini karena serangan HTI memang menusuk jantung pertahanan tradisi keagamaan NU, metode dakwah, dan tentu ideologi politik kenegaraan. Meski tujuannya politik, terlalu sering para aktivis HTI mempersoalkan, misalnya, kebiasaan beribadah orang NU. Aspek ini, menurut saya, malah lebih krusial daripada soal khilafahnya sendiri.

Namun bagian terburuknya adalah aparat negara tampak membiarkan kontroversi tersebut memuncak. Mereka enggan berbuat apa-apa. Mungkin mereka pikir itu adalah tugasnya NU, khususnya para pemuda Ansor, untuk melakukannya.

Insting saya sebagai orang yang pernah belajar sejarah langsung terbawa ke alam pikiran tahun 1960-an. Saat itu, kita tahu, ketegangan antara PKI dan NU memuncak, sehingga tidak mengherankan peristiwa 1965 yang sangat brutal bisa terjadi. Prakondisi buat itu telah terbentang sebelumnya. Tetapi apa yang didapatkan oleh NU setelah itu?

Baca juga:  Tren Hijrah dan Politik "Ukhuwah Islamiyah"

Sejumlah literatur menggambarkan NU sebagai aktor yang ikut berperan dalam peristiwa 1965. Tetapi hampir tidak ada atau belum ada yang membahasnya setelah itu. Bagaimana nasib orang NU, khususnya di tingkat bawah, setelah 1965 dan terutama lagi setelah Orde Baru berkuasa adalah pertanyaan yang jarang ditanyakan.

Bahkan pengamat yang sangat jeli seperti Robert Hefner pun dalam Civil Islam (2001) hanya menggambarkan “kepahitan muslim modernis”. Seolah-olah kelompok muslin tradisonalis tidak mengalami kepahitan yang sama. Pengalaman uwak (paman) saya yang dipopor babinsa karena ikut kampanye NU pada Pemilu 1971 tidak atau belum masuk dalam historiografi resmi negara.

Poin yang ingin saya kemukakan adalah situasi sekarang mirip dengan situasi 1960-an. Lagi-lagi kelompok-kelompok dalam masyarakat sipil dibiarkan saling berseteru. Sementara aparat negara menonton dari kejauhan. Yang menyedihkan lagi, kelompok-kelompok yang berseteru itu sama-sama Islam. Sementara itu, kelompok-kelompok yang tidak mengidentifikasi diri dengan agama, sama seperti aparat negara, menonton dari kejauhan. Setelah menjadi lebih jelas siapa yang menang, barulah mereka datang.

Terkait dengan HTI sendiri, apa yang terjadi sesungguhnya lebih rumit daripada sekadar soal ideologi. Khilafah memang bermasalah, tetapi saya cukup yakin perkaranya lebih dari itu. Setiap kelompok mempunyai pengertiannya sendiri mengenai mengapa HTI harus dienyahkan atau sebaliknya, harus dipertahankan, di negeri ini.

Baca juga:  Mengurai Makna Kalabendu sebagai Jalan Refleksi Diri

Bagi kebanyakan orang NU, HTI tidak disukai karena mereka sering mempermasalahkan kebiasaan beribadah mereka. Seperti kelompok Salafi, para aktivis HTI sering membid’ahkan sejumlah ritual yang biasa dijalankan oleh orang NU. Ini sebenarnya bukan tujuan utama mereka, tetapi ini juga memperlihatkan adanya dinamika internal HTI yang luar biasa. Makanya tidak heran kita mendengar ada beberapa aktivis HTI yang keluar dan lalu menyeberang ke organisasi yang lebih radikal karena ketidakjelasan arah politik yang hendak diperjuangkannya.

Di sisi lain, meski sekarang lebih diam-diam, tidak sedikit kalangan yang tetap menghendaki HTI tetap ada di negeri ini. Alasannya bermacam-macam. Bagi mereka yang mengimani interpretasi tertentu terhadap norma-norma hak asasi manusia, HTI tidak diperlu dilarang karena hanya bergerak di wilayah pemikiran yang harus dilindungi kebebasannya. Sedangkan bagi para pemain politik, isu khilafah yang dimainkan HTI adalah aset yang bisa diolah untuk kepentingan praktis. Harap diketahui, pemain politik yang dimaksud tidak perlu berlagak religius, bahkan dalam keseharian mereka justru sangat sekuler.

Bertolak dari itu, saya menyarankan terutama bagi sahabat-sahabat NU agar mampu menempatkan diri dalam kompleksitas politik ini secara lebih hati-hati. Setelah terbitnya Perppu No. 2/2017, HTI pada dasarnya melemah, meski ideologinya tidak mungkin musnah. Menyerang terus-menerus mereka justru bisa menimbulkan serangan balik yang tidak perlu. Tugas NU telah selesai dengan terbitnya perppu tersebut. Presiden Joko Widodo tidak akan menerbitkan perppu itu jika tidak ada desakan dari NU. Selanjutnya silakan aparat negara dan kelompok-kelompok lainnya mengambil peranan yang lebih nyata.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top