Peringatan haul Gus Dur ke-14, 16 Desember 2023, kemarin terasa menarik dan kontekstual. Pertama-tama adalah karena Dr. Karlina Supelli menampilkan orasi kebangsaan dengan teks yang terjaga. Mirip dalam sebuah seminar akademik, Bu Karlina memperlihatkan secara detail momen-momen Gus Dur menyelamatkan demokrasi di awal tahun-tahun Reformasi. Saat itu demokrasi masih sangat muda, sehingga upaya untuk menggoyangnya terlihat kasat mata. Akan tetapi, situasi tersebut sekarang rasanya kembali. Menjelang Pemilu 14 Februari 2024 nanti, pranata demokrasi seperti dipreteli oleh penguasa dengan cara-cara yang mengingatkan kita pada era ketika Reformasi baru saja dimulai.
Saya senang dengan tema yang diangkat oleh Bu Karlina karena selama ini pembicaraan mengenai Gus Dur dibatasi hanya pada masalah toleransi antar umat beragama atau antara mayoritas dan minoritas kultural. Perjuangan Gus Dur menegakkan demokrasi dalam pengertian yang luas agak terabaikan. Kritik Gus Dur terhadap kekuasaan Soeharto di era akhir Orde Baru hampir terlupakan. Oleh karena itu, banyak orang seolah terkaget dengan sejumlah langkah Presiden Jokowi akhir-akhir ini yang membawa demokrasi kembali ke dalam krisis.
Bu Karlina secara tepat menyebut adanya keterlenaan kita terhadap “watak” kekuasaan. Ketika 2019 kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan, saya termasuk orang yang saat itu secara polos mengira yang terjadi adalah “Talibanisasi”. Selama bertahun-tahun pikiran kita dikeruhkan oleh asumsi-asumsi Islam-politik fobia, seakan-akan itulah ancaman terhadap demokrasi yang sesungguhnya. Kenyataannya demokrasi diciutkan dari dalam oleh mereka yang secara formal justru diberi mandat untuk menjaga dan menjalankannya.
Akan tetapi, sejak awal demokrasi memang memberi celah pada kompromi. Oleh Gus Dur, demikian Bu Karlina menjelaskan, celah ini diisi oleh sebuah prinsip moralitas politik tentang batas-batas kompromi. Ada hal yang bisa dikompromikan, tetapi ada hal yang tidak bisa. Cukup adalah cukup. Karena itu, Gus Dur, kita tahu dari sejarah, dilengserkan bahkan oleh orang-orang yang awalnya adalah bagian dari koalisinya.
Yang sekarang hilang adalah batas-batas kompromi itu. Sejak Presiden Jokowi menarik Prabowo Subianto ke dalam pemerintahan, sejak itu pula batas-batas kompromi dalam demokrasi dilewati begitu saja. Dalam demokrasi tanpa kawan dan lawan, penguasa bisa leluasa mewujudkan “watak” aslinya. Dalam situasi ini, menjadi warga negara yang baik dan menjadi orang yang baik seperti dibahas oleh Bu Karlina dikacaukan pengertiannya. Implikasinya, orang yang baik bisa tiba-tiba dianggap warga negara yang buruk hanya karena mengkritik kekuasaan, sebuah fenomena yang belakangan semakin dinormalisasi.
Masalahnya, kaum muda dijauhkan dari sejarah. Mereka tidak lagi mengetahui apa yang terjadi pada tahun 1998. Transisi politik dari Orde Baru ke orde-orde setelahnya yang dilatarbelakangi oleh kerusuhan etnis dan penculikan aktivis sekarang tidak lagi dikenali oleh mereka yang secara salah kaprah disebut generasi “Z” dan sejenisnya. Sementara semua narasi itu terdengar seperti asing, kaum muda malah dijejali dengan kesan-kesan dari media sosial yang dangkal dan lucu-lucuan.
Oleh karena itu, politik yang seharusnya merupakan panggilan bagi semua warga untuk memperjuangkan keadilan sekarang diturunkan statusnya menjadi sekadar ajang riang gembira. Kesadaran warga dimanipulasi oleh jargon politik “santuy” yang terbebas dari “politik identitas”. Aksi politik yang dibenarkan adalah joget-joget, seolah-olah politik adalah aktivitas melepas penat dari rutinitas keseharian yang membosankan dan memberatkan.
Kembali ke Gus Dur, Bu Karlina mengingatkan peran penting masyarakat sipil yang bersatu sebagai salah satu faktor yang berhasil meruntuhkan rezim otoriter Soeharto pada 1998. Pertanyaannya, apakah hal itu sekarang tersedia? Kalau mau lebih lugas, apakah pesantren dan NU hari ini bisa memainkan peran sebagai masyarakat sipil yang hingga tahap tertentu mempunyai otonomi dari negara dan pasar sehingga mampu kritis terhadap kekuasaan seperti di masa lalu? Pertanyaan ini mungkin terdengar romantis dan bahkan anakronistik, tetapi bukankah itu yang membuat Gus Dur dulu berhasil “menyelematkan” demokrasi?
Secara implisit peringatan haul Gus Dur ke-14 kemarin yang diisi salah satunya oleh orasi kebangsaan Dr. Karlina Supelli mengajak kita merefleksikan bahwa jangan-jangan ada yang kurang pas dalam cara kita menafsirkan Gus Dur selama ini. Penggambaran Gus Dur sebagai tokoh yang secara inheren anti-Islam politik, misalnya, mestinya ditempatkan pada situasi zaman akhir Orde Baru ketika penguasa memperalat Islam-politik sebagai pelegitimasi kekuasaan. Dalam perkembangannya, pelegitimasi kekuasaan tidak terbatas hanya pada Islam-politik, tetapi isme-isme lainnya, termasuk nasionalisme. Aspek kontekstualisasi yang terus menerus ini penting dikemukakan tidak hanya agar Gus Dur tetap relevan, tetapi juga agar Gus Dur tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membuat demokrasi berada dalam ancaman krisis seperti sekarang ini.