Serangan Israel terhadap Gaza yang telah menewaskan ribuan jiwa adalah sebuah genosida. Pernyataan yang disampaikan oleh seorang pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Craig Mokhiber, ini menimbulkan kontroversi yang membuat status kepegawaiannya berada dalam peninjauan.
Para pelobi Israel beraksi keras (Guardian, 1/11/2023). Kemarin, 2 Nopember 2023, Mokhiber akhirnya mengundurkan diri karena merasa dirinya sebagai bagian dari PBB gagal mencegah genosida di Gaza terjadi
Apa yang ditampilkan oleh, tetapi juga ditimpakan kepada, Mokhiber merefleksikan kondisi di Gaza yang sesungguhnya. Pembunuhan masal terhadap warga sipil yang dilakukan oleh tentara Israel dinormalisasi sedemikian rupa dengan dalih penumpasan terorisme. Kejahatan perang yang sedemikian nyata dibingkai dalam narasi-narasi media sebagai tindakan penegakan hukum dan keamanan. Normalisasi berjalan massif di semua matra mulai dari narasi media sosial hingga epistemologi.
Oleh karena itu, saya tidak terlalu heran dengan reaksi publik Indonesia yang terlihat tenang-tenang saja menyaksikan berita-berita mengenai Gaza. Meski ada sejumlah demonstrasi mengecam kebiadaban Israel, volumenya sangat kecil dengan skala yang sangat terbatas. Sejauh ini belum ada mobilisasi besar-besaran seperti berlangsung di beberapa negara lain, termasuk di Inggris dan Malaysia. Pernyataan keras Pemerintah Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Presiden Jokowi dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terdengar lamat-lamat, kurang mendapatkan sambutan di masyarakat. Seruan organisasi Islam, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, untuk menghentikan perang juga lewat begitu saja.
Dalam keheningan publik demikian, muncul beberapa pandangan agar kita bersikap moderat. Awalanya saya senang dengan suara yang muncul di media sosial itu, tetapi lama-lama saya menangkap ada kekeliruan yang menyesatkan. Moderat dimaknai sebagai sikap yang tidak berpihak, termasuk dalam urusan Gaza yang sudah gawat. Selain itu, ada juga pandangan yang mengatakan bahwa yang terjadi di Gaza bukan perang agama, pokoknya tidak ada yang salah dengan Yahudi atau Islam atau Kristen. Meski tidak kaget, saya tetap heran bagaimana kita menjelaskan pernyataan Perdana Menteri Israel yang menyebut penyerangan terhadap Gaza adalah tugas yang telah termaktub dalam kitab suci?
Normalisasi terhadap genosida di Gaza terbukti dengan dukungan sejumlah negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Norwegia, dan Australia, terhadap Israel. Bagi negara-negara itu, problematik utamanya adalah Hamas (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah) yang sekarang memerintah Gaza. Meski menguasai pemerintahan lewat jalur pemilihan umum, negara-negara Barat tetap menganggap Hamas adalah gerakan Islam radikal yang berbahaya, sehingga kalau ada kesempatan harus dihancurkan. Sayangnya Hamas kurang mengitung resiko itu ketika mereka menyerang Israel bulan lalu, sehingga kesempatan yang ditunggu oleh Israel dengan dukungan negara-negara Barat itu datang. Serangan Hamas menjadi dalih untuk genosida.
Kembali ke publik Indonesia, keheningan mereka dalam menyikapi Genosida di Gaza disituasikan juga oleh riuh rendah politik domestik yang menyita perhatian. Semua energi tercurah untuk meributkan siapa calon presiden dan wakil presiden mendatang. Bahkan partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang biasanya aktif mengorganisasikan aksi menentang Israel dan membela Palestian sekarang tampak kurang kelihatan. Drama elit di Mahkamah Konstitusi (MK) mengaburkan mata publik terhadap peristiwa-peristiwa internasional.
Akan tetapi, lebih dari sekadar karena situasi politik domestik, keheningan publik adalah akibat dari epistemologi moderatisme yang salah kaprah. Awalanya dirancang sebagai prinsip “jalan tengah” agar tidak terjebak pada pikiran dan aksi yang ekstrem, belakangan moderatisme berubah menjadi netral dalam pengertian filsafat Archimedian. Dalam pengertian ini, moderat terjatuh pada relativisme yang menganggap semuanya sama saja. Epistemologi ini berbahaya karena menipiskan dan menumpulkan sensitivitas etis yang bertugas untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam kasus Genosida di Gaza, kita tidak bisa menganggap Palestina dan Hamas di satu sisi dan Israel di sisi lain sama saja, sebab kedua pihak berdiri di atas ketimpangan struktural yang menopangnya. Implikasi moralnya jelas berbeda.
Jika epistemologi moderatisme yang berlagak netral tersebut diterapkan dalam kancah keagamaan, maka kita tidak bisa mengoreksi pidato Netanyahu yang terang-terangan menyebut kitab suci sebagai dalil terhadap tindakan brutal tentaranya di Gaza. Kalau jenis epistemologi serupa digunakan untuk memahami zionisme, kita tidak bisa menyingkap makna sesungguhnya di balik teks “tanah yang dijanjikan”. Bagaiamanapun, apalagi dalam perang, netralitas adalah kepengecutan.
Oleh karena itu, sikap Craig Mokhiber bisa menjadi teladan. Menyaksikan genosida di Gaza, moderatisme mestinya ditafsirkan sebagai keberpihakan terhadap warga setempat yang dibombardir tanpa ampun. Melihat rumah sakit dan kemah pengungsian dihancurkan tanpa belas kasihan, rasanya kita tidak bisa lagi percaya pada tatanan dunia sekarang. Setelah seruan PBB dan komunitas internasional lainnya diacuhkan oleh tentara Israel, kiranya jari tengah tangan kita tidak bisa lagi ditahan untuk diacungkan. Saya tahu ini adalah selemah-lemahnya iman.