Sejak pengumuman pencalonan Anies Baswedan dan A. Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden untuk pemilu presiden 2024, jagat politik Indonesia memanas. Tidak hanya di publik yang luas, peningkatan intensitas yang mengarah para perseteruan internal justru terjadi di kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Tidak lama setelah pengumuman itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, mengatakan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dipimpin oleh Muhaimin bukan representasi PBNU. Setelah itu, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang merupakan adik KH Yahya Cholil Staquf menyebutkan bahwa dirinya tidak akan memilih pasangan “AMIN” dalam pilpres mendatang.
Dalam setiap momen elektoral, meski akan selalu menjadi rebutan, suara NU tidak pernah tunggal. Oleh karena itu, survei yang mengatakan bahwa pemilih NU menyalurkan hak pilihnya ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Perindra) lalu setelah barulah itu PKB bukan hal yang mengejutkan. Yang berbeda kali ini adalah PBNU dan PKB berpisah jalan secara terang-terangan. Dinamika yang berjalan sejak Muktamar Lampung NU 2021 ini diperkuat dengan akrobat menteri agama yang membawa Erick Tohir kemana-mana dan memperkenalkannya sebagai kader NU yang akan berlaga di pilpres mendatang.
Apa yang terjadi adalah faksionalisme di NU, sesuatu yang lumrah menjelang pemilihan umum. Setidaknya sejak Pemilu 1999, warga NU pada dasarnya sudah terbiasa dengan fenomena itu dan bahkan mungkin tidak peduli lagi. Identitas ke-NU-an masih memainkan peranan, tetapi dalam praktik politik hal itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak ditopang oleh mobilisasi dan uang. Dampaknya pada pemilihan legislatif di satu sisi dan pemilihan presiden atau kepala daerah di sisi yang lain juga berbeda. Persis pada titik inilah kampanye anti-politik identitas menjadi tidak efektif dan bahkan kontraproduktif. Bagaimana kita bisa menghindari politik identitas di era sekarang karena saat mengkampanyekan anti-politik identitas kita sebenarnya secara otomatis sedang mengkampanyekan anti-identitas–sesuatu yang juga problematik?
Lepas dari faksionalisme tersebut, pencalonan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mengejutkan jagat Islam politik. Istilah “Islam politik” sendiri yang sering ditafsirkan secara sumir kini akan mendapatkan pemaknaan baru. Jika sebelumnya ia melulu diasosiasikan dengan ide negara Islam atau formalisasi syariat, maka sekarang istilah itu akan mengalami perluasan makna. Tentunya ini adalah harapan mengingat Anies dan Muhaimin adalah figur-figur yang selama ini selalu dibayangkan berasal dari dua kubu Islam yang berseberangan.
Sebagaimana sering diulas, Islam Indonesia terdiri dari dua kubu besar yang sering berseteru terutama dalam politik, yaitu kelompok modernis dan tradisionalis. Bahkan setidaknya dalam dua dekade terakhir, perseteruan di antara mereka kadang dilabeli dengan sebutan liberal vs. progresif atau moderat vs. konservatif. Dalam hal ini, jika Anies dianggap mewakili suara Muslim modernis, maka tidak diragukan lagi Muhaimin adalah salah satu politisi kuat di kalangan Muslim tradisionalis. Terlebih jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi bergabung, harapan akan adanya transformasi Islam politik semakin terbentang di hadapan.
Peran Muhaimin sangat krusial, selain tentu saja Surya Paloh yang menyutradai prosesnya sejak awal. Meski jelas bukan representasi PBNU, Muhaimin adalah darah biru NU. Semua orang tahu NU adalah kelompok Islam moderat yang paling besar di negeri ini, bahkan di dunia. Label moderat adalah kartu hidup dalam politik kontemporer. Anies dan PKS akan menerima keuntungan dari sini mengingat adanya stempel konservatif terhadap mereka selama ini. Lantunan mars Syubbanul Wathan di kantor PKS berimplikasi luas dan bermakna besar. Secara elektoral efek ekor jas terutama bagi PKS adalah potensi yang bisa digarap maksimal.
Jadi rekrutmen Muhaimin bukan sekadar untuk memenangkan suara NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah, melainkan juga untuk membersihkan persepsi konservatif yang melekat pada Anies pasca-Pilkada DKI Jakarta dan PKS. Para pemilih yang masih gamang bisa direbut orientasi politiknya, terutama generasi milenial yang belum terpapar polarisasi identitas yang mendalam. Ibarat kata, bahan baku untuk kampanye sudah tersedia, tinggal eksekusinya nanti bagaimana.
Di sisi lain, perubahan orientasi terjadi secara cukup massif di kubu Islam modernis. Sebelumnya mereka terlihat skeptis dan bahkan sinis terhadap sosok Muhaimin, tetapi sekarang–setidaknya dari pantauan terbatas saya di media sosial–mereka mulai terbuka. Persepsi mereka mengenai PKB dan khususnya lagi NU berubah secara perlahan. Yang mengemuka adalah ukhuwah Islamiyah, sebuah visi yang tidak jarang dikontraskan dengan ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah.
Bagi saya, konstelasi baru ini sangat menarik karena menantang berbagai analisis klise mengenai Islam politik. Sudah saatnya Islam politik tidak lagi mengacu pada kelompok modernis, tetapi juga kelompok tradisionalis. Yang lebih penting lagi, tiba waktunya untuk memaknai Islam politik bukan dalam pengertian yang melulu negatif, seolah-olah hanya berurusan dengan ide negara Islam atau formalisasi syariat. Islam politik adalah paham dan gerakan politik–seperti juga paham dan gerakan politik kaum nasionalis sekuler–yang memiliki tempat dan hak tidak hanya di ranah privat, tetapi juga di ruang publik. Demokrasi Indonesia akan lebih diperkaya oleh kebhinekaan ini.