Sedang Membaca
Arah Baru Konservatisme Moderat MUI: Mau ke Mana?
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Arah Baru Konservatisme Moderat MUI: Mau ke Mana?

Terpilihnya KH Miftachul Akhyar dan, sebaliknya, tersingkirnya sejumlah figur lainnya, seperti Din Syamsuddin, Bachtiar Natsir, dan Teuku Zulkarnain, menandai arah baru perjalanan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Setidaknya itulah harapan yang terungkap dari beberapa kalangan di media sosial. Jika sebelumnya MUI dikenal sangat konservatif, apakah kepemimpinan Kiai Miftach bisa mengubah itu? 

Istilah konservatif itu sendiri mengandung problematik. Meski ia berasal dari kata Latin conservare yang berarti memelihara atau menjaga, kaum liberal memandangnya sebagai kekolotan atau bahkan keterbelakangan. Pengertian yang cenderung merendahkan itu bisa mengaburkan dimensi-dimensi yang terkandung dalam fenomena konservatisme, khususnya di bidang keagamaan. 

Sementara itu, MUI sendiri didirikan pada 1975 sebagai bagian dari usaha pemerintah Orde Baru untuk merangkul—kalau enggan menggunakan kata menjinakkan—umat Islam. Oleh karena itu, hingga 1998 organisasi tersebut dianggap hanya tukang stempel penguasa. Setelah Orde Baru kolaps, secara drastis MUI berupaya mengubah anggapan atau kesan itu. Dalam hal ini peran Din Syamsuddin harus diakui sangat sentral. Duduk dalam berbagai posisi mulai dari sekretaris hingga ketua dewan pertimbangan, dia berhasil mengubah wajah MUI dari sebagai tukang stempel penguasa menjadi tukang kritik penguasa. 

Selain itu, MUI sering dipahami sebagai semacam federasi organisasi-organisasi Islam. Lagi-lagi kesan ini terutama muncul setelah Orde Baru ketika para pimpinan MUI memang kebanyakan berasal dari NU, Muhammadiyah, dan organisasi-organisasi lainnya. Terpilihnya Kiai Miftach bisa juga dibaca berdasarkan pemahaman ini.

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (9): Ketika Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Buya Hamka Bicara MUI

Akan tetapi, dua hal tersebut, yaitu (1) relasi MUI dan pemerintah dan (2) relasi MUI dan organisasi-organisasi Islam lainnya, sekarang menghadapi tantangan karena adanya sosok KH Ma’ruf Amin. Sebagai wakil presiden pada satu sisi dan sebagai mantan Ketua Umum MUI serta mantan Rais Aam PBNU pada sisi lainnya membuat posisinya sangat dominan. Oleh karena itu, jajaran pengurus di bawah Kiai Miftach diketahui adalah orang-orang dekatnya Kiai Ma’ruf. Kalau demikian halnya, lalu apa yang baru dari kepengurusan MUI kali ini? 

Kembali ke soal konservatisme, menarik apa yang dikatakan Ulil Abshar Abdalla menanggapi kepengurusan MUI di bawah Kiai Miftach sekarang. Di Twitter secara implisit dia mengakui bahwa konservatisme dan MUI (bahkan agama) sudah seperti dua sisi dari satu keping mata uang. Pertanyaannya, konservatisme seperti apa? Ulil lalu membagi dua jenis konservatisme: konservatisme moderat dan konservatisme non-moderat. Kiai Miftach dan jajaran pengurus baru MUI disebutnya sebagai konservatif moderat, sedangkan mereka yang tersingkir bisa dikatakan sebagai konservatif non-moderat. 

Tipologi konservatisme moderat versus konservatisme non-moderat menarik disimak. Tipologi ini saya kira memperluas dimensi-dimensi dalam konservatisme yang selama ini kita (khusunya kaum liberal) pahami. Tipologi ini juga memperlihatkan bahwa dalam pengertiannya yang asali konservatisme merupakan hal yang inheren dalam tradisi agama. Bukankah salah satu idiom penting di kalangan NU mengatakan bahwa “al-mukhafadhatu ‘ala qadim ash-sholih” (merawat atau menjaga tradisi lama yang baik) sama pentingnya dengan “wal akhdu bil jadid al-ashlah” (mengambil tradisi baru yang lebih baik)?

Baca juga:  Riwayat Buya Hamka, Ulama Multitalenta

Bagi saya, tipologi lama yang selalu menggambarkan perseteruan antara liberal dan konservatif sudah ketinggalan zaman. Tipologi yang sangat digdaya dalam dunia akademis modern, termasuk kajian-kajian mengenai MUI, itu terlalu bias-Barat. Dalam konteks Islam, khususnya Islam di Indonesia, tipologi yang dikotomis tersebut seringkali tidak membantu memahami dan apalagi mengubah apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. 

Para pengamat dari Barat umumnya suka menggunakan tipologi konservatif vs. liberal untuk menggampangkan permasalahan. Ketika membaca perkembangan Islam di Indonesia terkini, mereka biasanya menggambarkan adanya penguatan koservatisme dan pelemahan liberalisme. Tetapi apa yang kemudian bisa dilakukan—oleh siapapun—setelah penggambaran seperti itu terbit di jurnal-jurnal akademis? 

Oleh karena itu, terpilihnya Kiai Miftach adalah momen yang tepat untuk menguji ulang pemahaman kita mengenai MUI itu sendiri, terutama mengenai anggapan atau kesan konservatif yang selalu dilekatkan kepadanya. Masalah relasi MUI dan pemerintah serta relasi MUI dan organisasi Islam lainnya tentu saja akan terus membayangi. Bagaimanapun, komentar Kiai Said Aqil Siroj yang pada suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa “NU bukan bawahannya MUI” penting diperhatikan. Komentar ini menarik karena bukankah sekarang baik NU maupun MUI berada di tangan yang sama?

Kita semua berharap Kiai Miftach dan Kiai Ma’ruf Amin yang berhasil mendudukkan orang-orang dekatnya di jajaran kepengurusan MUI periode 2020-2025 bisa menjawab pertanyaan itu. Selamat bertugas, Kiai!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top