Ternyata #DiRumahAja membuat kita kreatif. Salah satunya adalah munculnya bayangan mengenai kemungkinan akan adanya perubahan besar-besaran tatanan dunia dari kapitalisme ke sosialisme. Sekilas kemungkinan ini terasa masuk akal, selain terdengar sangat etis, tetapi benarkah demikian?
Harus diakui dunia yang kita tempati sekarang memang tidak adil. Ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh pengaturan neoliberal sungguh menyesakkan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tambah miskin. Dalam situasi kegalauan seperti ini, apakah “sosialisme” (saya tulis dengan tanda petik) adalah sebuah solusi?
Kalau saya coba pahami, tesis utama dari mereka yang membayangkan sosialisme sebagai solusi adalah kembalinya negara. Di tengah kekacauan ekonomi politik yang ditimbulkan oleh covid-19, negara diharapkan menjadi malaikat sejarah yang menyelamatkan umat manusia. Satu-satunya penunggang kuda di hari kiamat, kalau mengikuti ilustrasinya Martin Suryajaya, adalah negara.
Tesis mengenai kembalinya negara telah digaungkan lama, bahkan sejak neoliberalisme menjadi hegemonik pada tahun 1980-an. Saya ingat sebuah buku yang sangat populer pada masa itu, Bringing the State Back In, yang dieditori oleh Peter Evans, Rueschemeyer, dan Theda Skocpol. Buku yang merupakan benteng pertahanan terakhir kaum strukturalis Amerika Serikat di era Reagen ini mau menunjukkan bahwa, berbeda dengan asumsi neoliberal, negara justru adalah malaikat sejarah yang berhasil membawa kesejahteraan bagi umat manusia pasca-Perang Dunia II.
Sekarang tesis ini kembali digaungkan, tetapi dengan perasaan yang jauh lebih mencekam. Seolah-olah kalau negara tidak mengambil alih peranan, dunia akan ambyar oleh “multitude” covid-19 yang kecil tapi banyak. Pertanyaannya, siapa dan bagaimana sosok negara di awal dekade kedua abad ke-21 ini?
Sebelum menjawab itu, mari kita putar balik ke tahun 1930-an. Saat itu terjadi depresi besar yang meluluhlantakkan tatanan ekonomi kapitalisme liberal. Tetapi, sebagaimana ditulis oleh Karl Polanyi dalam The Great Transformation, untunglah muncul “double movement” yang berusaha menyeimbangkan tarikan marketisasi dengan proteksi sosial. Ekonomi dipaksa “ditanam” kembali dalam masyarakat. Dari sini lahirlah negara kesejahteraan yang menandai peralihan dari tatanan kapitalisme liberal ke kapitalisme negara. Loh, kok malah kembali ke kapitalisme (meski ada embel-embel negaranya)? Mengapa tidak bertaubat memeluk sosialisme? Karena, jawabannya, kalau saat itu memilih memeluk sosialisme, maka resiko terjatuh pada komunisme a la Soviet atau fasisme a la Jerman sangat tinggi. Negara-negara Barat tidak mau mengambil resiko itu.
Sekarang, di awal tahun 2020, saya melihat adanya resiko yang sama jika kita menggaungkan kembali tesis kembalinya negara tanpa sikap kritis. Ketika membayangkan sosok negara masa kini, maka yang terbayang di benak saya adalah Trump di AS, Putin di Rusia, Erdogan di Turki, Muhammad bin Salman di Arab Saudi, atau bahkan Jokowi di Indonesia. Apakah sosialisme berarti kita menyerahkan harapan kepada sosok-sosok populis tersebut atau bagaimana?
Dengan kata lain, sosialisme pada tahun 1930-an mempunyai resiko terjatuh pada komunisme atau fasisme, maka sosialisme pada tahun 2020-an mempunyai resiko terjatuh pada populisme! Dan, ingat, populisme yang dimaksud di sini adalah populisme kanan yang mengandalkan sentimen agama, etnis, hingga nasionalisme yang eksesif sebagai legitimasi politik di tengah letoynya demokrasi liberal yang berbasis elektoral.
Selain itu, sementara industri manufaktur, pasar saham, hingga perdagangan komoditas terlihat sedang sekarat, komunikasi digital di antara umat manusia sejagat raya tetap berjalan. Ini artinya, meski sejumlah modus produksi kapitalisme neoliberal berada di ambang kematian, modus reproduksinya tetap bertahan memelihara kewarasan. Dalam situasi ini, pusat dari tatanan dunia adalah rumah dan keluarga, bukan negara. Bahkan penggaungan tesis kembalinya negara dilakukan #DiRumahAja, bukan di gedung parlemen atau, apalagi, jalanan. Jadi, kalaupun sosialisme harus kita anggap bukan lagi kemungkinan teoretis, maka sosialisme yang akan datang menyelamatkan kita pasca-corona adalah sosialisme rumahan.
Ini tulisan apa sih maksudnya? Bikin istilah seenaknya, sosialisme rumahan, makanan apa lagi itu?