Tradisi merupakan penilaian/anggapan bahwa laku-laku yang sebelumnya sudah terbentuk yang dianggap kebenarannya valid. Dalam definisi lain, tradisi juga diartikan sebagai adat kebiasaan yang diwariskan kepada anak cucu secara temurun oleh nenek moyang, kemudian tetap dijalankan dalam kehidupan masyarakat tertentu.
Tradisi dan masa lalu harus memiliki hubungan lebih dekat. Pada hakikatnya, makna tradisi juga mencakup keberlangsungan kehidupan masa lalu yang bertahan hingga kini, daripada hanya mendefinisikan secara praktis dengan fakta-fakta bahwa tradisi yang ada saat ini bersumber dari masa lalu. Artinya, tradisi merupakan warisan, masih ada hingga sekarang, dan produk peninggalan masa lampau.
Kata lain tradisi yang memiliki kemiripan makna yaitu budaya. Dalam pengertian lain, tradisi juga dibahasakan sebagai adat istiadat. Terdapat dua hal yang sangat berkaitan dengan tradisi, yaitu karakter dan kondisi geografis. Seluruh tradisi merupakan sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Seiring berkembangnya zaman, tradisi bisa saja turut mengalami perubahan, karena sifatnya dinamis.
Namun, tradisi juga bisa juga ditransformasi atau diubah sesuai kehendak dan kesepakatan bersama yang berkompeten atasnya. Secara terminology, tradisi berasal dari tradition, yang juga dalam dunia bahasa Arab disamakan dengan lafadz ‘adah. Dalam realitas kehidupan, masyarakat senantiasa membentuk proses sosial dan interaksi, yang nantinya menumbuhkan norma-norma dalam suatu kelompok dan pada akhirnya melembaga, juga tampil sebagai struktur sosial dalam suatu kelompok tersebut.
Lalu, dalam pandangan kuat Clifford Geertz, budaya atau tradisi pada dasarnya ditunjang oleh suatu aliran kemanusiaan yang luas, artinya semakin lama/seiring berkembangnya zaman maka akan semakin dinamis. Dalam dunia Islam, tradisi menurut Ulama dari Saudi Arabia bernama Syaikh Shalih bin Ghanim al-Sadlan, sebagai berikut:
“Dalam kitab Durar al-Hukkam Syarh Mujallat al-Ahkam al’Adliyyah berkata: “Adat (tradisi) adalah suatu yang menjadi keputusan banyak orang dan diterima oleh orang-orang yang memiliki karakter yang normal.” (al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa ma Tafarra’a’anha: 333).
History Islam Melebur dengan Budaya Nusantara
Penting juga mengetahui bagaimana tradisi tahlilan bisa dikonstruk menjadi sebuah tradisi bernuansa Islam di Indonesia. Dari sejarah masuknya islam ke tanah Jawa, peran para Walisongo memiliki kemiripan dengan zaman ketika Rasullullah saw memulai dakwah di Arab, dimana kondisi penduduk sebelumnya memiliki keyakinan dan tradisi-budaya yang telah mengakar kuat.
Khususnya di pulau Jawa, jauh sebelum Walisongo datang, kepercayaan dan agama lokal menjadi identitas tersendiri. Terlebih tradisi yang kaitannya dengan kematian, kemudian diadakannya selamatan dan ritual lainnya. Para Wali sangatlah bijak dan cerdik dalam membaca situasi keberagamaan masyarakat Jawa waktu itu. Justru lahirnya produk Islam Nusantara adalah hadirnya peran Walisongo yang menjadi ciri khas model keislaman Nusantara yang memadukan unsur Islam dan budaya.
Seperti halnya tradisi memperingati kematian dan selamatan yang sebelumnya merupakan tradisi yang dominan Hindu Jawa, kemudian dikonstruk menggunakan pendekatan akhlak al-karimah dan menyuguhkan nilai-nilai keislaman dengan mengedepankan motode budaya-kultural. Lambat laun seiring berkembangnya syiar islam dan tanpa menghapus unsur budaya sebelumnya inilah yang menjadikan tradisi memperingati kematian memiliki keunikan tersendiri. Sebelumnya identik dengan bacaan ala Hindu lokal, diganti dengan kalimah thayyibah berunsur Islam.
Hal ini serupa dengan Nabi Muhammad saw ketika menghadapi masyarakat Arab yang mewarisi suatu kepercayaan, adat istiadat, tradisi leluhur, terutama eksistensi Ka’bah. Bagitu pula tradisi dan budaya yang ada sangkut pautnya dengan masalah ketauhidan. Rasulullah pun juga menghargai dan memberikan toleransi terhadap tradisi dan budaya sebelumnya asalkan tidak bertentangan serta merusak sendi-sendi ketauhidan Islam sendiri.
Tahlilan Sebagai Identitas
Akar kata tahlilan secara bahasa sendiri berasal dari bentuk masdar dari fiil madly, yaitu hallala-yuhallilu-tahlilan, dengan kandungan arti “ekspresi keriangan” atau “ekspresi kesenangan”. Tahlilan juga disebut sebagai kegiatan membaca kalimah thayyibah, yang diantaranya merapalkan laa ilaaha illa allah (tiada Tuhan selain Allah). Dalam istilah yang biasa dimengerti, arti kata tahlilan yaitu “membaca serangkaian ayat-ayat al-Qur’an pilihan, beberapa pilihan kalimah dzikir, diawali bacaan al-Fatihah yang niatnya untuk mendoakan kerabat yang sudah meninggal oleh keluarga atau jamaah tahlil yang nantinya ditutup dengan pembacaan doa dan surat al-Fatihah kembali”.
Jika ditinjau dalam ilmu Balagah, dikenal sebagai Majaz min itlaq wa iradt al-kul, yang berarti menyebut sebagian, namun yang dimaksudkan yaitu keseluruhan. Pada umumnya dilaksanakan secara berjama’ah. Hakikat dari tahlil sendiri yaitu memohon doa kepada Yang Maha Kuasa supaya amalan yang dibaca seperti dzikir dan surat al-Qur’an pilihan bisa sampai kepada mendiang yang dituju, dan memohon kepada Allah SWT untuk senantiasa mengampuni dosa-dosa mereka.
Dengan demikian, tradisi ini memiliki tujuan yang jelas dan tidak ada unsur yang bathil sama sekali. Sesuai dengan pendefinisian di atas, tahlilan merupakan ritual/tradisi atau juga bisa disebut ceremonial yang sudah begitu membumi khususnya di Jawa. Kegiatan ini juga merupakan amaliah yang kerap kali diamalkan oleh organisasi sosial keagaman Nahdlatul Ulama (NU) sebagai mayoritas muslim di Indonesia, didirikan oleh Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari. Tokoh agama yang begitu kharismatik dan dihormati di tanah Jawa (Nusantara).
Sebuah keniscayaan, jika masyarakat NU acap kali menyelenggarakan tradisi tahlilan. Baik itu mulai hari pertama seusai meninggal, sampai hari ketujuh, kamudian hari ke-40 setelah meninggal, lalu hari ke-100, dan seribu hari setelah meninggal. Adanya tradisi ini dulunya juga dilestarikan oleh para Sahabat yang hingga kini juga dipraktikkan, baik itu di kalangan masyarakat, di pesantren, dan di acara keorganisasian yang berada dalam naungan NU.
Tradisi tahlilan pula identik juga disandingkan dengan istilah tradisi Yasinan. Bahkan dalam dunia pesantren salaf, demikian menjadi amalan keseharian para santri. Kegiatan semacam ini sudah biasa dilakukan oleh jamaah NU baik yang bearifiliasi di pesantren maupun lingkup masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dengan begitu, tahlilan dan yasinan selain di dalamnya terdapat perintah kebaikan (thayyibah) yang dianjurkan agama, juga menjadi corak tradisi-budaya tersendiri muslim Nusantara. Hal ini disunnahkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat, bahwa dalam unsur tahlil terdapat bacaan takbir, ayat-ayat Qur’an, tasbih, tahmid, doa-doa pilihan, seholawat, kemudian diawali dan ditutup dengan surah al-Fatihah.