Sampai hari ini, dari mana asal Jalaluddin Rumi masih diperebutkan. Orang Iran membangun narasi bahwa Rumi dari Iran, karena Rumi menulis dalam bahasa Persia, orang Afganistan mengaku Rumi dari Afganistan karena dia lahir di Belkh, sebuah kota yang hari ini masuk dalam wilayah geografis Afganistan, Orang Tajikistan menyebutnya sebagai orang Tajik karena ayah Rumi berasal dari kota Vahs, di Tajikistan, sementara orang Turki mengklaim Rumi dari Turki karena ia meninggal dan makamkan di Konya, Turki.
Sebetulnya untuk menjawab pertanyaan ini cukup mudah, yaitu dengan merujuk pada sumber utama karya-karya Rumi. Dalam sebuah Ruba’i-nya, misalnya, dia secara ekplisit mengungkapkan afiliasinya dengan Turki. Meski demikian, sebagaimana telah saya utarakan di atas, beberapa negara bersikukuh bahwa Rumi adalah leluhur dari bangsanya.
Iran adalah salah satu negara yang berjuang sangat keras untuk menisbatkan Rumi kepada negaranya. Usaha mengklaim nama-nama besar sebagai tokoh dari Iran sebenarnya tidak hanya untuk Rumi. Nama-nama seperti filosof terkenal Sihabuddin Suhrowardi dan Ibnu Sina juga diklaim sebagai tokoh Iran, hanya karena keduanya menulis dalam bahasa Persia. Padahal yang pertama adalah dari Turk Azeri (Azarbayjan), sementara yang kedua Turk Uzbek (Uzbekistan).
Lalu apakah masalah ini penting untuk dibahas, bukankan pengetahuan itu tidak memiliki negara atau tidak bisa diklaim oleh negara tertentu? Jawabannya benar. Pengetahuan tidak memiliki negara, tapi ilmuan memilikinya. Begitu juga dengan Rumi.
Dari Balkh ke Konya
Meminjam istilah Namik Kemal (w. 1888), kota Balkh, tempat tinggal nenek moyang Rumi dan tempat ia dilahirkan, adalah kota kuno di wilayah yang disebut Turkistan-ı Kebir (Turki besar). Struktur etnis kota ini antara abad X-XIII adalah Turki. Bahasa lisan yang digunakan secara luas di masyarakat juga bukan bahasa Persia, tetapi bahasa Turki degan dialek Hakani. Keluarga Rumi datang ke Erzincan, Karaman hingga sampai ke Konya, sebuah pusat Turki kono di Anatolia, yang oleh Namık Kemal disebut “Turkistan“. Dengan demmikian, sebenarnya Rumi hanya berpindah dari satu kota ke kota lain di wilayah Turkistan.
Beberapa sumber menunjukkan alasan kepergian keluarga Rumi dari Balkh adalah ketidaksepakatan Bahaeddin Valid, ayah Rumi, dengan teolog dan filsuf terkemuka Fahreddin Razî (w. 1210). Namur argumentasi ini belakangan ditolak oleh Helmut Ritter (w. 1971), menurutnya, Razi meninggal tiga tahun sebelum Bahaeddin Valid meninggalkan Balkh dan tidak ada informasi dalam sumber manapun bahwa Razi datang ke Balkh (Cağtay, h.37).
Sultan Walid, putra dari Rumi, dalam karyanya “Ibadetname” mengungkapkan bahwa alasan kepergian kakeknya dari Belkh adalah karena ia marah kepada penduduk Balkh, tapi Walid tidak memberikan penjelasan apa penyebab kemarahan kakeknya. Alasan lain kepergian kakeknya adalah invasi Mongol ke wilayah tersebut. Masih dalam sumber yang sama, Sultan Walid menceritakan bahwa ketika tentara Mongol berhasil mengusai kota Balkh, kakekanya sudah di perjalanan meninggalkan kota tersebut.
Informasi yang disampaikan Sulatan Walid senada dengan fakta sejarah, bangsa Mongol berhasil memasuki Balkh pada 1218, sementara keluarga Rumi kemungkinan meninggalkan Balkh pada 1217. Terlepas dari alasan kepergian keluarga Rumi dari Balkh ke Konya, sejarah menunjukan bahwa perjalanan itu tidak lebih adalah sebah perjalanan antar kota, yang keduanya masih dalam wilayah Turkistan-ı Kebir.
Rumi Berbicara dalam Bahasa Turki
Meskipun keluarga Rumi menguasai bahasa Persia, tetapi sebagai penduduk Balkh mereka adalah penutur bahasa Turki dengan dialek Hakani. Memang dialek bahasa Turki Hakani berbeda dengan dialek di Anatolia. Perbedaan dialek ini yang membuat keluarganya merasa terasing di Karaman. Dalam Ruba’i-nya, ia menurutkan;
“Kalian jangan memanggap saya sebagai orang asing, di wilayah kalian saya mencari rumah saya. Meskipun saya terlihat seperti musuh, saya bukanlah seorang musuh. Meskipun saya menulis dalam bahasa Persia, sejatinya saya adalah orang Turki”.
Dengan mengatakan bahwa meskipun dirinya menulis dalam bahasa Persia, tetapi aslinya orang Turki, sebetulnya cukup untuk menjadi jawaban pertanyaan meraka yang menyoal dari mana Rumi berasal. Memang di sini ada kesan bahwa Rumi tidak diterima oleh masyarakatnya sebagai orang Turki, sehingga menuntutnya untuk menjalaskan ihwal ini. Perlu diketahui, orang Turki memperlakukan mereka yang tidak satu suku seperti orang asing. Apalagi melihat fakta bahwa Rumi datang dari Timur, yang meskipun berbahasa Turki tetapi dengan dialek yang berbeda (Baykara, h.433).
Selain itu, kemampuan bahasa Turki Rumi juga bisa dilacak dalam Ruba’i-nya. Di beberapa tepat dia menngunakan kata-kata dalam bahasa Turki seperti güzel (indah), yakışıklı (tampan), hoş (baik). Pengunaan kata-kata ini tertu juga dimaksudkan oleh Rumi sebagai jawab atas sikap masayarakatnya yang menganggap dia sebagai orang asing.
Mengapa Rumi Menulis dalam Bahasa Persia?
Perlu diketahui, daulah Seljuk adalah negara yang didirikan oleh bangsa Turki di wilayah Iran kemudian ia bergerak ke arah utara sampai menemui masa ke-emasannya di Konya, Turki. Karenanya ada banyak sekali budaya dan tradisi Iran dalam negara tersebut. Menurut Koprulu, pengaruh Iran telah menyatu dengan tradisi Turki kuno dalam masyarakat Seljuk (Koprulu, h.193). Sementara itu, menyikapi perkawinan budaya Turki dengan Iran di masa lalu, Ogel berpendapat bahwa hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan masyarakat Turki untuk mempelajari tradisi peradaban di sekitarnya, dan Turki selalu menunjukan keberhasilan tersebut (Ogel, h.3).
Contoh dari argumentasi Ogel bisa dilihat dari perkawinan budaya Turki dengan Arab. Meskipun Turki mengalahkan Arab dan Persia, tetapi Turki yang dipengaruhi oleh kedua budaya tersebut, bukan sebaliknya. Di banyak wilayah Turki kuno (Seljuk), bahasa Arab telah menjadi bahasa pendidikan, dan Persia menjadi bahasa negara. Sementara bahasa Turki hanya menjadi bahasa yang digunakan oleh masyarakat umum. Di zaman Rumi, seorang elit berdoa kepada Tuhan dalam bahasa Arab, menulis petisi kepada negara dan puisi untuk kekasihnya dalam bahasa Persia, menempuh pendidikan dengan bahasa Arab, dan berbicara kepada publik dalam bahasa Turki.
Dengan fakta ini, bukan hal yang aneh jika Rumi menulis dalam bahasa Persia, bukan bahasa Turki, dan ini sama sekali tidak mengurangi ke-Turkian Rumi. Hal yang sama juga dilakukan oleh para penulis lain. Mereka kebanyakan menulis karya mereka dalam bahasa Persia. Karena pada saat itu bahasa Persia telah berkembang dengan baik dan mampu mengekspresikan kelembutan, kedalaman dan kekayaan perasaan dan pikiran.
Jika Rumi harus menulis dalam bahasa Turki, dapat dipastikan tulisannya tidak bisa diterima oleh masyarakat. Selain itu, bahasa Turki yang dikuasai oleh Rumi adalah dialek Hakani, yang tidak digunakan di Anatolia. Meskipun demikian, kita juga bisa melacak beberapa tulisan Rumi yang disajikan dalam basa Turki, tentu tidak banyak. Dalam Diwan al-Kabir misalnya, di beberapa bagian Rumi menulis puisinya dalam bahasa Turki (dialek Hakani) (Diwan al-Kabir, Gölpınarlı, s.532).
Singkatnya, Rumi lahir dan besar dalam keluarga Turki, berbahasa Turki, berkelana dengan keluarganya dari satu kota ke kota lain di Turki. Tidak ada alasan untuk mengatakan ia adalah orang Iran, Afganistan atau Tajikistan. Wallahua’lam.