Tanggal 21 Agustus, Kementerian Agama (Kemenag) telah melakukan terobosan kultural paradigmatik yang radikal yaitu memberikan penghargaan kepada Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, atas inisiasinya melawan pandemi Covid-19 melalui pendekatan sains dan spiritual. Khofifah dianggap satu-satunya Gubernur yang menggunakan cara-cara spritual berupa doa, wirid dan shalawat yang dipadukan dengan pendekatan sains dan teknologi untuk menghadapi penyebaran wabah Covid-19.
Penulis memandang ini sebagai terobosan radikal, karena memberikan apresiasi terhadap gerakan spiritual, sesuatu selama ini diabaikan dan ditinggalkan karena dianggap bertentangan dengan akal. Padahal spiritualitas merupakan bagian dari khazanah sistem pengetahuan Nusantara. Apa yang dilakukan Kemenag ini merupakan langkah strategis untuk mendamaikan pertikaian antara sains yang rasional-positifistik dengan spiritualitas yang non positifisitik. Sebagaimana kita ketahui, selama ini hubungan antara sains dan spiritual selalu kontradiktif dan saling menegasikan. Gerakan spiritual selalu dipandang pejoratif karena dianggap tahayyul, mistik dan bertentangan dengan akal bahkan dianggap mengotori agama. Penghargaan ini melawan semua padangan negatif tersebut, inilah yang penulis sebut radikal. Apa yang dilakukan Kemenag merupakan langkah penting dalam membangun kebudayaan Nusantara.
Para pemikir Nusantara seperti M. Nasroen M. Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, Sosrokartono, Muh Yamin, dan lain-lain menyebut bahwa konstruksi budaya Nusantara adalah pertautan antara rasionalitas dan spiritualitas. Artinya dalam falsafah Nusantara, tidak ada pertentangan antara akal dengan spiritual. Keduanya merupakan fondasi terbentuknya kebudayaan yang melahirkan sains, teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal ini bisa dilihat pada konsep pengetahuan yang dibangun oleh falsafah Nusantara.
Dalam khazanah kebudayaan Nusantara pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu “ilmu” dan “ngelmu”. Ilmu adalah pengetahuan yang terkait dengan dimensi rasional material. Pengetahuan yang berdasar pada logika, akal dan bersifat saintifik, material. Karena ilmu diperoleh dengan cara mendayagunakan akal dan indra, maka produknya adalah hal-hal yang bersfat fisik dan rasional, seperti teknologi dan berbagai bentuk teori rasional-positifistik.
Ngelmu dalam khazanah kebudayaan Nusantara adalah pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin dan laku spiritual. Sebagaimana disebutkan dalam serat Wedhatam, karya Mangkunegoro IV pupuh 3 tembang Pucng:
“Ngelmu iku kelakone kanthi laku; lekase lawan kas; tegese kas nyantosani; setya budya pangekese dur angkara.” (ngilmu itu dapat dicapai dengan cara laku; dimulai dengan kemauan; arti atau makna dari kemauan adalah yang menguatkan; ketulusan budi dan usaha sebagai penakluk kejahatan) (Anjar Any, 1986).
Di sini jelas disebutkan ngelmu itu terkait dengan laku dan terkait dengan penguatan budi yang berfungsi untuk melawan kejahatan. Ini berarti ngelmu itu tidak bebas nilai, tetapi merupakan cerminan dari kekuatan etik melawan kejahatan yang berorientasi untuk mencapai kesempurnaan hidup. Bisa dikatakan bahwa ngelmu adalah puncak dari pengetahuan yaitu makrifat atau ngelmu sejati (the real knowledge of God) atau dalam istilah terkait dengan aspek esoterik.
Yang dimaksud laku adalah batiniah, atau dapat juga disebut tarekat atau suluk atau spiritual path atau spiritual journey. Laku dalam konstruksi kebudayaan Jawa juga bisa dimaknai dengan tirakat yaitu usaha/upaya secara sungguh-sungguh menahan diri, menjauhi perilaku bersenang-senang enak-enakan. Proses laku ini mendorong dan mengarahkan seseorang agar selalu bersikap positif dan menjauhi hal-hal yang bersifat negatif dan tidak bijaksana, untuk mendapatkan ngelmu demi tercapainya tujuan hidup
Dimensi spiritualitas ngelmu menurut R.Ng. Satyo Pranowo (2000; 7) memiliki empat ciri: Pertama, ngelmu bersifat spiritual (ruhaniah), berorientasi metafisik (sangkan paraning dumadi); Kedua, untuk kesempurnaan manusia (nggayuh kasampurnaning dumadi;); Ketiga, mendekatkan diri pada sang pecipta (celak, celoking Hyang Widi, momor pamoring Sawujud); Keempat, berbentuk mantra, aforisme dan ritual tertentu untuk memperolehnya. Berdasarkan cara-cara memperoleh dan nilai-nilai serta ajaran yang ada di dalamnya ngelmu bersifat sakral (wingit) yang hanya bisa dijangkau oleh orang-orang yang mampu menjalankan laku. Dalam Wedhatama, pencapaian puncak dari orang-orang yang memperoleh ngelmu adalah tercapainya cita-cita manunggal, yaitu tentang kebulatan sikap lahir batin berserah diri dan bersatu diri sepenuhnya dengan Penguasa Agung Yang Maha Tunggal, Tuhan YME.
Konstruk pengetahuan Nusantara ini sesuai dengan kerangka epitemologi yang dibangun oleh M. Abid Al-Jabiri (2004) yang mengonstruksi tiga bentuk epistemologi: Pertama, Epitemologi Bayani yaitu suatu pendekatan berpikir yang bersandar pada teks agama (wahyu). Otoritas kebenaran berada pada teks agama. Dengan demikian sumber epistemologi bayani adalah teks. Posisi akal berada pada level sekunder, di bawah teks. Fungsi dan peran akal hanya sebatas menjelaskan makna teks. Bisa dikatakan epistemologi ini lebih bersifat deskriptif-eksplanatoris
Kedua, Epistemologi Burhani adalah suatu pengetahuan yang bersumber realitas dan pengalaman yang meliputi alam, konstruksi social dan humanities. Ilmu diperoleh melalui hasil penelitian, observasi, eksperimen baik di laboratorium maupun di alam. Corak berpifikir yang digunakan adalam induktif. Dijelaskan oleh Al-Jabiri bahwa epistemologi burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Epistemologi burhani menempatkan akal dalam otoritas kebenaran. Epistemologi ini bersifat analitik-kritis.
Ketiga, Epistemologi ‘Irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ilham). Dari ‘irfani muncul illuminasi. Validitas kebenaran ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung oleh intuisi dan al-dhauq. Jika dalam epistemologi bayani dan burhani mendasari pengetahuannya kepada teks dan fakta empirik, maka epistemologi ‘irfani mendasari pengetahuannya kepada kasf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia oleh/karena Tuhan. Oleh karena itu, ‘irfan tidak diperoleh berdasarkan analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati nurani yang suci, sehingga Tuhan menyingkapkan sebuah pengetahuan.
Jika dielaborasi antara sistem pengetahauan Nusantara dengan epistemologi Jabiri, maka epistemologi bayani dan burhani berada pada dimensi ilmu yang rasional dan epistemologi ‘irfani berada dimensi ngelmu yang bersifat spiritual dan kasyf.
Menurut keterangan pihak Kemenag penghargaan ini diberikan atas rekomendasi Forum Pimpinan PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri). Ini artinya penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan bahwa spiritualitas merupakan bagian dari sistem pengetahuan yang setara dengan sains, karena diberikan atas rekomendasi para intelektual. Suatu langkah konkrit atas pengintegrasian sains dan spiritual yang merupakan karakteristik dari budaya Nusantara. Bisa dikatakan ini merupakan langkah kembali ke khittah kebudayaan Nusantara.
Pemberian penghargaan ini merupakan terobosan yang radikal, karena secara praktis akan menjadi inspirasi dan motivasi pemerintah daerah lainnya untuk melakukan eksplorasi spiritualitas yang ada di berbagai tradisi dan budaya untuk melengkapi pertumbuhan sains yang berbasis pada ilmu pengetahuan rasional. Paling tidak akan stigma negatif dan pandangan pejoratif terhadap spiritualitas bisa diminimalisir. Pandangan bahwa spiritualitas identik dengan tahayyul dan klenik yang mengotori agama dan merusak rasionalitas perlahan-lahan bisa dihilangkan.
Secara paradigmatik, langkah ini juga akan merangsang para akademisi dan intelektual nusantara untuk melakukan saintifikasi terhadap pemikiran dan falsafah Nusantara yang sarat dengan nilai spiritual sehingga bisa menjadi teori yang khas Nusantara. Pendeknya, langkah ini akan mendorong terjadinya proses idegenisasi sains dan ilmu pengetahuan yang selama ini sudah dilakukan oleh beberapa orang atas prakarsa pribadi. Seperti yang dilakukan oleh Darmanto Jatman, Ryan Sugiarto yang meneliti ajaran Ki Ageng Suryomentaram menjadi teori psikologi Jawa atau Psikologi Raos.
Proses indegenisasi ilmu pengetahuan ini akan semakin cepat berkembang jika negara, khususnya Kementerian Agama bisa mengapresiasi dan memfasilitasi beberapa prakarsa tersebut secara intens. Artinya, Kemenag tidak hanya berhenti memberikan penghargaan kepada Pemerintah Daerah yang menggali spiritualitas dan memadukannya dengan sains untuk menjawab tantangan, tetapi juga memberikan dana dan fasilitas bagi para akademisi dan intelektual untuk melakukan penelitan terhadap spiritualitas sehingga terbangun integrasi yang solid antara sains dan spiritual yang menjadi karakterisitik dari sistem pengetahuan Nusantara.****