Kiai Haji Abdul Wahab Chasbullah akrab dengan kitab kuning tidaklah aneh. Itu sudah sewajarnya seorang kiai. Kitab kuning telah mendarah daging dalam sosok seorang ulama. Yang khas dari beliau adalah mampu mengaktualisasikan kitab kuning tersebut di tengah kehidupan politik.
Penulis mendapatkan cerita dari KH. Dimyathi Rois, paman penulis dari jalur istri, saat sowan Lebaran di ndalem-nya, komplek pesantren Al Fadlu wal fadilah Kaliwunggu Kendal.
Alkisah, pada kahir dekade 50-an dan awal dekade 60-an. Presiden Soekarno sedang bersitegang dengan pemerintah kerajaan Belanda terkait klaim Wilayah Irian Barat. Indonesia mengeluarkan ultimatum bahwa maksimal tahun 1960 Belanda sudah harus menyerahkan Papua Barat ke Indonesia sebagaimana kesepakatan perjanjian.
Tetapi Belanda terlihat ngotot mendudukinya dan tidak terlihat ada itikat baik menyerahkan. Beberapa upaya perundingan selalu kandas. Dalam pada itu, Bung Karno senantiasa meminta petunjuk dari para ulama sepuh.
Bung Karno menghubungi KH. Wahab Chasbullah (Rais Am Nadhatul Ulama) di Tambakberas Jombang. Bung Karno menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang belanda yang masih bercokol di Irian Barat. Kiai Wahab menjawab tegas, ”Hukumnya sama dengan orang yang Ghosob”. Bung Karno bertanya lagi, “apa artinya ghosob, Kiai?” Mbah Wahab menjawab, “ghosob itu istihqaqu malil ghair bi ghairi idznihi; menguasai hak milik orang lain tanpa ijin”.
“Lalu bagaimana solusi menghadapi orang yang ghosob?” tanya Bung Karno lag.
“Adakan pendamaian,” tegas Kiai Wahab. Lalu bung Karno bertanya lagi, “Menurut insting Kiai, apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil? Sementara pendudukan ini sebenarnya sudah tidak sah sebagaimanan isi perjanjian sebelumnya?”
Mbah Wahab menjawab, “Tidak”.
“Lalu kenapa kita tidak potong kompas saja, kiai?” tanya Bung karno sedikit memancing.
“Tak boleh potong kompas dalam syariah,” kata Kiai Wahab.
Selanjutnya Bung Karno mengutus Soebandrio mengadakan perundingan yang terakhir kali dengan Belanda untuk menyelesaikan konflik Irian Barat. Seperti perkiraan, perundingan ini pun akhirnya gagal.
Kegagalan ini disampaikan bung Karno kepada kiai Wahab. “Kiai, apa solusi selanjutnya meneyelesaikan masalah Irian Barat?”
Mbah Wahab menjawab, “Akhodzahu Qohron” (ambil kuasai dengan paksa!).
Bung Karno bertanya, “Sebenarnya apa rujukan Kiai untuk memutuskan masalah ini?”
Mbah Wahab Menjawab, “Saya mengambil literatur kitab Fathul qorib dan syarahnya ( Al-Bayjuri)”.
Setelah itu barulah Bung Karno membentuk barisan komando mandala dan ultimatum Trikora (Tiga Komando Rakyat) untuk diberangkatkan merebut Irian Barat. Demikianlah kisah bagaimana kokohnya ulama indonesia dalam menjalankan syariat Agama melalui produk turunan fiqihnya beserta produk turunannya.
“Kita bisa membayangkan, jika Fathul qorib dan al-Bayjuri yang notabene kitap fikih dasar di pesantren dan madrasah diniyah, bisa dikontekstualisasikan untuk menyelesaikan masalah internasional seperti kasus Irian Barat, bagaimana dengan kitab-kitab lain yang level pembahasanya lebih tinggi, kompleks dan mendalam?” terang Kiai Dimyanthi kepada penulis.
Cerita ini beberapa kali di sampaikan KH. Dimyanthi Rais kepenulis dalam beberapa kali kesempatan sowan ke beliau. Tentu disela sela rangkaian dawuh beliau mengisahkan cerita-cerita ulama-ulama masa lalu lainya. Sebenarnya beliau mewanti-wanti untuk tidak mempublikasikan dengan alasan tidak ada sumber bukunya. Tetapi mengingat betapa kuatnya pesan cerita itu untuk generasi mendatang, saya terpaksa menerjang wanti-wanti ini .
”Cerito iki ojo ditulis mergo ora ono sumber bukune, tapi aku oleh soko wong tsiqah, dadi aku percoyo seratus persen, yoiku almarhim yai Saefudin Zuhri, mentri agama RI jaman Bung Karno, mosok aku ra percoyo karo kiai Syaifudin?”. Demikian KH. Dimyat Rois menutup pembicaraan kala itu.
Kisah Mbah Wahab Chasbullah dan nasihat Fathul qorib-nya kepada Bung Karno ini juga pernah didapatkan dari almarhum KH. Hamid baidhowi Lasem saat sowan-sowan ke ndalem beliau bersama saudara-saudara Tambakberas lainya. (Tulisan ini diambil dari buku: Sejarah Tambakberas Menelisik Sejarah, Mencari Uswah)