Novel berlatar kehidupan pesantren kembali hadir. Kali ini ditulis oleh Imam Sibawaih El-Hasany, seorang pengasuh Pesantren Semesta Inaayatullah di Jawa Tengah. Namun,setiap kali membaca sebuah novel, yang mengangkat tema pesantren, atau sebagian kalangan menyebutnya sebagai “sastra pesantren”, muncul pertanyaan, apa bedanya dengan sastra pada umumnya, yang bukan pesantren?
Novel 297 halaman ini mengisahkan petualangan hidup penuh liku seorang anak kiai bernama Muhammad Ainu Shidqy. Lahir dari keluarga pesantren, pasangan Kiai Muhyidin dengan Nyai Marhamah, Gus Ainu, panggilan bagi anak seorang kiai, merupakan anak semata wayang yang lahir secara “dramatis”, karena empat belas tahun masa penantian orangtuanya.
Gus Ainu, merupakan satu-satunya tumpuan harapan untuk melanjutkan estafet keberlangsungan pesantren. Ia tumbuh sebagai anak dan pemuda yang cerdas serta mewarisi kealiman ayah dan ibunya. Hanya saja, proses menuju dewasa dalam berpikir dan bersikap, Gus Ainu melewatinya melalui jalur, yang oleh penulis novel ini dikesankan tidak lazim sebagaimana santri pada umumnya, apalagi anak seorang kiai.
Apa itu? Sejak bayi, Gus Ainu dikisahkan memiliki ciri ketidaklaziman, yang dalam ilmu tasawuf, dikenal sebagai tanda “kewalian”, seperti saat acara papatwelasan, ketika dicium oleh beberapa habib dan kiai, sahabat karib ayahnya, bayi itu selalu bersin dan ingusnya mengenai wajah mereka, bahkan hingga empat belas kali (hlm. 15).
Berdasarkan konstruksi pengetahuan tentang tanda “kewalian” itulah, novel Kiai Tanpa Pesantren dibalut oleh kisah-kisah inspiratif bercampur nekat. Dari mulai cerita Gus Ainu kecil yang mengajak teman-temannya untuk bolos sekolah (hlm. 18); pergaulannya dengan perempuan bule bernama Mary Mc Owen saat ia menempuh belajar di pesantren Dar al-Falah, di bawah asuhan Kiai Misbah di Yogyakarta (hlm. 55-59); lalu berlanjut oleh kisah cinta masa pubertas dengan Vale, anak band yang tak sungkan memeluk dan berbalas ciuman (hlm. 71-72); hingga pergaulan Gus Ainu dengan Elina, perempuan malam berparas cantik jelita usia SMA, tinggal di gang pasar kembang Jogja, dan keduanya saling jatuh cinta (hlm. 106-109).
Sampai di sini, apa yang menarik dari novel ini? Bagi saya, biasa saja, tidak ada yang spesial, selain penulisnya seorang kiai yang menguasai banyak untaian hikmah (kalimah al-thayyibah) yang disisipkan ke dalam alur cerita, dari hadis Nabi, kitab al-Hikam, dan lain-lain.
Sebagai sebuah ide, mempopulerkan tradisi baca kitab dan iklim belajar di pesantren, tentu layak diapresiasi. Tetapi sebagai sebuah novel, drama tulis, tampak penulisnya “kurang rapi” melakukan eksekusi cerita. Terasa banyak kisah yang tidak tuntas dan kurang detail. Padahal, bukankah ini novel yang memungkinkan bicara detail, bukan kitab hikmah, kumpulan khotbah, atau makalah teoritik?
Maksud saya, agar lebih sistematis, saya ingin mengulas beberapa kejanggalan novel ini. Pertama, Imam Sibawaih, sebenarnya seorang pencerita yang cakap dan berbakat, tetapi kurang bisa menghidupkan suasana. Apa yang ditulisnya terasa kering, ketika, misalnya, Gus Ainu diajak oleh Elina memasuki gang sempit area pasar kembang, yang dikenal sebagai “lokalisasi” PSK, namun ia membiarkannya linear, datar-datar saja.
Imam Sibawaih tidak mampu menggambarkan sudut pandang dalam studi antropologi yang mendetailkan hal-hal kecil dari apa saja yang terlihat di pasar kembang, tentang jalan menuju lokasi, lampu malam, pojok gang, hingga orang-orangnya. Atau mungkin, penulis novel ini murni mengandalkan imajinasi tanpa terlibat langsung dengan objek, memotret suasana pasar kembang berdasarkan second opinion, dari kliping berita dan informasi lisan orang lain? Jikalau demikian, dapat dimaklumi.
Penulisan yang demikian itu juga berlaku saat menceritakan pengalaman belajar Gus Ainu ke Maroko dalam satu bab khusus, 13 lembar (hlm. 159-184). Itu pun, mengalami hal yang sama. Kering. Tidak bisa menunjukkan panorama keindahan dan sudut-sudut kota di Maroko, suasana perkuliahan, dan tiba-tiba lulus sebagai sarjana, lalu pulang ke Indonesia. Imam Sibawaih hanya fokus pada perjumpaan Gus Ainu dengan dosen (syekh) Benyaisy, yang sekaligus menjadi pembimbing rohaninya, mengajarkan rahasia kitab al-Hikam al-Ghautsiyah.
Kedua, dramatisasi cerita yang terlalu berlebihan, sampai-sampai muncul kesan, apa mungkin ada santri, bahkan seorang Gus (anak kiai), yang meski dikesankan menempuh jalan berbeda, menjadi pendakwah di jalanan bagi orang-orang marginal hingga tempat diskotik, memiliki perilaku yang menurut kebiasaan orang timur di luar batas.
Bagaimana mungkin, Gus Ainu, dalam novel ini secara vulgar bebas berbalas ciuman maut dengan perempuan-perempuan yang dikaguminya saat masa-masa pubertas. Betapapun masa remaja penuh dengan dunia terjal kenakalan, apa mungkin, yang sekali lagi, Gus Ainu seorang santri dan anak seorang kiai, melakukan perbuatan yang justru mengarah pada perilaku free sex?
Sekelas Gus Miek hingga Gus Miftah saja, saya kira tidak begitu. Soal ada santri atau orang yang latarbelakang pesantren memiliki pandangan inklusif kepada sesuatu yang berbeda dengan tradisi pesantren, seperti salaman dengan lawan jenis, itu biasa dan bukan hal tabu.
Ketiga, novel ini sepertinya naskah lama yang baru terbit tahun 2019. Cerita yang dikemukakan pada 2009. Sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja agak aneh ketika dalam sebuah kisah, Gus Ainu hendak pulang ke Mojosari, Magetan, menggunakan jasa kereta api dari Jogja, dan ia disebutkan menikmati lagu-lagu cinta para pengamen (hlm. 123). Di mana letak keanehannya?
Karena novel ini dibaca tahun 2019, jelas tidak relevan, sebab sejak lama, bahkan mungkin sebelum tahun 2009, PT. Kereta Api telah menertibkan para pengamen untuk tidak masuk ke gerbong penumpang. Tapi apa boleh buat, novel ini mungkin fiktif, berdasarkan imajinasi liar, meski di dalamnya, saya menangkap ada unsur-unsur pengalaman pribadi penulis yang coba dimasukkan, baik dalam kapasitasnya sebagai orang yang pernah mengalami masa muda, maupun kapasitas kekiaiannya yang menabur banyak untain hikmah.
Keempat dan seterusnya, saya cukupkan saja, agar tidak menjadi Sigmund Freud dalam menganalisa Leonardo da Vinci.