Istilah Wahabisme mengacu pada sebuah madzhab, “isme”, yang lahir dari rahim ajaran Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, abad ke-17, hidup pada 1703 hingga 1791 M, dalam usia 88 tahun.
Para pembela dan pengikutnya menyebut Abdul Wahab al-Najdi sebagai penghidup ajaran salafiyah, al-firqah an-najiyah, al-muwahhidun, dan ath-thaifah al-manshurah. Sedangkan bagi para pengkritiknya, misalnya Ibnu Abidin dan Allamah ash-Shawi, menyebut kelompok Wahabi ini sebagai Khawarij.
Abdul Wahab al-Najdi bersama pengikutnya memiliki tali estafet-ideologis dengan ide salafiyah yang diusung oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Itulah sebabnya, Wahabisme dapat dikatakan pula sebagai salafiyah dalam format baru yang lebih puritan.
Pengaruh ajaran Wahabisme ini menyebar seantero dunia, termasuk Indonesia. Respons terhadap ajarannya mengalami pasang surut. Terdapat kelompok yang nyaman dan justru bergerak menjadi neo-Wahabisme di Indonesia, sedang kelompok lain berusaha menghalau agar tidak menjadi virus yang akan merongrong tradisi dan warisan budaya, sebagaimana pengalaman Arab Saudi.
Keberadaan Wahabisme, hingga sekarang, sebagaimana diungkap oleh Nur Khalik Ridwan dalam buku Kajian Kritis dan Komprehensif Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliah, dan Pergulatannya (2020), memang harus dihubungkan dengan adanya persatuan antara Kerajaan Arab Saudi dengan para ideolognya.
Kerajaan Saudi sendiri, tulisan Nur Khalik, susah untuk tidak disebut didirikan di atas darah dan keringat panas kaum Wahabi, hujatan-hujatan kepada muslim lain, dan darah-darah kaum muslim yang dibunuh atas tuduhan bid’ah, kafir, dan tidak sudi tunduk pada Dinasti Saudi ketika mereka mencoba untuk mendidikan kerajaan yang bisa menguasai Jazirah Arab (hlm. 29).
Buku setebal 833 halaman karya terbaru Nur Khalik tersebut merupakan monumen berharga di tengah minimnya literatur tentang Wahabisme yang ditulis oleh orang Indonesia. Nur Khalik, menurut saya, orang yang punya nyali hebat, single fighter, meski sebenarnya ada penulis lain yang juga pernah menulis tema sama, tetapi tidak berani ambil resiko, menggunakan nama samaran, Syekh Idahram (nama aslinya Marhadi).
Buku setebal bantal ini terbit kali pertama tahun 2010. Proses pencarian dan pengumpulan data-data diakuinya membutuhkan waktu satu tahun. Namun sependek yang saya tahu, karya ini merupakan puncak dari kegelisahan, pergulatan batin Nur Khalik sejak menekuni studi gerakan Islam. Alhasil, memang sesuai dengan judul di cover: kritis, komprehensif, alias lengkap!
Nur Khalik selain melakukan revisi, sekaligus memberikan tambahan banyak (sub) bab. Jika di edisi lama hanya mengetengahkan dua tokoh kritikus legendaris atas Wahabisme, yaitu Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab dan Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, maka dalam terbitan edisi baru ini ia menambah pendapat dari kritikus lain, seperti Ibnu Abidin al-Hanafi, ‘Allamah al-Shawi al-Maliki, dan Amir al-Shan’ani.
Begitu pula pada rujukan atau sumber yang digunakan sangat otoritatif. Dalam melakukan pelacakan informasi, Nur Khalik mengacu pada kita-kitab yang umumnya dijadikan sebagai rujukan Wahabi, di antaranya ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najd karya Ibn Bisyr, Tarikh Najd karya Ibnu Ghannam, dan Ulama’ Najd karya Alu Basyam.
Pada dua kutub di atas, yang pro dan kontra, Nur Khalik mengemukakan pula “perspektif tengah”, antara keduanya, dari kitab Lam’u al-Syihab fi Sirah Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, karya Ahmad Musthafa Abu Hakimah. Sebuah sikap proporsional dan usaha menjaga objektivitas.
Kehadiran buku ini sangat relevan, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Bumi Nusantara berkenalan dengan Wahabi, terutama dilakukan oleh gerakan Padri di Sumatera, yang di antara programnya, menolak keragaman dan mengkritik praktik-praktik adat. Menurut Thomas Michel SJ, “Padri di Sumatera Barat semuanya mencerminkan program Ibnu Taimiyah yang diterima lewat Wahabiyun” (hlm. 789).
Artinya, jika kita mengenal dalam diskursus sosial-keagamaan ada kelompok yang secara sosiologis disebut ekstrimis, menolak Pancasila karena dianggap sebagai thagut (individu atau golongan yang tidak berhukum menggunakan hukum Allah versi Wahabisme), hingga pada level berupa membid’ahkan dan mengkafirkan orang atau kelompok yang berbeda paham dengan dirinya, maka itulah tanda nyata dari terjangkitnya virus Wahabi.
Nur Khalik menunjukkan, bahwa paham keagamaan Abdul Wahhab telah ditentang oleh keluarganya (ayah dan saudara), serta oleh para gurun-gurunya (hlm. 40). Tetapi ia tak bergeming dan bebal. Nekat. Dan bahkan tidak segan-segan melakukan justifikasi kafir (hingga dihalalkan darahnya) kepada mereka yang menjalani ziarah kubur orang-orang saleh, mengkafirkan tokoh-tokoh sufi, mengkafirkan orang yang tidak bertauhid versinya sendiri, kafir bagi orang yang bermadzhab, dan masih banyak lagi, yang boleh jadi, jika tidak diantisipasi, Andalah sasaran tembak Wahhabisme ini. Dor!