“Pada sebagian keadaanku, muncul dari diriku sesuatu yang aku murkai dan aku sangat menyesal terhadapnya.” Kalimat ini pernah ditulis oleh Al-Muhasibi, seorang sufi masyhur abad ke-3 hijriyah kelahiran Basrah yang konon ajaran-ajaran tasawufnya memiliki pengaruh cukup besar terhadap Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali.
Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-‘Anazi Al-Bashri. Ia gemar introspeksi diri, sebab itulah ia dijuluki Al-Muhasibi (yang suka melakukan muhasabah; perhitungan diri).
Al-Muhasibi memiliki perhatian yang sangat besar terhadap relasi personal dengan jiwanya sendiri, lebih-lebih pada disiplin hati. Bagaimana seharusnya hati dikenali sehingga manusia tahu jati dirinya, kemudian dikelola dan diarahkan ke jalan bahagia. Ini bisa dilacak di sebagian besar karyanya, seperti kalimat di atas yang termaktub dalam kitab Adaab an-Nufuus (Adab-adab jiwa).
Dalam kitab itu ia menulis bahwa “Jati diri tidak akan diketahui kecuali setelah dites dan diuji”. Sebab itu, lanjut al-Muhasibi, “Jika engkau ingin mengetahuinya berinteraksilah bersamanya, periksalah tekadnya, dan pertajamlah pengawasanmu terhadapnya”.
Al-Muhasibi menawarkan supaya dalam melakukan “uji diri” ini, kita sebaiknya mengenali satu persatu sifat-sifat baik yang terkandung dalam diri kita, seperti kesabaran, ketulusan, ketawadukan, dan sebagainya. Seberapa kuat kadar sifat itu melekat pada diri kita, atau jangan-jangan itu hanyalah atribut-atribut yang bermasalah dan perlahan menggerogoti jiwa kita.
Jiwa manusia itu dinamis dan memiliki ketergantungan terhadap kondisi yang menyelimutinya. Berpulang pada hal itu, Al-Muhasibi mengajak kita agar mengidentifikasi dan menguji itu semua berhadapan dengan keadaan-keadaan yang berbeda, bahkan yang paling ekstrim sekalipun, seperti yang diajukan oleh Al-Muhasibi berikut ini:
“Kenalilah ketawadukanmu saat engkau tidak dikasari oleh orang yang kasar dan dihormati oleh orang yang terhormat, sesungguhnya di dalam keduanya terkandung godaan. Seorang hamba (manusia) bisa saja mempertontonkan kerendahan hatinya ketika dihormati orang lain hanya karena ingin penghormatan itu bertambah dan bisa saja mempertontonkan kerendahan hatinya ketika diintimidasi orang lain hanya karena ingin distatuskan sebagai orang yang rendah hati di antara manusia. Maka, periksalah niatmu!”
“Kenalilah sikap diammu ketika engkau takut akan jatuhnya kehormatanmu di hadapan orang-orang yang menganggapmu orang terhormat.”
“Kenalilah kejujuranmu pada situasi banyak orang membaik-baikkan diri dan berpura-pura.”
“Kenalilah ketulusanmu ketika engkau mencintai dirimu sendiri, kawanmu, dan musuhmu sampai engkau tahu apakah engkau mencintai orang lain seperti engkau mencintai dirimu sendiri, atau tidak?”
“Kenalilah kesabaranmu ketika engkau meninggalkan godaan yang mampu dikontrol oleh kesabaranmu. Dapatkah engkau melakukannya?”
“Kenalilah kewarakanmu saat engkau berhasil memilikinya. Dapatkah engkau bertahan jika situasi menjadi kacau balau?”
“Kenalilah akalmu ketika meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu di dunia dan tidak pula di akhirat, serta tak ada balasannya di sisi Allah. Mampukah kau mengacuhkannya?”
“Kenalilah integritasmu saat hawa nafsu mulai menggodamu. Dapatkah kau menunaikan amanahmu dengan baik pada saat itu?”
“Kenali pula ambisimu saat menggebu hasratmu. Mungkinkah kau berputus asa pada saat itu?”
Begitulah Al-Muhasibi menyodorkan tamsil tentang uji diri.
Nah, mari kita tarik tamsil-tamsil tersebut pada objek yang lain. Sering kita mendengar “Coba aku kaya, aku pasti rajin sedekah!” sebuah ungkapan tentang kedermawanan. Sekilas memang ada benarnya. Orang dermawan identik dengan orang yang menyedekahkan hartanya pada orang lain, dan itu mudah saja bagi orang kaya alias punya harta lebih dari kebutuhannya.
Baik kondisi sedang minim harta atau kaya, keduanya bisa menjadi ukuran uji kedermawanan kita. Apakah bila kita tak kaya kita tetap akan berbagi dengan orang lain sekalipun sedikit, atau tidak? Atau justru saat kita kaya dan rajin sedekah kita dapat menahan diri agar tak berharap penghormatan, sanjungan dari orang lain, atau tidak?
Dan begitu seterusnya. Al-Muhasibi mengajarkan kemawasan diri yang kuat dalam mengenali kondisi yang berbeda. Sebab setiap kondisi melahirkan pengaruhnya masing-masing, bahkan akan berakibat tidak baik jika tidak dikenali dan dikelola dengan baik. Dan di situlah medan uji diri yang sebenarnya. Masyhur orang-orang bijak mengatakan, “Kita cenderung lebih kuat menghapi ujian yang berupa musibah, tapi sering terpeleset menghadapi ujian yang berupa anegerah.”
Sebagai evaluasi dari uji diri ini, Al-Muhasibi menyarankan “Jika engkau menemukan dirimu sebagai orang yang terpuji pada situasi seperti itu, betapa elok kebaikanmu. Pujilah Allah, mohonlah tambahan karunia-Nya, lalu teruskanlah sikapmu itu. Sesungguhnya dirimu berada di jalur istikamah, jalan cinta, dan arah iman.”
“Jika engkau menemukan dirimu sebagai orang yang tercela pada situasi seperti itu, sebaiknya kau perbaiki akhlak dan tingkah lakumu, sebab dalam dirimu ada kerusakan yang parah. Engkau berada di luar jalur istikamah, jalan cinta, dan arah iman.”
WalLaahu a’lam…