Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Ziarah di Kawasan Kota Tua Kairo (5): Sidi Syekh Abul Barakat Ahmad ad-Dardiri

Whatsapp Image 2020 06 16 At 19.46.06

Kalau membahas kurikulum dalam ilmu tauhid, maka setelah Aqidatul Awam lanjut ke al-Kharidahul Bahiyah. Para pelajar ramai yang menghafalkan nazam ini. Sebuah nazam berwazan rajaz dalam ilmu tauhid yang sejak ditulis sampai sekarang kitab ini mendapat perhatian besar umat. Baik dihafalkan, diajarkan, ditulis syarah atau anotasi atasnya, hasyiah atas syarah, meringkas dan lain sebagainya. Ini salah satu bentuk keramat beliau.

Penulisnya adalah Syeikhul Ulum, Syeikhul Masyayikh, Sidi Syekh Abul Barakat Ahmad putra Syekh Muhammad bin Ahmad bin Abu Hamid al-Adawi al-Maliki al-Azhari al-Khalwati yang populer dengan nama ad-Dirdir. Tahun kelahirannya sejarawan berselisih antara tahun 1127 dan 1128, tapi menurut al-Jabarti dalam Ajaibul Atsar yang sezaman dan punya kedekatan dengan tokoh yang sedang kita bahas, Sidi Syekh ad-Dardir pernah menuturkan bahwa beliau lahir tahun 1127 H.

Dalam Aqrabul Masalik, keturunan Khalifah Umar bin al-Khathab ini bercerita bahwa ayahnya seorang saleh yang alim, pengajar Alquran di kampungnya sehingga banyak para penghafal alquran yang lahir dari didikan ayahnya. Beliau juga rajin membaca shalawat, khususunya shalawat Sidi Abdussalam bin Masyisy, sampai pada tahap suatu ketika, sebagaimana kata Syekh Ahmad Ash-Shawi saat dikutip dalam Nuzhatul Fiker, beliau di kamar yang tiada penerang tapi nampak beliau dikelilingi lilin sebagai penerang. Saat ditanya ibunya, ayahnya menjawab bahwa pendar cahaya itu cahaya shalawat.

Beliau juga yang menuturkan sebuah bisyarah (kabar gembira) kepada anaknya, Syekh ad-Dardir, bahwa kelak akan jadi orang alim. Bisyarah-bisyarah seperti ini penting bagi perjalanan pencari ilmu, apalagi keluar dari orang saleh lagi alim, juga tentu juga menjadi motivasi.

Baca juga:  Kuliner Taiwan: Yang Halal dan Lezat di Restoran Hui

Syekh ad-Dardir Lahir di daerah Bani Adiy, Manfalut, kota Asyuth, Mesir. Sebuah kota jarak tempuh 375 KM di selatan Kairo. Nisbah Al-Adawi beliau nisbat ke daerah ini. Dinamakan Bani Adiy sebab penduduknya dari Bani Adiy bagian suku quraisy di Hijaz saat hijrah ke Mesir. Tak heran jika banyak orang alim dan pelajar dari kampung ini. Bahkan kata Suad Maher, sejak era Fatimiyah, penduduk dari sini sudah banyak yg mengirimkan anaknya ke Al-Azhar.

Soal nama ad-Dardir, beliau sendiri pernah menuturkan sebagaimana direkam oleh al-Jabarti bahwa dulu ada sebuah kabilah Arab yang datang ke kampungnya, pembesar kabilah dikenal dengan nama ad-Dardir, lalu lahirlah kakek Syekh ad-Dardir kemudian orang tuanya memberikan laqab itu sebagai harapan supaya anaknya menjadi orang besar. Dari situ kemudian anak keturunannya dikenal dengan laqab kakeknya. Termasuk Sidi Syekh Abul Barakat ad-Dardir.

Setelah hafal Alquran ia bergegas ke Al-Azhar untuk melanjutkan jenjang dan belajar pada ulama besar di masanya. Di antara para ulama besar itu adalah Syekh Ali Ash-Sha’idi, Muhammad ad-Dafrawi, Syekh Ahmad Ash-Shabbagh, Syekh al-Hifni Syeikhul Azhar, Syekh al-Mallawi yang punya syarah legendaris dalam ilmu mantiq syarah sullam, Syekh Jauhari dan lain sebagainya.

Kendati gurunya ada banyak, tapi guru yang paling berpengaruh bagi kepribadian intelektual dan spiritualnya adalah Syekh Ali Ash-Sha’idi tokoh muharrir mazhab Malikiyah, dan Syekh Muhammad al-Hifni yang kepadanya beliau baiat tarekat Khalwatiyah.

Baca juga:  Kota Islam (17): Kota Nishapur dan Pencarian Jejak Imam Muslim

Syekh Ad-Dardir sosok ulama yang produktif dalam berkarya. Ada banyak sekali karyanya dan rata-rata masyhur. Bahkan fikih beliau sangat otoritatif dan representatif bagi pendapat Malikiyah mutaakhirin. Syarah Mukhtashar al-Khalil beliau diterima umat, juga kitab matan beliau Aqrabul Masalik juga digunakan sebagai kurikulum pemula bagi pengikut mazhab imam ahlil hijrah ini.

Ada banyak kitab yang sangat bermanfaat, tapi tidak mudah bagi kurikulum menerima sebuah kitab ajar, jika sampai diterima umat sebagai kurikulum pelajaran, itu tentu istimewa sekali. Kitab dirasah itu beda dengan kitab muthala’ah. Tidak memperhatikan perbedaan keduanya akan menyulitkan pelajar sehingga ia tidak tumbuh dengan baik.

Kelak sepeninggal gurunya, Syekh Ali ash-Sha’idi, beliau diangkat menjadi Syeikhul Malikiyah dan Syeikhur Ruwaq ash-Sha’ayidah. Sebuah ruwaq atau serambi di Al-Azhar yang khusus ditempati bagi pelajar dari selatan Mesir. Kota Asyuth termasuk di antaranya.

Selain allamah, beliau juga tumpuan para kaum lemah yang tertindas oleh kesewenang-wenangan pemerintah. Cerita-cerita heroik beliau dalam membangun kekuatan melawan penindasan mewarnai buku-buku sejarah.

Pengaruh kuat beliau salah satunya ditunjukkan dengan adanya mihrab di Al-Azhar yang dibangun khusus untuk beliau. Sampai sekarang dikenal dengan mihrab ad-Dardir.

Membaca profil beliau membuat kita tahu bahwa Sultan Maroko Maulana Muhammad menaruh perhatian besar pada makam-makam para ulama. Dulu, beberapa tahun sekali Sang Sultan punya tradisi mengirimkan uang dari Maroko untuk para ulama Al-Azhar, juru kunci makam ahlil bait dan ulama, juga pada penduduk haramain.

Baca juga:  Napak Tilas Makam Sayyid Umar Maghribi di Semarang Utara

Suatu hari setelah rihlah haji, anak sultan tertinggal di Mesir dan mukim di sana sampai habis bekalnya. Saat bantuan seperti biasa dari Maroko datang, Syekh ad-Dardir enggan menerima bantuan itu, sebab beliau tahu dengan mata batin bahwa anak sultan sedang hilang di Mesir dan kehabisan bekal. Beliau meminta bagiannya untuk diberikan ke anak sultan jika ketemu. Padahal berita itu belum pernah dibocorkan ke masyarakat.

Berkat kebaikan Syekh ad-Dardir, tahun berikutnya beliau dikirimi uang sepuluh kali lipat dari biasanya. Dengan harta itu beliau gunakan untuk menunaikan haji. Tepatnya tahun 1191 H. Sepulang haji dan uangnya masih sisa banyak, beliau gunakan untuk membangun zawiyah di kompleks jalan Kahkiyin [atau Ka’kiyin. Sekarang dikenal dengan jalan Sidi Ad-Dardir]. Belakang Al-Azhar.

Sepuluh tahun beliau menggunakan zawiyahnya ini, lalu meninggal tahun 1201 dan dimakamkan di tempat yang ia bangun. Kemudian zawiyah ini dikembangkan menjadi masjid yang makmur hingga sekarang. Bahkan para masyayikh Al-Azhar sampai sekarang menggunakan tempat ini sebagai kelas mengajar.

Masjidnya terlihat sangat baru jika dibandingkan dengan masjid-masjid yang lain. Menara dengan cat warna putih tentu terlihat sangat beda di negara yang semua bangunanya nyaris berwarna sama: peanut atau yang mendekatinya. Yang melegakan masjid dan makamnya sangat makmur dan terawat.

Di antara masyayikh yang masih istikamah mengajar di sini adalah Maulana Syekh Yusri Rusyd Gabr dan Maulana Syekh Ahmad Ali Thaha Rayyan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
4
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top