Sedang Membaca
Bagaimana Para Ulama Menghormati Nabi Muhammad?
Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Bagaimana Para Ulama Menghormati Nabi Muhammad?

Menaruh hormat pada orang yang dihormati adalah fitrah. Hormat bisa kepada siapa saja yang dianggap terhormat. Dalam etika pendidikan Islam yang direpresentasikan, salah satunya, oleh kitab ta’limul muta’allim, konsekuwensi hormat pada ilmu adalah hormat pada buku, pemilik ilmu, guru dan sekeluarganya meski yang masih kecil sekali sekalipun.

Untuk bernostalgia dengan nuansa hormat pada ilmu dan konsekuwensinya, mari kita lihat secara riil di pesantren-pesantren atau membaca kitab ta’limul muta’allim yang kelar dibaca satu kali duduk dengan visualisasi imajiner.

Begitu rincinya dalam hormat dan cara mereka hormat, bagaimana jika sosok yang kita hormati adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pembawa ilmu dan kota ilmu itu tersendiri?

Ada adagium populer yang menjadi patron ber-Islam, ia berbunyi, “Etika lebih didahulukan dari pada mengikuti perintah.”

Kaidah ini membuat banyak umat Islam melakukan manuver keagamaan yang secara zahir berselisih dengan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah, sang pembawa syariat. Abu Bakar yang saat itu ditunjuk Rasulullah mengganti sebagai imam salat, dan nabi berdiri di belakang, Abu Bakar perlahan mundur.

Nabi memberi isyarat kepada Abu Bakar untuk tetap di tempat imam, tapi Abu Bakar tetap mundur teratur. Ia “membangkang” dari perintah sang kinasih.

Sementara ulama sampai ada juga yang lirih membaca surat al-lahab ­dalam shalatnya, al-lahab adalah sebuah surat yang menceritakan tentang celakanya Abu Lahab, salah satu tokoh Qurasy yang paling menentang dakwah Nabi. Ia beralasan kendatipun Abu Lahab terlaknat, namuna bagaimanapun ia adalah tetap paman nabi.

Baca juga:  Perbedaan Bukan untuk Disatukan

Dalam ranah ushul fikih ada pembahasan yang boleh dikata sensitif. Pembahasan ini, kata Syekh Ali Jum’ah, timbul akibat teori filsafat Aristoteles yang mengatakan bahwa jika di depan seseorang ada dua jalan dalam menempuh suatu pengetahuan, yang satu pasti (qath’i) dan yang satu lagi praduga (zhanni), apakah boleh mengambil jalan kedua sementara kita mampu untuk untuk mengabil jalan pertama?

Apa pembahasan yang sensitif itu? Adalah pembahasan ijtihad Rasulullah. Apakah beliau berijtihad apakah tidak? Jika beliau berijtihad yang hasil dari ijtihad ada dua kemungkinan; benar dan keliru.

Ulama banyak mengulas tentang hal ini dalam kitab-kitabnya, namun yang menarik di sini adalah sikap Imam Ibnu as-Subki (771 H).

Beliau mengatakan pada kitab yang mulanya ditulis oleh sang ayah, Imam as-Subki (756 H), yaitu kitab al-Ibhaj sebuah syarah apik atas kitab minhajul wushul karya Imam Baidhawi dalam fan ushul fikih. Begini bunyinya: “Saya menyucikan kitab saya ini dari pendapat selain pendapat ini”.

Ia tidak banyak mengulasnya dan langusng ke inti pendapat yang kuat baginya, yaitu kendati berijtihad, Rasul tidak keliru. Meski ada pendapat lain yang mengatakan sebaliknya, beliau tidak menyebutkannya demi hormat pada sang kinasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Selanjutya, sebuah kata dalam ilmu nahwu bisa mendapat kedudukan i’rab yang beragam. Kendati demikian, Syekh Ibrahim al-Baijuri (1277 H) dalam syarah atas Jauhar Tauhid saat mengulas kedudukan kata “Muhammad” yang saat itu bisa dibaca dalam tiga kedudukan; rafa’, nashab dan jer, beliau memilih rafa’ pada kata “muhammad” dengan alasan:

Baca juga:  Menelisik Wahabi (3): Penjelasan tentang Mazhab Hanbali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim

“ini (rafa’) lebih utama dalam sisi takzim, supaya nama yang agung itu marfu’un (terangkat derajatnya) dan menjadi asas (umdah) sebagaimana esensinya (madlul) menunjukkan keagungan kedudukan dan sandaran tiap makhluk”.

Islam memang tidak pernah hening dari perbedaan ulamanya dalam memahami Islam. Ini harus kita ingat baik-baik.

Namun, perbedaan tidak serta merta membuat repot, bahkan jika kita berakal sehat, perbedaan itu keberkahan bagi umat seperti kita.

Salah satu perbedaan itu adalah tentang nama-nama Allah dan nama-nama Nabi Muhammad. Apakah nama-nama itu tauqifi (paten) atau tidak. Ibnul Arabi, murid Imam al-Ghazali yang bermazhab Maliki itu berkata bahwa ulama sepakat kalau nama-nama Allah adalah paten, tidak boleh menyematkan nama yang tidak dipatenkan oleh Allah sendiri.

Namun ulama berbeda dalam menyikapi nama-nama Nabi Muhammad. Lagi-lagi ulama memilih nama beliau sebagai tauqifi juga dengan hujah sad dzariah (menutup kemungkinan-kemungkinan buruk) dengan alasan sebab Nabi Muhammad adalah manusia dan itu pasti rentan bagi kita untuk memberi nama pada Rasululullah seenak kita yang boleh jadi itu tidak patut bagi kedudukan Nabi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • maaf ustad ijin bertanya, yg dimaksud ibnu arabi murid imam ghozali apakah .. ibnul arabi ahli filsafat pencetua teori wahdathul wujud ato yg lain, maaf c

Komentari

Scroll To Top